JURNAL PUBLIK

Akumulasi Ketidakpuasan dan Potensi Unrest Nasional

×

Akumulasi Ketidakpuasan dan Potensi Unrest Nasional

Sebarkan artikel ini

Oleh: Yulfi Alfikri Noer S. IP., M. AP – Akademisi UIN STS Jambi

Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, dalam bukunya Mencapai Indonesia Merdeka pernah berpesan bahwa partai politik seharusnya menjadi obor yang menerangi jalan bangsa, menyuluh jalan yang gelap, dan menuntun rakyat melewati ranjau-ranjau menuju cahaya.

Cita-cita luhur ini menempatkan partai sebagai garda depan perubahan, bukan sekadar mesin kekuasaan.

Namun, jika dibandingkan dengan kondisi perpolitikan Indonesia kini, harapan itu terasa semakin jauh dari kenyataan. Banyak partai justru terjebak dalam pragmatisme kekuasaan, lebih mementingkan kepentingan elite ketimbang aspirasi rakyat. Situasi ini membuat jurang ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi politik semakin lebar.

Dalam konteks inilah, teori snowball effect relevan untuk memahami bagaimana ketidakpuasan politik dapat berkembang menjadi keresahan sosial berskala nasional (unrest nasional).

Kenyataan tersebut tidak hanya berhenti pada level wacana politik, melainkan menjelma dalam dinamika sosial yang nyata. Berbagai kebijakan yang dianggap tidak adil dan perilaku elite yang abai kemudian memperlihatkan bagaimana teori snowball effect bekerja dalam konteks Indonesia kontemporer.

Fenomena tersebut semakin tampak jelas ketika kita menilik dinamika kerusuhan sosial yang terjadi belakangan ini, terlepas dari ada dan tiadanya penumpang gelap, di mana akumulasi kekecewaan rakyat terhadap kebijakan elite berubah menjadi ledakan kemarahan kolektif. Kondisi ini bukan lagi sekadar ilustrasi teoritis, melainkan tereflesikan dalam realitas sosial-politik Indonesia, sebagaimana tampak pada rentetan peristiwa demonstrasi yang kian membesar akibat kebijakan elitis dan kurangnya empati penguasa.

Perilaku elite yang abai dan tuna empati menyebabkan eskalasi demonstrasi meluas dari isu tunjangan dinas DPR di tengah efisiensi anggaran daerah.

Ditambah dengan tunjangan makanan, transportasi, dan gaji pokok yang sudah ada, kebijakan tersebut memicu kemarahan masyarakat umum. Frustrasi ekonomi semakin parah akibat kenaikan biaya makanan dan pendidikan, pemutusan hubungan kerja massal, serta kenaikan pajak properti yang diberlakukan oleh pemerintah daerah sebagai akibat pemotongan dana dari pemerintah pusat. Semua ini kemudian diperburuk dengan tragedi wafatnya seorang driver ojol akibat dilindas mobil aparat.

Unrest Nasional sebagai Realitas Sosial

Unrest nasional merujuk pada kondisi ketidakstabilan sosial-politik akibat akumulasi ketidakpuasan masyarakat. Fenomena ini biasanya ditandai dengan demonstrasi, kerusuhan, bentrokan dengan aparat, dan melemahnya legitimasi negara. Faktor pemicunya bisa berupa ketidakadilan hukum, kesenjangan ekonomi, lemahnya komunikasi politik, atau kebijakan publik yang tidak berpihak pada rakyat.

Jika tidak segera diantisipasi, akan bergulir semakin besar layaknya bola salju yang menggelinding dari puncak gunung hingga menjadi besar dan sulit dihentikan. Dalam ranah sosial-politik, ini berarti ketidakpuasan yang awalnya lokal dapat menjalar, menular, dan meluas hingga mengancam stabilitas nasional.

Kasus-Kasus Historis Snowball Effect di Indonesia 1974 – Malapetaka Lima Belas Januari (Malari)

Pada 15 Januari 1974, terjadi kerusuhan besar yang dikenal sebagai Malapetaka Lima Belas Januari (Malari).

Demonstrasi mahasiswa yang awalnya menentang dominasi modal asing khususnya Jepang dan korupsi berkembang menjadi kerusuhan saat provokator masuk ke tengah massa. Mobil buatan Jepang dibakar, toko-toko milik etnis Tionghoa dijarah, dan terjadi perusakan di pusat perdagangan (https://zonaperang.com). Akibatnya, 11 orang tewas, ratusan luka-luka, dan ratusan lainnya ditangkap.

