Penulis : Dr. Yuliana, S.E., M. SI (Akademisi, Pengamat Ekonomi Pembangunan dan Konflik)
- Ketimpangan Ekonomi, Agraria dan Industri Batubara
Provinsi Jambi merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam, terutama batubara dan hutan. Sayangnya, kekayaan tersebut belum mampu menjawab tantangan keadilan sosial dan ekonomi bagi masyarakat adat serta petani.
Konflik agraria sampai saat ini masih terjadi, di mana masyarakat kecil dan komunitas adat mengklaim lahan yang telah dikelola turun-temurun, namun keberadaannya berhadapan dengan kebijakan penertiban yang diwakili Satgas PKH.
Belum lagi konflik lahan yang terjadi antara masyarakat dengan masyarakat dan masyarakat dengan perusahaan yang tak kunjung selesai.
Aksi demonstrasi Aliansi Petani Jambi (termasuk WALHI, KPA, SPI, dan lain-lain) pada Senin, 4 Agustus 2025 mencerminkan kegelisahan tersebut. Para petani menyegel pintu DPRD Provinsi Jambi, menuntut penghentian penggusuran dan penilaian ulang terhadap Perpres No. 5 Tahun 2025, yang dianggap menyasar lahan adat maupun petani kecil tanpa transparansi dan sensitivitas sosial.
Penelitian oleh Yuliana (2024) di Aktualita Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan menganalisis konflik lahan di Provinsi Jambi dengan pendekatan kualitatif, riset lapangan, digital, dan kepustakaan. Beberapa temuan utama: Sepanjang 2010–2021, tercatat ada 3.408 konflik, terdiri dari 59,45% konflik lahan dan sumber daya alam, 9,07% konflik batas administrative, 7,92% konflik SARA (agama, suku, ras, antar-golongan), 6,28% konflik politik dan 17,28% konflik ekonomi dan industry.
Pada tahun 2019, Provinsi Jambi menjadi salah satu dari 10 provinsi dengan konflik agraria tertinggi di Indonesia, 17 letusan konflik seluas 270.086,9 ha. Konflik berkepanjangan sering melibatkan perusahaan besar seperti PT WKS (Sinar Mas Forestry Group), yang bersengketa dengan lebih dari 3.446 KK di 15 desa di lima kabupaten/kota dalam area seluas 14.286 ha.
Selain itu, WALHI mencatat sepanjang 2018 ditemukan 1.156 kasus bencana ekologis, konflik agraria, dan pelanggaran HAM (612 kasus bencana ekologis, 388 pelanggaran HAM, 156 konflik agraria yang melibatkan sektor tambang, HTI, dan perkebunan monokultur).
a. Kondisi Terkini Reforma Agraria dan Penyelesaian Konflik
Tercatat per Agustus 2025 Masih terdapat 21 kasus konflik lahan di sektor perkebunan kelapa sawit dan kehutanan yang belum terselesaikan. Luas lahan sengketa masih mencapai sekitar 51.170 ha. Gubernur Jambi, Al Haris, melalui Rapat Koordinasi GTRA pada tanggal 12 Agustus 2025, mendorong percepatan reforma agraria melalui identifikasi TORA (Tanah Objek Reforma Agraria), redistribusi tanah, dan legalisasi akses. Program ini sudah berjalan intensif sejak 2018, dan menjadi bagian RPJMD 2025–2029.
b. Konflik Agraria, Krisis Tenurial, dan Ketimpangan Ekonomi
Perluasan industri sawit di Jambi melahirkan ketimpangan akses lahan, eksploitasi ruang hidup, dan ketidakadilan struktural. Peneliti Yulfi Alfikri (UIN STS Jambi) menyoroti bahwa industri sawit harus ditata ulang agar keadilan spasial dan hak agraria menjadi bagian dari tata kelolanya. Kasus konkret dan tragis seperti di Desa Sumber Jaya terjadi perusakan lingkungan, kriminalisasi petani (54 petani dikriminalisasi dalam tiga tahun terakhir), serta kegagalan penyelesaian konflik lewat hukum, menunjukkan bahwa akses dan hak lahan terpola tidak adil
- Batubara dan Jalan Khusus: Menyatukan Aspirasi dan Justisi Ekologis di Jambi
Sejak April 2025, Aliansi Mahasiswa Melawan (AMM) Jambi secara konsisten mengangkat isu keadilan ruang dan ekologis dalam kerangka pertambangan batubara terutama penyediaan jalan khusus batubara (hauling road). Bagi mereka, jalan ini bukan sekadar infrastruktur ekonomi, melainkan simbol keadilan tata ruang yang inklusif dan berkelanjutan.
