Catatan HM Nasir Asnawi, Aktivis Forum Senja
GURU sufi mengajarkan perlunya menjaga keliaran pikiran, dan sekali-kali perlu menjauh dan memendam diri dari keramaian supaya tidak dilihat dan dipuji.
Menjauhkan diri dari keramaian salah satunya dengan cara uzlah.
Artinya menjauhkan diri dari keramaian lingkungan, sebagaimana pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW dengan menyepi di gua Hira.
Gua Hira berada di puncak Gunung Jabal Nur, di sebelah utara Kota Mekkah.
Ustad Syekh Akbar M Fathurrahman dalam pengajian tematik tasawuf di Mesjid An Nabawi, Banjar Wijaya, Tangerang yang disebarkan melalui aplikasi Youtube, Sabtu subuh (13/9/25) menyarankan, untuk mendapatkan suasana sangat sepi seperti uzlah di gua, ambil lah waktu yang paling sepi, yaitu terakhir dari sepertiga malam.
Pada jam-jam menjelang subuh itu kita bisa merasakan sepinya sepi, sehingga bisa berpikir fokus hanya kepada Allah.
“Tidak usah pergi ke gunung,” tutur ustad Fathurrahman.
Urusan naik gunung, saya sudah bolak-balik. Tapi sekadar ingin tahu. Tidak ada kaitannya dengan menyepi.
Pernah naik Gunung Pemujaan di Parung Panjang, Bogor, dan terakhir Agustus 2025, naik ke Gunung Karang, di Pandeglang, Banten.
**
SAYA pikir tiap hari saya sudah mengambil manfaat “uzlah”, menjauh dari keramaian. Begitu masuk rumah yang berada di kompleks terasa sepi.
Tidak ada pedagang makanan berseliweran di depan rumah, tidak mendengarkan percakapan tetangga, dan tidak mendengarkan tangis bayi.
Apalagi pada waktu malam, sepi sekali. Suara jangkrik kecil di bawah jok kursi pun terdengar nyaring.
Begitu pula, suara detak jarum jam dinding.
Di rumah, sehari-hari lebih sering melihat tembok, tanaman, tumpukan buku, dan perabotan rumah.
Mata lebih banyak memandang daun-daun tanaman yang saya tanam yang terus bertumbuh.
Ditemani istri yang sama-sama sudah menua, tempat pelampiasan pertama menaruh rasa belas kasih.
Teman-teman sering berseloroh kalau saya pamit dari pertemuan, “Ngapin pulang buru-buru, di rumah paling ngelonin nenek-nenek”.
Secara perasaan di rumah, saya jauh dari mana-mana, meski berada di dalam kota di sebelah barat Jakarta yang metropolis.
Dulu banyak yang mengecam tinggal di kompleks itu seperti tidak kenal orang, tetangga tidak mau kenal tetangga.
Nafsi-nafsi, masing-masing. Egois. Hidup seperti sendirian.
Belakangan, saya pikir ini hidup seperti ini mengandung makna uzlah, seperti kata ustad Fathurrahman.
Saya pikir ini baik untuk kesuburan rohani dan persemaian ide.
Tentu akan lebih sepi ketika waktu terakhir sepertiga malam, waktu yang banyak dimanfaatkan oleh umat Islam melakukan sholat tahajud.
Tetapi belakangan di era serba internet, tinggal di rumah sepi, saya ragu mendapat manfaat dari uzlah. Alasannya hati dan pikiranku terasa ramai.
Hiruk-pikuk kehidupan kota selalu ada di dalam pikiranku.
Pikiran selalu bereaksi terhadap keadaan di luar lingkungan, luar kota, bahkan luar negeri.
Perisitwa tragis di luar dan dalam negeri yang terbaca di telepon seluler seperti tidak berjarak dalam waktu maupun tempat.
Peristiwa kerusuhan di Negara Nepal, ada yang menduga terinspirasi gerakan demonstrasi di Jakarta pada Agustus 2025 turut memenuhi pikiranku.
Jari-jemari lebih banyak menari di atas papan hp, hati dan pikiran terus berteriak terhadap keadaan di luar.
Ketika keadaan menjadi tenang, pikiran membayangkan apa yang pernah dilakukan.
Ingin melupakan dengan cara tidur. Tidur sejenak. Bangun lagi. Berpikir lagi.
Kubawa hati berdzikir, pikiran terfokus pada pujian dan keagungan alam sebagai ciptaan. Pikiran masih saja mencari celah berbicara ini dan itu.
Lalu saya redam pikiran lewat meditasi. Saya coba hanya merasakan keluar masuknya napas, tapi selanjutnya pikiran tetap seperti membaca pengalaman.
Saya tarik lagi untuk diam dan tenang sesaat.
Mata yang terpejam malah seperti melihat hutan yang luas, pohon-pohon hijau, dan pemandangan indah yang menyenangkan.
Tapi kadang-kadang seperti melihat ledakan bola api. Apalagi ini…
Kemudian mencoba menyadari. Biarlah pikiran terus membaca masa lalunya. Memang itu menjadi sifat dan kerjaannya.
Pikiran berjalan terus tak pernah henti. Bahkan ketika tidur pun menjalani mimpi-mimpi.
Ah berserah diri saja… Hidup ini memang misteri.