1998 – Reformasi dan Kerusuhan Mei

Pada 12 Mei 1998, empat mahasiswa Trisakti ditembak saat menggelar aksi damai menuntut reformasi. Kejadian ini memicu gelombang kemarahan sehingga demonstrasi menyebar ke berbagai wilayah, termasuk Cengkareng dan Slipi, dalam hitungan jam (https://www.kompas.com). Dalam tiga hari (13–15 Mei), kerusuhan ini menewaskan lebih dari seribu orang dan melumpuhkan banyak infrastruktur melalui penjarahan dan pembakaran Hasilnya, Presiden Soeharto mundur dari jabatannya pada 21 Mei 1998. Peristiwa ini mencerminkan efek bola salju: dari insiden kecil berkembang ke momentum perubahan besar nasional.

2019 – Kerusuhan Jakarta 21–22 Mei

Setelah Pemilu 2019, demonstrasi di depan Bawaslu berkembang menjadi rusuh. Sembilan orang tewas, dan lebih dari 600 orang luka-luka akibat bentrokan antara massa dan aparat keamanan (https://en.wikipedia.org).

Kronologi menunjukkan eskalasi cepat: protes damai berubah menjadi kerusuhan besar karena akumulasi ketegangan politik dan emosi massa (https://www.tagar.id).
2025 – Gelombang Demonstrasi dan Kerusuhan Terkini

  1. Gelombang Awal (Maret 2025)
    Protes menolak revisi UU TNI yang memperluas peran militer dalam pemerintahan mulai muncul. Salah satunya terjadi pada 15 Maret 2025 di Hotel Fairmont Jakarta, melibatkan aktivis KontraS. Aksi ini menjadi simbol perlawanan terhadap potensi kemunduran demokrasi.
  2. Puncak Demonstrasi (Agustus 2025)
    Pada 25 Agustus 2025, publik dikejutkan dengan laporan tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan bagi 580 anggota DPR. Aksi protes merebak ke berbagai kota, dari Jakarta hingga Makassar, dengan pola pembakaran ban, blokade jalan, dan bentrokan dengan aparat.
  3. Tragedi Affan Kurniawan (28 Agustus 2025)
    Tewasnya seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, yang dilindas kendaraan taktis polisi, menjadi titik balik. Video insiden viral, memicu solidaritas nasional dari sesama ojol dan mahasiswa, termasuk di Bali dan kota-kota lainnya di Indonesia.
  4. Kerusuhan Nasional
    Di Makassar, massa membakar gedung DPRD dan menewaskan sedikitnya tiga orang. Peristiwa serupa terjadi di Mataram, Pekalongan, dan Cirebon. Kerusuhan meluas ke Surabaya, Bandung, Solo, Yogyakarta, Medan, Malang, Jambi, Aceh, Pontianak, hingga Gorontalo.
  5. Dampak Ekonomi dan Politik
    Sekitar 950 orang ditangkap di Jakarta, 25 aparat luka berat. Bursa saham turun lebih dari 2%, rupiah melemah hampir 1%. Presiden Prabowo menanggapi dengan menjenguk keluarga Affan dan menahan tujuh personel Brimob terkait insiden tersebut.
    Refleksi dan Implikasi
    Rangkaian kasus di atas membuktikan bahwa dinamika politik Indonesia kerap mengikuti pola snowball effect. Ketidakpuasan yang tampak kecil bisa berkembang menjadi krisis nasional ketika, pemerintah lamban merespons, komunikasi politik tersumbat, serta pendekatan represif lebih diutamakan daripada dialog. Oleh karena itu, diperlukan strategi antisipatif yang menekankan transparansi, keadilan, serta partisipasi publik agar energi protes dapat diarahkan ke jalur konstruktif, bukan destruktif.

Kesimpulan

Unrest nasional di Indonesia adalah hasil dari ketidakpuasan yang berkembang melalui mekanisme snowball effect. Mulai dari Malari 1974, Reformasi 1998, kerusuhan Pemilu 2019, hingga gelombang demonstrasi 2025, pola ini selalu berulang.

Pesan Soekarno tentang partai politik sebagai obor penerang bangsa menjadi relevan kembali, institusi politik seharusnya menjadi penyalur aspirasi, bukan pemicu keresahan. Sembari penulis teringat judul salah satu berita, “Mengingat Lagi Pesan Gus Dur: DPR Seperti Taman Kanak-Kanak” (https://news.okezone.com), refleksi ini mengingatkan bahwa tanpa perbaikan serius ketidakpuasan rakyat kepada wakil-wakil rakyat akan terus bergulir layaknya bola salju.

Apabila komunikasi terputus dan ketidakadilan dibiarkan menumpuk, bola salju keresahan akan terus bergulir, membawa dampak destruktif bagi bangsa. Sebaliknya, jika energi protes ditata melalui kanal demokratis yang sehat, maka bola salju itu bisa diarahkan menjadi kekuatan perubahan menuju Indonesia yang lebih adil dan demokratis. ***