JURNAL PUBLIK

Perjanjian yang Diabaikan PT KDA, Wibawa Pemerintah Dipertaruhkan

×

Perjanjian yang Diabaikan PT KDA, Wibawa Pemerintah Dipertaruhkan

Sebarkan artikel ini

Editorial: Nazarman

Lebih dari lima tahun, 13 desa di Tabir Raya hanya bisa menatap getir. PT KDA terus memanen hasil kebun di atas Tanah Kas Desa (TKD), tetapi dana bagi hasil yang menjadi hak masyarakat tak kunjung disalurkan. Ini bukan sekadar janji manis tanpa bukti, melainkan perjanjian resmi yang ditandatangani oleh Bupati Sarolangun Bangko saat itu, Rotani Yataka, dengan Direktur PT KDA, Daud Dharsono, serta diketahui oleh Gubernur Jambi kala itu, DRS. H. Abdurrahman Sayuti.

Perjanjian itu tegas: PT KDA berkewajiban menyalurkan dana bagi hasil secara berkala sebagai bentuk tanggung jawab terhadap desa-desa yang terkena dampak operasionalnya. Dana tersebut dimaksudkan untuk pembangunan desa, infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dengan kata lain, dana itu adalah hak desa, bukan kemurahan hati perusahaan.

Namun fakta di lapangan jelas: lebih dari lima tahun, hak itu tidak pernah ditransfer ke kas desa. Inilah yang dalam hukum disebut wanprestasi—ingkar terhadap kewajiban yang sah. PT KDA tidak hanya melanggar kontrak, tapi juga mengkhianati dokumen resmi yang melibatkan pejabat negara dan diketahui gubernur.

Pertanyaan besarnya: di mana pemerintah? Jika perjanjian yang ditandatangani seorang bupati dan disaksikan gubernur bisa diabaikan begitu saja, bagaimana masyarakat percaya pada kewibawaan negara? Apa artinya tanda tangan pejabat jika korporasi bisa dengan mudah menginjaknya?

Kini kepala desa dan pemuda bersuara lantang, bahkan mengancam menurunkan ratusan massa untuk menuntut hak mereka. Jangan buru-buru menyalahkan mereka. Justru inilah konsekuensi dari diamnya pemerintah dan bungkamnya perusahaan. Ketika hak masyarakat diperlakukan sebagai kertas kosong, jalanan akan menjadi panggung terakhir untuk menuntut keadilan.

Editorial ini menegaskan: PT KDA wajib segera memenuhi isi perjanjian, dan pemerintah daerah harus berani menegakkan wibawanya. Membiarkan perjanjian resmi diabaikan sama saja dengan menggadaikan kehormatan negara.