RAGAM

Pak Sapto Absen Salat Berjamaah, Cerpen Hendry Ch Bangun

×

Pak Sapto Absen Salat Berjamaah, Cerpen Hendry Ch Bangun

Sebarkan artikel ini

Herman rindu sekali untuk salat subuh di masjid komplek perumahannya. Karena tugas kantor ke beberapa daerah untuk pengawasan proyek di sejumlah provinsi, dia absen kurang lebih dua minggu. Waktu yang cukup lama. Sebab dia selalu berusaha berada di saf pertama dan datang paling awal bersama tetangga yang kebanyakan pensiunan untuk subuh berjamaah.

Di kota manapun berada dia mengupayakan salat subuh di masjid karena dia percaya betul manfaatnya sangat besar. Dari sisi kepatuhan kepada Sang Pencipta, kekhusyukan beribadah, nilai spiritual yang tinggi, dan tentu saja karena kebiasaan. Jam tubuh Herman, otomatis dia terbangun di jam tertentu sepertiga akhir malam.

Sejak kesempatan kedua hidup, dia pernah terkena serangan jantung dan menjalani operasi pemasangan ring, Herman merasa, sisa hidup harus diisi dengan kebaikan. Kebiasaan merokok tanpa henti, duduk depan komputer berjam-jam, dia buang. Apalagi meneguk minuman keras dan masuk tempat hiburan. Sekarang setiap satu jam duduk, Herman akan berdiri dan bergerak selama 5 menit. Tiap pagi walaupun hanya belasan menit, dia usahakan berjalan menggerakkan kaki, melakukan olah nafas. Lalu menjalankan ibadah wajib.

Satu hal yang tidak pernah alpa, sedekah subuh. Walau hanya memasukkan uang sebesar 5 ribu ke kotak amal masjid. Atau transfer ke lembaga amal yang membantu rakyat Gaza. Dia tidak pernah lupa memberi tip 5 ribu untuk tukang ojek. Membeli dagangan penjual yang keliling agar mereka bersemangat, walau sebenarnya barang yang dia beli tidak dia perlukan.

Pagi itu dia merasa ada yang kurang saat salat berjamaah. Pak Sapto yang biasanya berada di saf terdepan, tidak kelihatan. Orang yang selalu dipanggil “Pak Haji”, atau “Pak RT” ini, selalu eksis karena dia termasuk “orang penting”. Dia sejak awal aktif berkontribusi tenaga dan pikiran untuk memakmurkan masjid.

Bahkan termasuk yang berinisiatif dan menjadi panitia pembangunan masjid, ikut mengumpulkan warga, mengelola sumbangan warga, ketika di perumahan itu ada ide untuk membangun masjid. Sebab untuk salat Jumat, dulu mereka harus naik sepeda motor sejauh kurang lebih 4 km. Belum ada salat subuh, waktu itu. Magrib pun salat sendiri-sendiri.

Bagi Pak Sapto, masjid seperti rumahnya sendiri. Dia pun ikut mengurus kotak masjid. Tiap Jumat dia ikut menghitung uang kotak amal yang dikumpulkan. Begitu pula seratusan lebih celengan plastik yang ditaruh di rumah warga dan tiap akhir bulan diambil dan dibuka. Terkenal jujur dan lurus, warga yakin dengan pengawasan Pak Sapto, tidak akan ada kebocoran. Selama puluhan tahun, tidak pernah ada gugatan atas laporan keuangan masjid.

“Pak Sapto kok subuh tadi nggak ada. Kemana beliau,” tanya Herman, ke Pak Jaya, saat bertemu dekat masjid saat jalan pagi. “Apakah sakit?”

“Kalau nggak salah sih ada di rumah. Mungkin kurang enak badan,” kata tetangga pensiunan guru tersebut.
“Mudah-mudahan cepat sembuh,” kata Herman dan meneruskan jalan kakinya menelurusi jalan di sekitar perumahan, yang masih banyak pohon.