a. Kewajiban yang Tertunda: Jalan Khusus yang “Digadang-gadang”
Sejak Perda Nomor 13 Tahun 2012 dan Perda Nomor 1 Tahun 2015, setiap angkutan batubara wajib melalui jalan khusus atau sungai, dengan target selambat-lambatnya Januari 2014 tapi hingga tahun 2020, proyek sebagian besar belum terealisasi.
Komisi V DPR RI dan Kementerian PUPR bahkan merekomendasikan percepatan pembangunan jalan khusus dan pembatasan beban kendaraan (ODOL), karena kerusakan jalan akibat truk batubara bisa membengkak dari Rp824 miliar menjadi Rp8,4 triliun jika tidak ditangani serius. Presiden Jokowi pada Mei 2023 juga memerintahkan percepatan pembangunan jalan khusus, sebagai jalan keluar dari kemacetan dan erosi infrastruktur jalan umum.
b. Kendala di Lapangan: Pembebasan Lahan dan Politik Ekonomi
Sukar dibayangkan, proyeksi jalan sepanjang 140 km (Sarolangun–Batanghari–Muaro Jambi) dengan nilai investasi sekitar Rp1,2 triliun telah diresmikan pada tahun 2022 termasuk rest area dan Pelabuhan, namun implementasi masih progresif.
Sekda Jambi menyatakan pada Mei 2023 bahwa masih terdapat kendala serius dalam pembebasan lahan. Beberapa pemilik menaikkan harga hingga 500 % sehingga baru 70 % lahan terbebaskan. Gubernur Al Haris sejak Januari 2024 menegaskan bahwa pengusaha batubara harus menyelesaikan kewajiban jalan khusus, karena bukan sekadar soal keuntungan, tapi tanggung jawab sosial ekologi mereka.
c. Pergeseran Jalur: Menavigasi Ruang Ekologi dan Tekanan Korporasi.
Minggu pertama Juli 2025, Gubernur menyatakan bahwa jalur jalan khusus akan melintasi tiga konsesi HTI yang luasnya mencapai ratusan ribu hektare menandakan pemetaan ulang tata batas dan rencana ruang telah mulai dibahas. Sinergi dengan pemerintah pusat, investor, dan perusahaan HTI memberi harapan bahwa pembangunan jalan bisa lebih strategis dan berdampak positif lokal.
d. Dampak Lingkungan Nyata: Polusi Udara dan Ancaman Kesehatan
Penelitian oleh Hayyu Salma (2023) dari UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi menunjukkan hubungan positif signifikan antara frekuensi truk batubara dan peningkatan konsentrasi partikulat (PM10 dan PM2.5) di sepanjang rute pengangkutan, menyoroti dampak kesehatan masyarakat. Studi lain dari LSPR Institute (LSPR & Universitas Nusaputra) menyimpulkan bahwa eksploitasi batubara menyebabkan deforestasi, polusi, erosi budaya, serta minimnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan .
e. Tata Kelola Batubara dan Konflik Agraria
Pertambangan rakyat, yang sebagian besar ilegal, menjadi lahan rebutan antara masyarakat lokal dan elite korporasi. Konflik ini memperjelas lemahnya regulasi dan ketimpangan structural. Selain itu, pemulihan seperti reklamasi tak kunjung dijalankan, lahan bekas galian menganga, mencemari sungai, hingga menimbulkan korban Kesehatan, sebagaimana dikritik dalam diskusi mahasiswa dan aktivis lokal.
f. Rekomendasi: Jalan Menuju Infrastruktur Pro-rakyat dan Adil
1) Persoalan Jalan Khusus yang Tertunda yaitu dengan membentuk tim percepatan lintas sektoral (Pemprov, DPRD, BPN, investor) dengan batas waktu konkret dan transparansi publik.
2) Pembebasan Lahan Bermasalah, yaitu dengan perundingan harga dengan basis teknis appraisal, menggunakan eminent domain jika perlu, tetapi dengan kompensasi adil dan dialog terbuka.
