Editorial: Nazarman
JAMBI DAILY. COM-Ada istilah yang terdengar manis dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK): kelebihan bayar. Kata ini seolah hanya salah hitung di buku kas, padahal faktanya uang rakyat menguap dalam jumlah besar. Dan kalau mau jujur, dalam bahasa hukum, itu tak lain adalah korupsi yang dipoles dengan bahasa birokrasi.
Kasus di Dinas PUPR Merangin adalah contoh segar. Dari proyek swakelola jalan dan jembatan senilai Rp2,8 miliar, BPK menemukan lebih dari Rp1 miliar yang bermasalah. Rinciannya: Rp642,9 juta dibayarkan tanpa bukti sah, dan Rp379 juta justru mengalir ke pihak yang tidak berhak.
Pertanyaan kuncinya: siapa pihak tidak berhak itu? Bagaimana mungkin uang negara bisa cair ke tangan orang yang sama sekali tidak punya dasar hukum untuk menerima? Dugaan pun bermunculan: ada “penumpang gelap” proyek, ada praktik setoran bawah tanah untuk penguasa, atau permainan oknum dalam dinas yang sengaja membuka jalur agar uang rakyat masuk ke kantong yang seharusnya tidak terjamah.
Celakanya, pola penyelesaian biasanya sama: uang dikembalikan ke kas daerah, urusan dianggap selesai. Seolah-olah kas negara ini hanya tabungan pribadi pejabat bisa dipinjam dulu, kalau ketahuan tinggal setor balik. Padahal yang hilang bukan sekadar uang, tetapi juga akal sehat dalam tata kelola pemerintahan.
Editorial ini ingin menegaskan: jangan terus bersembunyi di balik istilah kelebihan bayar. Itu hanyalah samaran bagi korupsi yang dibungkus sopan santun birokrasi. Dan kali ini, tidak cukup hanya mengembalikan uang. Aparat penegak hukum harus turun tangan, membongkar siapa sebenarnya penerima gelap Rp379 juta itu. Jika tidak, publik akan menilai pemerintah daerah dan DPRD hanyalah sekutu dalam melanggengkan budaya maling yang rapi jalan tetap rusak, jembatan tetap rapuh, tapi uang rakyat raib ke kantong orang yang bahkan tidak berhak menerima, atau lebih tepatnya, orang yang dipaksakan berhak karena berada di lingkaran kekuasaan.***