Ritual pagi yang dia lihat adalah umumnya warga menyapu halaman, bahkan jalan kecil depan rumah. Mengumpulkan sampah. Dan ibu-ibu yang masuk ke warung untuk berbelanja kebutuhan dapur. Lalu juga sejumlah ibu rumah tangga yang bersepeda motor memboncengi anaknya untuk diantar ke sekolah.

Herman punya rute jauh, rute sedang, dan rute dekat. Yang jauh, dengan jarak tempuh sekitar 40 menit dia akan berjalan ke luar komplek menuju jalan besar, lalu terus ke arah SPBU, masuk lagi ke jalan beraspal, menyelusuri rumah, sampai akhirnya kembali ke rumah setelah melalui warung yang menjual sayur dan sarapan pagi.

Untuk rute sedang, dia hanya menempuh jalan ke luar sampai di kuburan, kembali ke komplek, dan menyusuri perkampungan, masuk ke jalan kecil dan tiba di rumah. Atau dia ke arah apartemen, bertemu jalan besar, kembali ke arah Kecamatan, lalu menuju rumah. Kalau mau menambah waktu olahraga, dia akan berputar beberapa kali di lapangan bola Kecamatan, dan pulang.
Sambil olahraga biasanya Herman bertegur sapa dengan tetangga. Entah yang menyapu, atau yang baru starter motor untuk mengantar anak, atau penjual lontong, nasi uduk, lemper, serta warung yang menjual aneka sayuran termasuk ayam potong dan tahu tempe.

“Banyak belanjaan nih,” tegur Awing, tetangganya orang Betawi yang punya toko perlengkapan rumah tangga di Jalan Cenderawasih.
“Iya nanti ada keluarga kumpul di rumah,” balas Herman. “Nggak jalan?”

“Ngantar anak dulu. Anak dua, sekolahnya laen, jadi udah gak sempat olahraga pagi.”

Dulu Awing, bersama mantan lurah, dan tukang listrik Rijin, dan Herman menjadi grup kecil jalan pagi sambil ngobrol aneka macam. Khususnya Sabtu dan Minggu, dengan sasaran kea rah Stasiun Kereta atau jalan baru bakal komplek perumahan yang belum digunakan. Tapi kini dia sendiri. Sebab waktu dia relatif bebas karena baru berangkat ke kantor sekitar jam 9.

***
Hari ketiga salat subuh di masjid, Herman tidak juga melihat Pak Sapto, yang rumahnya di ujung komplek. Dia penasaran dan mencari tahu ke Pak Ibnu, yang oleh warga termasuk dituakan. Dia pensiunan sebuah kementerian dan dulu tergolong pejabat tinggi. Usianya sebentar lagi masuk 80 tahun dan pernah juga menjadi pengurus masjid.

“Maaf Pak Haji, kok Pak Sapto tidak ikut subuhan,” tanya Herman.

“Iya memang. Saya prihatin juga. Nanti sehabis olahraga mampir di rumah ya. Biar tahu duduk persoalannya,” ujar Pak Ibnu yang sudah lebih 10 tahun menduda dan kini hidup bersama putra bungsunya yang belum lama menikah.

Sempat pulang dulu untuk mandi, sehabis olahragaHerman lalu bergerak ke arah rumah Pak Ibnu, yang satu jalannya dengan tempat tinggalnya. Disambut dengan secangkir kopi yang disajikan akhirnya Pak Ibnu bercerita panjang lebar mengapa sekarang Pak Sapto tidak mau lagi ke masjid.

“Gara-garanya ya Pak Sahroni,” katanya membuka percakapan.

“Bagaimana ceritanya Pak,” tanya Herman sambil membayangkan Pak Sahroni, pensiunan bank milik pemerintah. Herman kenal baik orang ini, karena sama-sama penghuni lama, seperti juga Pak Sapto. Sahroni terakhir menjabat staf bagian umum sebelum berhenti kerja. Awalnya bekerja semacam office-boy, lalu menjadi kurir, mengurusi keamanan, mengontrol petugas kebersihan, dsb. Karena posisinya, umur 50 tahun dia sudah pensiun.

