“Aktifitas PETI di Lubang Jarum bukan sekadar kegiatan penambangan ilegal—ia adalah simbol pembangkangan terhadap hukum dan ancaman nyata bagi masa depan lingkungan dan generasi muda di Bungo.” — Dr. Noviardi Ferzi, Pemerhati Kebijakan Publik
Di tengah gencarnya perintah Presiden Prabowo untuk menertibkan pertambangan emas tanpa izin (PETI), kenyataan di Limbur Lubuk Mengkuang, Kabupaten Bungo, justru memperlihatkan arah yang berlawanan.
Aktivitas PETI di kawasan Lubang Jarum masih berlangsung, seakan menantang kewibawaan negara. Ini bukan sekadar soal tambang ilegal, tetapi ujian terhadap otoritas Presiden dan marwah penegakan hukum di republik ini.
Presiden Prabowo telah berulang kali menegaskan komitmen memberantas tambang ilegal karena dampaknya yang destruktif: merusak hutan, mencemari sungai, mengganggu kesehatan masyarakat, dan merampas potensi penerimaan negara.
Namun ketika instruksi itu diabaikan oleh para pelaku PETI, yang kita saksikan sesungguhnya adalah bentuk pembangkangan terhadap perintah negara. Limbur Lubuk Mengkuang menjadi cermin betapa masih ada ruang kosong antara kebijakan pusat dan implementasi di daerah.
Data penelitian Afandi dan Rahman (2023) mencatat bahwa pada 2022 luas PETI di Kabupaten Bungo sudah mencapai 8.801 hektare, termasuk kawasan Limbur Lubuk Mengkuang. Bahkan sejak 2018, menurut Andini dan Saputra (2022), sudah tercatat 4.094 hektare lahan yang rusak akibat tambang ilegal di sepanjang aliran sungai dan kebun masyarakat. Kondisi ini jelas darurat ekologis.
Selain lahan, kerusakan juga terlihat pada kualitas air. Jambi Daily (2025) melaporkan perubahan drastis warna sungai yang dulu jernih kini keruh dan menguning, penuh sedimen, bahkan mengandung merkuri. Pencemaran ini menurunkan kualitas air, mengancam kesehatan masyarakat, serta merusak ekosistem perikanan. Bom waktu lingkungan sudah di hadapan kita: longsor, banjir, dan penyakit akibat air tercemar menjadi ancaman nyata.
Kerugian akibat PETI tidak hanya ekologis, tetapi juga ekonomi. Kementerian Lingkungan Hidup (2021) memperkirakan setiap hektare tambang ilegal menimbulkan kerugian sekitar Rp300–400 juta per tahun. Dengan luasan ribuan hektare di Bungo, maka kerugiannya mencapai Rp1,5–2 triliun per tahun. Bandingkan dengan potensi legal: Jambi Update (2025) menyebut pengelolaan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dapat menghasilkan manfaat hingga Rp1,1 triliun per tahun dengan kontribusi langsung ke masyarakat, PAD, dan dana lingkungan. Membiarkan PETI berarti membuang peluang ekonomi sah sekaligus menambah beban kerusakan yang mahal untuk dipulihkan.
Lebih parah lagi, PETI juga menimbulkan keretakan sosial. Warga terpecah antara yang mendapat keuntungan sesaat dengan yang menanggung dampak lingkungan jangka panjang. NU Online (2023) mencatat, aktivitas PETI bahkan menyeret sebagian pemuda ke lingkaran narkoba dan kriminalitas, memperlihatkan jebakan destruktif yang merusak masa depan generasi muda. PETI bukan hanya melawan perintah Presiden, tetapi juga menghancurkan tatanan sosial di Bungo.
Aktivitas PETI dengan sistem lubang jarum sudah seperti “raja kecil” yang memiliki aturan sendiri. Modusnya berlapis, melibatkan pemodal, operator alat berat, hingga oknum yang membekingi. Karena itu, wajar bila publik menuntut persoalan ini dinaikkan ke level lebih tinggi, dilaporkan ke Mabes Polri dan Kejaksaan Agung. Hanya tekanan dari pusat yang bisa memutus lingkaran perlindungan terhadap pelaku PETI. Instruksi Presiden tidak boleh berhenti sebagai seruan moral, melainkan diwujudkan dalam operasi hukum yang konsisten dan berkelanjutan. Jika tidak, Limbur Lubuk Mengkuang akan menjadi preseden buruk, daerah yang berani menolak tunduk pada aturan negara.
Melawan PETI berarti melawan jejaring kepentingan yang terorganisir. Jalan satu-satunya adalah keterlibatan langsung aparat pusat, dengan penindakan menyasar tidak hanya penambang kecil, tetapi juga aktor besar di balik layar. Setelah itu, rehabilitasi lingkungan harus dilakukan dengan reboisasi, pemulihan sungai, dan reklamasi. Di sisi lain, masyarakat harus diberi jalan keluar melalui pengembangan WPR yang legal. Dengan tata kelola transparan, teknologi ramah lingkungan, dan pembinaan koperasi, aktivitas tambang bisa menjadi sumber ekonomi tanpa mengorbankan masa depan.
Presiden sudah memberi arah yang jelas. Kini bola berada di tangan aparat penegak hukum. Limbur Lubuk Mengkuang tidak boleh lagi menjadi lubang hitam hukum yang menghisap kewibawaan negara. Bila perintah Presiden dibiarkan diabaikan, maka yang sesungguhnya dikorbankan bukan hanya lingkungan, tetapi juga wibawa republik dan masa depan anak bangsa.
*) Penulis : Dr Noviardi Ferzi adalah Dosen dan Pemerhati Kebijakan Publik.
Daftar Pustaka
Afandi, Y., & Rahman, A. (2023). Kebijakan Penanganan Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kabupaten Bungo. Jurnal Demokrasi dan Otonomi Daerah (Demos), 21(2), 105–120.
Andini, P., & Saputra, A. (2022). Dampak Pertambangan Emas Tanpa Izin terhadap Kerusakan Lahan dan Sosial Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Bungo. Jurnal Ideas Publishing, 8(1), 75–86.
KLHK. (2021). Laporan Kerugian Ekologis Akibat Pertambangan Tanpa Izin. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
NU Online. (2023). Dampak Tambang Emas Tanpa Izin di Bungo Jambi: Pengguna Narkoba Marak, Lingkungan Makin Rusak. Diakses dari https://www.nu.or.id
Jambi Update. (2025, 23 Agustus). Untung-Rugi Wilayah Pertambangan Rakyat: Menyelamatkan Rakyat atau Menanggung PETI? Diakses dari https://jambiupdate.co
Jambi Independent. (2025, 24 Agustus). Untung-Rugi Wilayah Pertambangan Rakyat. Diakses dari https://jambiindependent.disway.id
Jambi Daily. (2025, 7 September). Dampak PETI, Batang Tebo Menguning: Negara ke Mana? Diakses dari https://jambidaily.com













