Oleh: Martayadi Tajuddin*)
PROVINSI JAMBI sebuah wilayah dengan kekayaan batu bara yang melimpah, kini tidak hanya dikenal karena cadangan energinya, tetapi juga karena rekam jejak panjang kerusakan ekologis yang diproduksi secara sistemik dan impunitas yang dijaga oleh kekuasaan.
Dalam sorotan publik pasca Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XII DPR RI (27 Agustus 2025), wajah kelam sektor tambang Jambi kembali terbuka: sepuluh perusahaan batu bara terbukti abai terhadap kewajiban lingkungan, sebagian besar dengan status penilaian merah dalam program PROPER.
Ini bukan kejadian baru. Ini adalah pola. Pola yang menandakan bahwa kerusakan alam bukanlah kecelakaan teknis, tapi hasil dari desain kekuasaan yang rakus dan terhubung secara politis. Industri tambang batu bara di Jambi telah menjadi simbol klasik dari bagaimana oligarki mengabaikan tanggung jawab ekologis demi menjaga sirkulasi keuntungan semata.
Dari Limbah B3 hingga Reklamasi Mangkrak: Bukti Abainya Korporasi
Klarifikasi lapangan yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap lima dari sepuluh perusahaan menunjukkan realitas yang tidak bisa dibantah:
• Pengelolaan limbah B3 tidak sesuai aturan.
• Reklamasi dan revegetasi lahan tidak dijalankan.
• Jaminan reklamasi tidak dipenuhi.
• Penilaian PROPER merah—indikator paling buruk dalam pengelolaan lingkungan.
Mereka mencemari, meninggalkan lubang kematian, lalu berlindung di balik lobi kekuasaan. Tidak hanya mengabaikan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, para pelaku ini dengan gamblang menantang etika publik dan martabat konstitusi ekologis.
Dan seperti dalam paradoks demokrasi mineral yang dikemukakan oleh Hilson dan Maconachie (2009), ketika sumber daya alam dikuasai oleh segelintir elite, keuntungan hanya mengalir ke atas, sementara kerusakan turun ke bawah—ke sungai, ke sawah, dan ke paru-paru rakyat.
Oligarki Tambang: Wajah Kapitalisme Tanpa Moral
Siapa para pelaku ini? Mereka bukan sekadar pengusaha. Mereka adalah bagian dari oligarki tambang—kelompok pemilik modal yang menjalin kedekatan struktural dengan elite politik dan birokrasi. Mereka memanfaatkan celah regulasi, menekan penegak hukum, dan membeli diamnya pengawasan.
Tambang-tambang nakal ini hidup dari perselingkuhan antara uang dan kekuasaan. Bukan hanya mengelola batu bara, mereka mengelola keputusan pejabat, mengatur regulasi, dan menghindari sanksi hukum. Dalam studi Robison dan Hadiz (2004), oligarki di Indonesia bertahan melalui adaptasi pasca-Orde Baru, merasuk ke dalam demokrasi, dan menggunakan institusi untuk memproduksi ketimpangan sekaligus mengamankan privilese ekonomi. Apa yang terjadi di Jambi adalah bukti hidup dari tesis itu.
Diamnya Negara, Rusaknya Hukum
Ketika negara hanya memberi peringatan tanpa tindakan, dan DPR hanya bicara tanpa eksekusi, maka perusahaan-perusahaan tambang belajar satu hal: tidak ada akibat dari pelanggaran.
Tiga bulan tenggat waktu yang diberikan DPR kepada perusahaan pelanggar adalah ujian terakhir. Jika setelah itu tidak ada sanksi nyata, maka jelas: negara telah gagal menjalankan mandat konstitusionalnya untuk menjaga kelestarian lingkungan dan melindungi rakyat dari kekuasaan predatorik. Ini bukan sekadar urusan tambang, ini adalah masalah integritas negara.
Dari Jambi untuk Revolusi Ekologis
Jambi tidak boleh menjadi laboratorium kegagalan ekologi nasional. Yang dibutuhkan sekarang bukan hanya regulasi, tetapi perlawanan kolektif terhadap sistem yang membiarkan kekayaan daerah dirampas dan lingkungannya dihancurkan.
Kita harus mendorong:
• Revitalisasi sistem pengawasan tambang berbasis masyarakat.
• Keterbukaan data tambang dan limbah secara digital dan publik.
• Penegakan hukum lingkungan tanpa tebang pilih.
• Penghentian izin bagi perusahaan yang terbukti merusak.
• Audit independen atas semua perusahaan tambang di Jambi.
Sebagaimana dinyatakan oleh Shiva (2016), “kerusakan lingkungan adalah bentuk baru kolonialisme.” Dan di Jambi, kolonialisme itu datang dalam wajah tambang legal yang dikelola secara brutal dan melibatkan negara yang terlalu permisif terhadap korporasi.
Jangan Sampai Tanah Ini Hanya Meninggalkan Lubang
Jika hari ini kita membiarkan para pelaku kerusakan itu tetap bebas beroperasi, maka Jambi hanya akan mewariskan lubang tambang, air yang tercemar, hutan yang hilang, dan generasi yang kehilangan tanah dan harapan. Tambang bukan kutukan, tetapi pengelola yang buruklah yang menjadikannya bencana.
Waktunya semua pihak di Jambi—rakyat, akademisi, pers, mahasiswa, dan aparat penegak hukum—bersatu dalam satu front: menolak tambang rakus, menuntut keadilan ekologis, dan menyelamatkan tanah ini dari kehancuran yang terus direkayasa atas nama pembangunan.
Karena jika hukum tidak berpihak pada rakyat dan lingkungan, maka publik harus mengambil kembali suara dan haknya.
*) Penulis adalah Pengamat Kebijakan Pembangunan Daerah, Infrastruktur, Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan.
Daftar Bacaan:
- Robison, R., & Hadiz, V. R. (2004). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. Routledge.
- Shiva, V. (2016). Earth Democracy: Justice, Sustainability, and Peace. North Atlantic Books.
- Hilson, G., & Maconachie, R. (2009). Good governance and the extractive industries in sub-Saharan Africa. African Affairs, 108(430), 563-587.
- Purwanto, A. (2020). Reklamasi Tambang dan Tanggung Jawab Sosial Lingkungan di Indonesia. Jurnal Sumber Daya Alam dan Lingkungan, 5(2), 45-58.
- UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
- Kementerian LHK RI (2025). Laporan Penilaian PROPER dan Evaluasi Pengelolaan Tambang Batu Bara di Jambi.
- DPR RI. (2025). Notulen Rapat Dengar Pendapat Komisi XII DPR RI Terkait Evaluasi Perusahaan Tambang di Provinsi Jambi.
- Jambione.com (2025). 10 Perusahaan Batu Bara di Jambi Bermasalah, Tiga Bulan Tak Berbenah Akan Disanksi.













