JAMBIDAILY.COM– Baru ini publik Jambi dikejutkan informasi retaknya organisasi Perkumpulan Pengusaha Tambang Batubara (PPTB) Jambi yang menjadi rumah besar para pelaku industri tambang batu bara di Provinsi Jambi.
Dari penelusuran jambidaily.com, PPTB dibentuk dengan semangat kolaborasi pada 14 November 2023 dan dikukuhkan melalui akta resmi.
PPTB digadang-gadang menjadi motor sinergi antara pengusaha dan pemerintah dalam pembangunan jalan khusus tambang, pengelolaan logistik, hingga hilirisasi industri batubara.
Namun, belum genap dua tahun berjalan, organisasi ini justru retak dari dalam. Dan retakan itu kini berubah menjadi jurang.
Pecah Kongsi di Tengah Jalan
Awalnya bisik-bisik. Lalu berubah menjadi diskusi hangat. Kini, fakta tak terbantahkan: PPTB terbelah. Sebagian anggota merasa kecewa, lalu mendirikan organisasi baru dengan nama yang mirip—Perhimpunan Pelaku Tambang Batubara Provinsi Jambi—yang juga menggunakan singkatan PPTB.
Apa yang memicu pecah kongsi ini?
Jawabannya, seperti yang selalu jadi benang merah konflik di negeri ini: uang. Tepatnya, dugaan ketidakterbukaan dalam pengelolaan dana iuran yang dikutip dari para pengusaha tambang. Nilainya fantastis, konon bisa menyentuh puluhan miliar rupiah per tahun.
“Kami semua diminta bayar. Tapi ke mana uang itu pergi? Tidak pernah jelas. Tidak ada laporan. Bahkan dalam musyawarah tahunan pun tidak dibuka,” ujar seorang pengusaha yang masih aktif sebagai anggota PPTB, kepada jambidaily.com, Kamis 04 September 2025 yang minta namanya tidak ditulis.
Dominasi Segelintir Elit
Lebih jauh, narasumber tersebut menyebut bahwa organisasi ini perlahan berubah arah. Tidak lagi menjadi ruang kolektif bagi pengusaha, melainkan dikuasai oleh segelintir elit yang punya kedekatan kuat dengan lingkar kekuasaan.
Nama-nama berinisial AE, Y, HS, Yj, AA, dan SA kerap disebut dalam bisik-bisik kalangan internal sebagai figur dominan yang mengontrol arah kebijakan, pengelolaan dana, hingga hubungan dengan otoritas pemerintah. Beberapa dari mereka bahkan diketahui merupakan oknum anggota DPRD aktif di Provinsi Jambi.
“AE itu bukan pengurus biasa. Ia punya jalur khusus ke elite Pemprov. Setiap keputusan penting, mulai dari penarikan iuran, pemilihan kontraktor, sampai akses ke jalan khusus tambang—semuanya berpusat di lingkaran itu,” kata salah satu mantan pengurus harian PPTB yang memilih hengkang karena kecewa.
Iuran yang Tak Punya Dasar Hukum?
Menurut dokumen yang diperoleh redaksi, pungutan yang disebut sebagai “iuran wajib” ini katanya sesuai kesepatan para anggota. Namun, hingga kini, belum ada penjelasan resmi mengenai legalitas pungutan tersebut.
Tidak ada Perda. Tidak ada SK Gubernur. Tidak ada peraturan menteri
Situasi menjadi makin panas ketika pada Maret 2025, Ketua PPTB saat ini, Asnawi Abdul Rahman, dipanggil oleh unit Tipikor Polresta Jambi terkait dugaan penyimpangan iuran PPTB.
Alih-alih menjelaskan, Asnawi malah mengaku tidak tahu-menahu soal tuduhan tersebut.
Bagi sebagian pihak, ini bukan sekadar kelalaian. Ini adalah cermin dari rapuhnya akuntabilitas organisasi. Jika ketua tidak tahu ke mana uang anggota mengalir, lalu siapa yang sebenarnya mengendalikan organisasi?
Pemerintah Diam, PPTB Pecah
Kini, dengan berdirinya organisasi baru yang membawa semangat perlawanan terhadap ketertutupan, PPTB benar-benar pecah. Para pengusaha terbelah. Masing-masing menarik garis.
Di tengah kekacauan ini, pemerintah Provinsi Jambi seakan memilih diam. Dinas ESDM, Dinas Perhubungan, dan Satgaswas Gakkum—yang seharusnya menjadi penengah dan pengawas—belum juga bersikap. Padahal, jika situasi ini dibiarkan, bukan hanya tatanan distribusi tambang yang terganggu, tetapi juga potensi konflik horizontal di lapangan.
Dan Masyarakat Hanya Jadi Penonton yang Terdampak
Di luar konflik para elit pengusaha tambang, yang paling terdampak tetaplah rakyat Jambi. Jalan rusak karena angkutan batubara. Udara kotor. Sungai tercemar. Lalu sekarang, mereka juga harus menyaksikan bagaimana segelintir orang berseteru memperebutkan uang yang entah berasal dari mana, dan mengalir ke mana.
Kisah ini belum selesai. Tapi satu hal sudah pasti: PPTB bukan lagi organisasi yang sehat. Retaknya organisasi ini adalah cerminan dari sistem yang rusak—sistem yang menggabungkan uang, kekuasaan, dan arogansi, dalam satu wadah tertutup.
Hingga berita ini dipublikasi belum ada klarifikasi resmi dari PPTB Jambi***
red/













