JURNAL PUBLIK

Anarki Bukan Pilihan, Pahami sebagai Buah dari Hak yang Dikhianati

×

Anarki Bukan Pilihan, Pahami sebagai Buah dari Hak yang Dikhianati

Sebarkan artikel ini

Oleh: Dr. Noviardi Ferzi*

SETIAP kali rakyat turun ke jalan, selalu ada muncul kalimat yang sama: “Demo itu hak konstitusi, tapi jangan anarkis.” Kalimat itu sekilas terdengar bijak, tetapi sesungguhnya menyesatkan.

Sebab pertanyaan mendasarnya adalah: bagaimana mungkin rakyat diminta tertib dan sabar, sementara hak konstitusional mereka berulang kali dikhianati? Anarki bukanlah pilihan sadar rakyat, melainkan buah pahit dari sistem politik yang menutup rapat telinga terhadap jeritan mereka.

Teori relative deprivation yang dikemukakan oleh Ted Gurr (1970) menjelaskan bahwa kemarahan kolektif lahir ketika kesenjangan antara harapan dan kenyataan semakin melebar.

Rakyat percaya bahwa sebagai warga negara, mereka berhak atas partisipasi politik, perlindungan hukum, dan kesejahteraan yang adil. Namun, kenyataannya aspirasi itu diabaikan, bahkan diperlakukan dengan represi. Dalam kondisi seperti ini, frustrasi sosial mudah menjelma menjadi tindakan destruktif. Jadi, bukan karena rakyat mencintai anarki, melainkan karena negara gagal memenuhi janji konstitusionalnya.

Kenyataannya, tidak ada rakyat yang rela menghadapi pentungan, gas air mata, atau peluru karet hanya demi kesenangan. Mereka turun ke jalan bukan untuk merusak, melainkan untuk didengar. Tetapi ketika pintu dialog dikunci, ketika aspirasi dipinggirkan, bahasa marah itu pun mencari jalan keluar.

Kasus Omnibus Law tahun 2020 lalu misalnya sebuah bukti gamblang. Ratusan ribu mahasiswa dan buruh menyatakan penolakan, tetapi parlemen tetap mengetuk palu tanpa peduli. Apakah wajar jika akhirnya rakyat meledak karena tidak ada lagi saluran sah untuk menyalurkan aspirasi mereka?

Analisis lain datang dari kerangka political opportunity structure (Tarrow, 2011), yang menekankan bahwa gerakan sosial sangat dipengaruhi oleh terbuka atau tertutupnya ruang politik. Ketika kanal partisipasi politik formal tertutup rapat—parlemen dikendalikan oligarki, media arus utama dibatasi, dan aparat represif mengawasi jalanan—maka rakyat dipaksa mencari jalan alternatif.

Dalam ruang politik yang sempit dan represif inilah, aksi massa mudah bermetamorfosis menjadi ledakan anarki.

Kesalahan kerap diarahkan pada rakyat yang marah, padahal persoalan sejatinya lebih dalam: saluran aspirasi formal nyaris lumpuh. Parlemen lebih sibuk menjadi corong oligarki ketimbang memperjuangkan suara rakyat. Aparat lebih cepat mengamankan kepentingan penguasa ketimbang melindungi warga. Dalam kondisi seperti ini, jalanan menjadi ruang terakhir bagi rakyat untuk bicara. Dan di jalanan itulah, amarah yang tak terbendung sering kali bertransformasi menjadi tindakan anarkis.

Ironisnya, kita begitu bangga menyebut dirinya negara hukum. Tetapi hukum yang ada sering kali tajam ke bawah, tumpul ke atas. Aparat begitu sigap menembakkan gas air mata ke mahasiswa, tetapi begitu lamban ketika berhadapan dengan mafia tambang atau kartel pangan.

Data Kontras mencatat, sepanjang 2023 terdapat 134 aksi unjuk rasa yang diwarnai dengan represi aparat. LBH Jakarta bahkan melaporkan lebih dari 200 aktivis ditangkap hanya karena mengkritik kebijakan pemerintah.

Fakta-fakta ini menunjukkan paradoks: konstitusi menjamin kebebasan berpendapat, tetapi praktik kekuasaan justru mengekangnya dengan kekerasan.

Dalam konteks inilah, anarki tidak boleh dipandang semata sebagai kejahatan jalanan. Ia adalah gejala politik — alarm keras bahwa ada sesuatu yang rusak dalam representasi dan legitimasi negara. Setiap ban yang terbakar, setiap kaca yang pecah, adalah simbol ketidakberesan dalam mekanisme demokrasi.

Memang benar, anarki tidak bisa dibenarkan, karena ia merugikan banyak pihak, termasuk rakyat itu sendiri. Namun menolak memahami penyebabnya hanya akan membuat lingkaran kekerasan terus berulang.

Oleh karena itu, yang perlu dikoreksi bukan sekadar tindakan marah rakyat, tetapi akar yang melahirkannya: negara yang abai, parlemen yang berpihak pada oligarki, dan aparat yang lebih sibuk menjaga penguasa daripada mengayomi warga.

Jika negara benar-benar membuka ruang dialog, menegakkan hukum tanpa pandang bulu, dan menghormati aspirasi rakyat, maka demonstrasi tidak akan pernah bermetamorfosis menjadi anarki.

Sejatinya, anarki dalam demonstrasi adalah cermin dari hak yang telah dikhianati. Negara boleh terus mengulang mantra “jangan anarkis”, tetapi selama hak rakyat terus diinjak, kalimat itu hanya akan terdengar sebagai ironi.

Daftar Pustaka

Gurr, T. R. (1970). Why men rebel. Princeton University Press.

Hidayat, A., & Nurwanti, R. (2023). Dinamika gerakan mahasiswa dalam menyikapi kebijakan pemerintah: Studi kasus penolakan omnibus law. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, 27(2), 145–162.

Kodongan, M., & Pandie, M. (2022). Demonstrasi dan demokrasi: Analisis sosio-politik atas aksi massa di Indonesia. Jurnal Politik Profetik, 10(1), 33–49.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). (2024). Laporan tahunan: Ruang sipil dalam ancaman, represi terhadap demonstrasi dan kebebasan berpendapat 2023–2024. Jakarta: KontraS.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. (2024). Laporan situasi kebebasan berpendapat 2024: Hak konstitusional yang terbelenggu. Jakarta: LBH Jakarta.

Prasetyo, A., & Wijaya, T. (2021). Hak asasi dan kekerasan negara: Studi atas pola represi dalam aksi demonstrasi di Indonesia. Jurnal HAM, 12(2), 201–220.

Said, M., & Siregar, R. (2023). Ruang publik, negara, dan aksi kolektif: Membaca ulang kebebasan berpendapat dalam konteks demokrasi Indonesia. Jurnal Sosiologi Reflektif, 18(1), 87–106.

Tarrow, S. (2011). Power in movement: Social movements and contentious politics (3rd ed.). Cambridge University Press.