3) Masalah Kesehatan dan Polusi Udara dapat diatasi dengan cara Pasang pemantau kualitas udara (PM10/PM2.5) di sepanjang rute, dan ikat pembangunan jalan dengan teknologi reduksi emisi kendaraan.
4) Reklamasi dan Lingkungan agar seluruh perusahaan tambang harus menyusun Rencana Reklamasi dan dana jaminan lingkungan wajib dipasang sebagai syarat operasional.
5) Partisipasi Publik dan Akademik meliibatkan mahasiswa (seperti AMM), masyarakat adat, dan akademisi dalam penyusunan AMP (Analisis Manfaat Publik) untuk proyek jalan.
6) Perlindungan Tenurial Amankan hak-hak masyarakat terdampak lewat mediasi, sertifikasi lahan, dan if necessary legal aid, hindari kriminalisasi lahan.
g. Kesimpulan Reflektif
Jalan khusus batubara idealnya menjadi perwujudan keadilan ekologis dan tata ruang inklusif, bukan sekadar proyek ekonomi. Namun, realitasnya mencerminkan kompleksitas tata kelola: tumpang tindih regulasi, kepentingan korporasi, penundaan kebijakan, dan dampak serius terhadap masyarakat dan lingkungan. Penelitian empiris terbaru seperti peningkatan polusi udara akibat truk batubara memberi tekanan tambahan bahwa penundaan bukan cuma birokratis, tapi mengancam kesehatan dan keadilan sosial.
Inilah saatnya bagi pemerintah dan pemangku kepentingan untuk meninjau kembali komitmen melalui dialog nyata, transparansi, dan proyek pembangunan yang tak hanya “cepat”, tapi juga “berkeadilan”. Dan mahasiswa, sebagai penjaga nurani publik, terus memantau agar jalan itu benar-benar bisa mengantar bukan ke krisis, tetapi ke rekonsiliasi antara ekonomi, lingkungan, dan masa depan Jambi.
- Mahasiswa sebagai Penyalur Kritik dan Pendorong Reformasi
Gelombang demonstrasi mahasiswa yang terjadi di Jambi dalam beberapa hari terakhir sejatinya merupakan bagian dari gerakan nasional yang merebak di berbagai kota di Indonesia.
Aksi-aksi ini tidak berdiri sendiri, tetapi mencerminkan akumulasi kekecewaan terhadap kebijakan politik dan penegakan hukum yang dianggap semakin menjauh dari keadilan publik. Pemicunya adalah insiden tragis yang terjadi pada 28 Agustus 2025 di Jakarta, saat seorang pengemudi ojek online (ojol) terlindas kendaraan taktis di tengah demonstrasi di depan Gedung DPR RI.
Insiden tersebut dianggap menjadi simbol kuat dari ketimpangan perlakuan negara terhadap rakyat kecil dan menjadi bahan bakar kemarahan kolektif yang kemudian meluas ke berbagai wilayah, termasuk Jambi, Yogyakarta, Makassar, dan Bandung.
Di media sosial, tagar seperti #OjolDemiRakyat dan #DPRBisu menjadi trending, memperlihatkan bahwa gerakan ini bukan hanya soal lokalitas, tapi solidaritas nasional yang berakar pada empati dan tuntutan perubahan nyata.
Di Jambi, demo mahasiswa yang terjadi sebelumnya tidak hanya membawa isu nasional seperti reformasi DPR dan perlindungan rakyat kecil, tetapi juga mengangkat isu spesifik daerah, seperti konflik agraria, kriminalisasi petani, hingga keterlambatan pembangunan jalan khusus batubara.
Dengan begitu, demonstrasi mahasiswa di Jambi menjadi cerminan bagaimana isu lokal dan nasional bertemu dalam satu gelombang kritik terhadap sistem kekuasaan yang dianggap abai terhadap keadilan sosial dan ekologis. Jambi seperti berdiri di persimpangan, kekayaan sumber daya alam dan potensi ekonomi besar itu justru tercemar oleh konflik berkepanjangan, ketimpangan agraria, dan lambannya respons kelembagaan. Dalam penelitian Yuliana (2022) menegaskan skala konflik yang serius, sementara pemangku kebijakan masih terpaku rutinitas birokratis.
