JURNAL PUBLIK

Etika Elit Penyebab Aksi Massa

×

Etika Elit Penyebab Aksi Massa

Sebarkan artikel ini

Oleh : Dr.Arfa’I, SH.MH. (*)

SEMARAKNYA demonstrasi yang merata di seluruh Republik Indonsia, mulai dari aksi damai, aksi anarkis saat demonstrasi sampai adanya aksi penjarahan rumah anggota DPR RI yang dinilai rakyat telah menyakiti hatinya, seperti rumah Eko Patrio dan Uya Kuya Anggota DPR RI dari Partai PAN, Rumah Syahroni dan Nafa Urbach dari Partai Nasdem, bahkan Rumah Menteri Keuangan mengalami juga tidak luput dari Penjarahan.

Selain itu terjadi pembakaran Gedung DPRD, Kendaraan Dinas, bahkan terjadi juga korban jiwa driver Ojol yang digilas mobil pengaman demontrasi, Mahasiswa AMIKOm Yogyakarta juga terut tewas serta mungkin ada korban-korban jiwa lainnya yang sampai saat ini belum terdata secara valid.

Kejadian-kejadian yang disebut di atas, tergolong dampak negative dalam dinamika pelaksanaan demonstrasi hari-hari ini.

Sebagai langkah meredam kejadian tidak terus terjadi,maka Presiden RI Probowo Subianto telah mengintruksikan Polisi dan TNI untuk menindak tegas para perusuh, tentunya perintah ini juga menimbulkan ketakutan dikalangan massa aksi saat menyampaikan aspirasi.

Presidenpun membangun komunikasi dengan ormas-ormas keagamaan, rapat darurat dengan ketua ketua partai politik, rapat darurat dengan anggota kabinetnya, hasil akhirnya tuntutan kenaikan tunjangan rumah anggota DPR RI dievaluasi ulang.

Namun demikian, upaya-upaya yang dilakukan sang Presiden tidak menghentikan aksi massa demontrasi tetap diagendakan dan tetap dilaksanakan sampai hari ini.

Dengan demikian, muncul pertanyaan, ada apa dengan negeri ini, apakah tidak cukup upaya-upaya yang telah dilakukan sang Presiden atau justru yang dilakukan,kebijakan terbaru dari sang presiden bukan sebagai obat penyejuk, penyelesai masalah di mata public.

Dalam konteks inilah, pemerintah perlu menelaah secara mendalam dan konfrehensif penyebab terjadiya semua ini.

Jika ditelaah secara mendalam, adanya aksi massa yang terjadi saat ini merupakan akumulasi kemarahan dan kesabaran yang dipendam oleh rakyat sejak Reformasi 1998.

Pada saat Reformasi 1998 menurunkan Rezim Soeharto rakyat punya mimpi setelah adanya reformasi rakyat mendapatkan kesejahteraan, keadilan, persamaan.

Rakyat bermimpi kekayaan alam yang ada di Indonesia semua dikelola dengan baik dan dapat rakyat nikmati.

Politik yang sebelumnya hanya dinikmati sekelompok orang menjadi semua orang menikmati, kebijakan pemerintah sesuai dengan impian rakyat bukan impian pemerintah dan pemodal.

Namun demikian dari 1998 sampai beberapa kali berganti pemerintahan (presiden dan DPR), di daerah Gubernur dan Bupati tetap saja Impian rakyat pada saat reformasi 1998 tidak dapat terwujud bahkan sangat terasa pada tahun 2025 dengan adanya pajak yang memberatkan, ekonomi tidak stabil sehingga harga barang naik, hutang negara bertambah banyak.

Data menunjukkan Angka kemiskinan masih 9,36% atau 25 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan. Lalu Pengangguran terbuka mencapai 5,9% atau 8,2 juta orang. PHK massal sejak adanya covid 19 belum juga teratasi, lebih dari 1,5 juta buruh kehilangan pekerjaan. Sementara itu di desa-desa, petani menjerit, harga gabah rendah, pupuk langka, utangpun menumpuk.

