JURNAL PUBLIK

Demonstrasi : Arogansi Pemerintah

×

Demonstrasi : Arogansi Pemerintah

Sebarkan artikel ini

Oleh : Dr.Arfa’i. SH.MH.

SEMARAK DEMONSTRASI di Gedung DPR/MPR mulai menampaknya wajahnya Pasca Peringatan Ulang Tahun Negara Republik Indonesia yang ke 80 pada 17 Agustus 2025 sebagai akibat kebijakan pemerintah menaikkan kemewahan bagi anggota DPR dan prilaku Anggota DPR yang dinilai public tidak respek kondisi nyatanya rakyat saat ini, serta masih gelapnya arah perjalanan negara Indonesia.

Setidaknya pasca 17 agustus 2025 sudah dua kali demontrasi besar yakni tanggal 25 Agustus 2025 dan 28 Agustus 2025 serta sudah diagendakan pada hari hari dan bulan bulan berikutnya, ditambah lagi mendekati momentum 1 tahun masa jabatan Presiden Prabowo Subianto.

Dalam dua kali demontrasi yang sudah dilaksanakan secara garis besarnya berkaitan dengan keterpenuhan hak hak rakyat, perubahan kebijakan pemerintah yang pro rakyat, ketegasan pemerintah pada korupsi,kecaman atas prilaku anggota DPR dan elit politik yang bergembira ria atas kemewahan yang diberikan oleh pemerintah dengan tema besar bubarkan DPR. Artinya semua yang inginkan oleh pihak yang berdemontrasi tersebut suara public yang sah secara konstitusional.

Namun demikian, dalam aksi demontrasi tersebut penuh drama terjadinya gas air mata untuk membubarkan peserta aksi, drama penangkapan peserta aksi demontrasi dengan dalil mengamankan. membinanya dan terakhir pada aksi demontrasi tanggal 28 Agustus 2025 justru terjadi hilangnya nyawa sopir Ojol karena digilas kendaraan taknis Brimob.

Adanya nyawa yang meninggal tersebut menjadi catatan viral di media sosial bahwa arogansi penguasa masih terjadi dalam mengatasi aksi demontrasi. Dalam pandangan public tidak dilihat dari berapa banyak yang selamat, namun dilihat 1 (satu) orang saja yang hilang nyawanya, maka disitulah wujud nyata Arogansi yang mengilangkan sifat melindungi nyawa rakyatnya.

Padahal jika ditelaah sejak era reformasi 1998 berarti sudah 26 tahun aktifitas aksi demontrasi selalu jadi terjadi dalam setiap tahun selama 26 tahun ini, Idealnya sudah tidak ada lagi arogansi penguasa dalam mengamankan peserta aksi dan juga tidak ada peserta aksi yang juga berprilaku tidak sesuai dengan ketentuan hukum dalam melaksanakan aksi demontrasinya. Seharusnya di tahun 2025 ini tidak ada lagi saat demontrasi nyawa rakyat yang hilang atau peserta aksi yang hilang jejaknya ataupun aparat yang terluka.

Dalam perspektif demokrasi ketatanegaraan, ketika ada masyarakat melakukan aksi demontrasi, maka pemerintah sebagai pihak yang berkuasa mesti meletakkan menghilangkan sifat arogansinya dan cara pandangnya bukan ‘bagaimana cara mengatasi aksi demontrasi, tetapi melatakkan cara pandangnya ‘mengapa masyarakat melakukan aksi demontrasi?. Jika paradigma yang dipakai adalah mengapa, maka yang dilakukan oleh pemerintah adalah menemukan dan menegaskan Solusi atas apa yang diminta oleh peserta demontrasi.

Namun, jika yang digunakan adalah bagaimana mengatasi demontrasi, maka yang terjadi adalah tidak berani muncul maju ke hadapan peserta demontrasi untuk menyampaikan Solusi, justru dominan memerintahkan aparat untuk mengatasi peserta aksi demontrasi tersebut.

Oleh karena itu, ketika pemerintah salah meletakkan cara pandang atau paradigmanya terkait demontrasi, maka yang muncul adalah arogansi, padahal demontrasi itu wujud dari kedaulatan rakyat yang dilindungi oleh konstitusi.

Berdasarkan uraian di atas, ternyata sampai saat ini dalam pelaksanaan dalam menyampaikan aspirasi atau demontrasi terdapat dua paradigma atau sudut pandang yaitu :

  1. Paradigma yang menganggap bahwa rakyat yang menyampaikan aspirasi adalah sebuah bentuk protes bukan membantu program pemerintah. Pemilik paradigma ini memandang bahwa menyampaikan aspirasi atau demontrasi itu adalah tidak penting dan mengganggu saja. Rakyat hanya boleh menyampikan aspirasi secara formil semata melalui utusan atau surat ke DPR tidak perlu aksi massa. Paradigma ini dikenal dengan paradigma dalam arti sempit, dan pada dasarnya tidak hanya ada dipihak pemerintah tetapi juga ada di masyarakat. Output paradigma ini dari pihak pemerintah adalah prilaku AROGANSI dan Output dari rakyat adalah jika tidak ditanggapi berakhir anarkis.
  2. Paradigma yang mengganggap bahwa rakyat yang menyampaikan aspirasi adalah hak turut serta dalam pemerintahan dalam rangka membantu program pemerintah. Paradigma ini menekankan bahwa segala aspirasi yang disampaikan oleh rakyat wajib dilindungi, dihargai dan ditindaklanjuti.

Paradigma ini tidak menganggap bahwa demontrasi sebagai hak rakyat turut serta dalam pemerintahan dalam membantu program pemerintah semata, tidak hanya secara formil namun diakui melalui aksi massa. Paradigma ini lebih dikenal dengan paradigma dalam arti luas.

Dalam pelaksanaannya lebih menekankan HAM baik oleh pemerintah maupun dari rakyat dalam materiil/isi aspirasinya dan pihak yang menyampaikan serta penerima aspirasi, sehingga menyadari bahwa kedua belah pihak wajib saling melindungi dan menghargai.

Dengan demikian, pemerintah dilarang berprilaku arogansi kepada peserta aksi demontrasi dan peserta demoktrasi juga tidak dibolehkan anarkis, sebab aksi demontrasi tersebut di Negara Republik Indonesia diatur dalam bagian kedelapan UU No 39 tahun 1999 tentang Hak asasi manusia Pasal 44 “ Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan dan/atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintah yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan“.

Secara rinci pasal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat diberi kebebasan untuk turut serta dalam pemerintahan yaitu dalam bentuk penyampaikan pendapat, permohonan, pengaduan atau usulan dengan cara lisan maupun tulisan. Adapun tujuan dari semua itu adalah membantu dalam pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif dan efisien.

Pada konteks ini, kewajiban pemerintah adalah melindungi hak rakyat berdemontrasi, menerima dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat, bukan mengabaikan, arogansi ataupun melarikan diri. Sebaliknya peserta demontrasi juga terikat dengan kewajiban yang diatur dalam UU No 9 tahun 1998 Pasal 6 yang menyatakan Warga Negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggungjawab untuk :

(a) menghormati hak-hak orang lain.

(b) menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum.

(c).menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(d) menjaga dan menghormati keamanan danketertiban umum; dan (e) menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

Sebagai penutup tulisan ini, kata kunci jika Presiden dan DPR tidak mau didemo oleh rakyatnya adalah buatlah kebijakan yang responsif sesuai kondisi rakyat, beretikalah sesuai dengan nilai rasa yang dirasakan rakyat dan jangan banyak omon-omon tanpa bukti nyata.

Dr.Arfa’i. SH.MH.
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jambi