Aksi mahasiswa dua hari terakhir memberi sinyal perubahan bahwa generasi muda menuntut negara hadir, adil, dan responsif. Walau konflik agama termasuk minor, kewaspadaan tetap penting agar potensi polarisasi tak muncul di tengah ketidaksetaraan struktural. Ketidakadilan dan stagnasi respons pemerintah memicu gelombang aksi mahasiswa.
Pada Jumat, 29 Agustus 2025, ribuan mahasiswa dari berbagai kampus menggelar unjuk rasa besar di depan DPRD Provinsi Jambi. Awalnya damai, aksi berubah ricuh ketika DPRD dianggap absen menerima aspirasi.
Beberapa kaca pecah, gas air mata disemprotkan, dan water cannon digunakan. Aksi ini menyuarakan tuntutan reformasi DPR, reformasi Polri, hingga penolakan terhadap gaji fantastis pimpinan dewan di tengah penderitaan rakyat.
Inilah momentum bagi pemerintah daerah, DPRD, aktivis, pengusaha, dan akademisi untuk bersama menciptakan transformasi agraria yang inklusif, pembangunan ekonomi yang adil, dan dialog politik yang membumi.
- Lanskap Politik Lokal dan Ketimpangan Respons
Tak kalah relevan, konflik agraria di Jambi bukan wajah baru. Peristiwa seperti penyerobotan aset Pemkab Batanghari oleh oknum mafia tanah mencerminkan korporatisasi dan kelemahan regulasi yang menggerus kepercayaan publik terhadap lembaga pertanahan (ATR/BPN). - Konflik Agama: Catatan Tenang yang Terabaikan
Berbeda dengan isu lain yang bergelora, konflik agama di Jambi relatif minim dalam pemberitaan terkini. Ini bisa menjadi peluang untuk membangun konsensus sosial dan dialog antarumat beragama. Namun perlu terus diawasi agar tidak menjadi latar yang dipolitisasi saat isu-isu lain memanas. - Meretas Jalan Keluar. Rekomendasi Opini
1) Dialog dan Transparansi oleh Pemerintah Provinsi Jambi dan DPRD perlu membuka ruang dialog konkret dengan petani, masyarakat adat, dan mahasiswa. Setidaknya, kirim tim gabungan seperti telah diusulkan Pemprov untuk mediasi konflik agraria.
2) Rekalibrasi Kebijakan Agraria: Evaluasi kembali pelaksanaan Perpres No. 5 Tahun 2025 secara inklusif, dengan peta lahan yang akurat dan mempertimbangakan adat, siapa mengelola sejak kapan, serta dampak sosial dan lingkungan.
3) Reformasi Tata Ruang dan Izin Tambang: Pastikan bahwa kebijakan infrastruktur dan tambang, termasuk jalan khusus batubara, tidak hanya mengakomodasi investor tetapi juga melayani kebutuhan pelayanan publik dan ekologi setempat.
4) Pemulihan Kepercayaan terhadap Representasi: DPRD perlu menunjukkan keberpihakan nyata terhadap rakyat melalui penyesuaian anggaran dan perbaikan citra misalnya, transparansi gaji, dengar aspirasi, serta manfaat nyata bagi masyarakat.
5) Merawat Keharmonian Agama: Konflik agama tidak tampak mencuat, namun kewaspadaan terhadap potensi polarisasi tetap penting. Pemerintah dan tokoh lokal bisa merancang program pendidikan toleransi dan forum lintas iman untuk memperkuat fondasi sosial. - Kesimpulan
Jambi menghadapi tantangan kompleks yaitu konflik agraria, ketimpangan pengelolaan SDA (seperti batubara), aspirasi mahasiswa yang meledak karena lambannya respons politik, serta risiko kriminalisasi petani dan aktivis. Semua ini membutuhkan kehadiran negara dalam melindungi yang lemah. Masih ada harapan melalui dialog inklusif, reformasi kebijakan, dan representasi yang nyata agar pembangunan di Jambi tak hanya menguntungkan segelintir, tetapi menjadi jembatan keadilan bagi semua lapisan masyarakat.
Referensi:
- Jambi One
- Media Indonesia
- Matajambi.com
- Metro Jambi
- Medialintassumatera.net
- Monitor Indonesia
- Detail.id
- Artikel Jurnal Yuliana.













