Oleh : Nazarman
JAMBIDAILY.COM-Keributan di ruang Banggar DPRD Merangin saat pembahasan KUA-PPAS 2026 bukan sekadar soal adu mulut. Ia adalah cermin retak dari cara kita mengelola pemerintahan daerah. Forum yang semestinya menjadi ruang paling serius untuk menyusun arah pembangunan justru berubah menjadi panggung ricuh, dengan suara keras, kata-kata kasar, hingga botol air mineral yang melayang.
Informasi yang didapat menyebut, pemicu keributan itu ada pada tiga hal mendasar. Pertama, bupati tidak mengakomodir usulan E-Pokir anggota dewan, padahal mekanisme itu sah dan dijamin undang-undang sebagai bagian dari fungsi representasi rakyat. Mengabaikannya sama saja dengan menutup telinga terhadap aspirasi konstituen. Kedua, alokasi kegiatan dalam KUA-PPAS banyak menumpuk di satu daerah, yakni Sungai Manau — kampung halaman bupati. Sementara wilayah lain di Merangin yang luas, dengan kebutuhan pembangunan mendesak, justru terabaikan. Ketiga, bupati menempatkan dana Rp23 miliar di Cipta Karya Dinas PUPR yang sebagian besar berbentuk proyek penunjukan langsung (PL). Ironisnya, usulan proyek kecil PL yang diajukan anggota dewan melalui E-Pokir tidak mendapat tempat.
Dari sini jelas, persoalan utamanya bukan sekadar teknis anggaran, melainkan keadilan distribusi pembangunan. Apakah pembangunan daerah ini hendak dijadikan milik segelintir wilayah tertentu, sementara daerah lain cukup puas dengan janji-janji? Merangin ini luas, kebutuhan masyarakatnya beragam. Tidak adil bila anggaran daerah hanya diarahkan ke satu kecamatan, seolah pembangunan adalah hadiah personal, bukan hak seluruh warga.
Kericuhan makin memanas ketika Wakil Ketua II DPRD meluapkan emosinya dengan kata-kata kasar bahkan ancaman “memecahkan kepala” sambil melempar botol air mineral. Ledakan emosi inilah yang diduga memicu munculnya reaksi tak semestinya dari pihak luar forum resmi, yakni menantu salah seorang anggota TAPD. Kehadiran pihak luar jelas tidak tepat, namun harus diakui, sikap pejabat publik yang gagal menjaga wibawa memberi celah bagi orang yang tidak berkepentingan untuk ikut campur. Ricuh ini akhirnya viral, bukan karena substansi pembahasan, melainkan karena tontonan konflik yang menurunkan martabat lembaga terhormat.
Peristiwa ini menjadi peringatan penting: proses penganggaran bukan soal adu kuat emosi, tetapi soal keadilan dan pemerataan. E-Pokir adalah hak konstitusional DPRD untuk menyerap aspirasi rakyat, bukan sesuatu yang bisa dipinggirkan semaunya. Jika mekanisme sah ini diabaikan, maka wajar publik menduga ada ketidakberesan dalam tata kelola anggaran.
Yang lebih mengkhawatirkan, jika pembangunan terus diarahkan ke satu wilayah, maka ketimpangan hanya akan makin lebar. Rakyat di kecamatan lain akan merasa dianaktirikan, dan ini bisa menimbulkan ketidakpuasan sosial yang berbahaya bagi stabilitas daerah. Di titik inilah, kita perlu mengingat: APBD adalah instrumen pemerataan, bukan alat politik.
Sudah saatnya, baik DPRD maupun TAPD dan bupati, kembali menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan politik sempit. Keadilan anggaran harus diwujudkan, E-Pokir harus dihormati, dan wibawa birokrasi harus dijaga. Tanpa itu semua, APBD Merangin hanya akan menjadi alat kekuasaan, bukan instrumen pembangunan. Dan bila hal itu dibiarkan, maka sejarah hanya akan mencatat: ricuh di Banggar, wibawa runtuh, dan pembangunan yang timpang.(*)