Begitupun dengan nelayan menjerit karena harga solar lebih tinggi memberatkan, penegakkan hukum amboradul kelihatan seoalah olah pembela ologarki,oligarki semakin merajalela, etika elit jadi arogan.

Dengan demikian, jika ada pendapat yang menyatakan kondisi aksi massa hari ini adalah akumulasi kemarahan dan kesabaran dari rakyat adalah tidak salah. Namun demikian, masalah intinya bukanlah soal akumulasi itu semata, namun lebih dititik beratkan pada cara negara ini dikelola pasca reformasi.

Pengelolaan negara ini pasca reformasi tidak lagi pada jalan yang sebenarnya dalam konteks etika elit elitnya sebagaimana tuntunan Pancasila dan Tujuan Negara Dalam Pembukaan UUD 1945.

Elit elit yang dimaksud adalah mulai dari Pimpinan Pemerintah dan pembantu pembantunya, Legislatif, Partai Politik baik yang ditingkat pusat maupun di Tingkat daerah. Elit elit inilah tidak metekkan etika dalam mengelola negara ini.

Bukti etika nyatanya adalah perbuatan elit politik dari segi kebijakannya ataupun dari sisi prilakunya lebih bernuansa pemenuhan kepentingan dan kebutuhan pribadi atau kelompoknya dengan mengorbankan rakyat sebagai pihak yang perlu disejahterakan oleh negara atau dikenal menurut Peter Merkl digolongkan politik yang sangat buruk.

Hal tersebut ditandai dengan pola prilaku elit politik yang lebih senang menunjukkan arogansi kebijakan dan arogansi lisan, menunjukkan kemewahan dan berwatak ekonomis bermain kebijakan-kebijakan yang tidak menyentuh rakyat banyak, korupsi terjadi hampir disemua lembaga negara.

Rakyat dibuai dengan bantuan-bantuan, sumbangan-sumbangan yang tidak diungkapkan secara tarnsparan darimana asal dana yang diberikan kepada rakyat, terutama pada saat menjelang pemilihan umum.

Pada posisi ini, terdapat etika politik yang tidak sesuai dengan makna asas kerohanian negara yang menekankan pada ketuhanan yang maha esa, artinya bahwa manusia adalah mahkluk tuhan yang maha esa berkewajiban untuk memberikan kesejahteraan dan kedamaian bagi sesama manusia.

Hal tersebut ditekankan kembali dengan asas kemanusiaan yang adil dan beradab, menekankan pada keadilan dan keberadapan bukan pada kesenjangan dan ketidakberadaban. Persatuan Indonesia. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaran/perwakilan. Serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan keadilan sosial bagi segolongan atau sekelompok rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, sebagai sebuah Solusi seharusnya segenap elemen bangsa terutama sekali Elit Politik (penyelenggara negara) berkomitmen terhadap segala ketetapan yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yakni nilai-nilai Pancasila dan tujuan Negara Republik Indonesia. Sehingga terwujudnya Pembukaan UUD 1945 sebagai rechts orde yang memberikan pedoman yang mutlak dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia bukan sekedar omon omon saja.

Presiden RI mesti memulai untuk membersihkan elite elit politik yang jauh dari etika kenegaraan di RI, dimulai dari lingkaran kabinetnya, para penegak hukum, partai partai politik juga membersihkan anggotanya sampai kepala daerah yang berasal dari partainya, begitupun DPR RI mulai membersihkan anggotanya yang jauh dari eltika politik yang baik.

Selain itu Presiden harus berani mencabut dan merubah kebijakan kebijakan yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat dan memberatkan rakyat. Artiya upaya yang dilakukan Presiden saat ini tidak berarti apa apa jika hanya membatalkan kenaikan tunjangan rumah DPR dan Moratorium ke luar negari, tanpa diiringi dengan kebijakan kebijakan lain dan tanpa diiringi oleh Lembaga Lembaga negara lain juga melakukan pembenahan. ***

Dr. Arfa’i, SH.MH.
Dosen Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Jambi