Sebelum tinggal di Kawasan Ciputat ini, dia dulu tinggal sekitar Galur, Pasar Senen. Asli Betawi. Seperti juga tempat tinggal Herman semasa kecil di kawasan Kemayoran. Kalau sedang berbincang, seperti menjelang salat Jumat, Sahroni sering bicara agama, meski hanya berdasarkan pengetahuan saja. Misalnya saja, Herman pernah diingatkan, kalau duduk, tidak bersandar, atau tidak bertelekan dua tangan yang ditaruh di belakang punggung. “Itu duduknya pengikut setan,” katanya. Herman tidak mau membantah, meski belum pernah mendengarnya, dan membetulkan duduknya menjadi bersila saat mendengar khotib berceramah.

“Jadi simpel saja sih awalnya,” kata Pak Ibnu memulai cerita.

Seperti sering disaksikan Herman, Pak Sapto kalau salat subuh, duduk di kursi lipat. Pada hari itu karena salah satu slot saf depan masih kosong saat muazin komat untuk memulai salat, Pak Sapto yang terbiasa di pojok, memanggil orang-orang untuk maju, mengisi posisi sampingnya. Sahroni maju. Salat subuh berjamaah dilakukan seperti biasa.

Rupanya saat selesai salat dan hendak bangkit, sarung Sahroni tersangkut di lipatan kursi yang diduduki Pak Sapto. Terdengar suara kain robek. Sreek, begitu. Karena sangkutnya panjang, bahkan Sahroni hampir terjatuh. Hening. Beberapa orang saling memandang.
“Brengsek,” hanya itu yang terdengar dari mulut Sahroni. Lalu dia ngeloyor duduk di belakang, seperti selalu dilakukannya. Biasanya Sahroni zikir, menyebut asma Allah, dan juga baca Alquran yang ditaruh di rak-rak kecil.

Tapi pagi itu rupanya emosinya tidak tertahankan. Mulailah ngomel. Mengoceh kesana kemari menumpahkan amarah dan kekecewaanya.

“Lagian ngapain sih salat duduk di kursi. Bikin susah orang saja. Malah bisa bikin celaka. Kalau nggak bisa salat berdiri ya duduk saja di karpet. Dulu nggak pernah ada tuh orang salat di kursi. Trus sujudnya gimana? Mana sah salat tanpa sujud,” katanya nyerocos sambil memegang sarungnya yang robek.

“Menurut sebagian ulama, tetap sah. Asal sujudnya lebih rendah dari ruku saat salat duduk di kursi,” kata salah satu jamaah.
“Saya gak yakin. Inti salat itu adalah sujud. Saat sujud ulama bilang kita tuh paling dekat dengan Allah, karena kita merendahkan diri. Menunjukkan kehambaan yang paling tulus. Jidat kita menyentuh karpet masjid itu wujud dari tidak ada kesombongan, tidak merasa tinggi. Kalau di kursi, ya beda,” ujarnya lagi. “Mending nggak usah salat deh kalau sambil di kursi.”

Pak Sapto yang berusia 68 tahun pernah bilang dia mengalami kerapuhan tulang, jadi lututnya sakit kalau dibengkokkan untuk duduk. Oleh karena itu dalam pertemuan apapun yang dilakukan di masjid, dia selalu menyampaikan maaf tidak bisa duduk sejajar. Ketika salat berjamaah pun dia selalu meminta maaf karena duduk lebih tinggi. Warga pada umumnya maklum saja karena ada 2-3 orang yang salat dengan duduk di kursi. *

Rupa-rupanya apa yang dilontarkan Pak Sahroni itu mengusik pikiran Pak Sapto. Dia mulai ragu dengan salat duduk. Duia coba mencari tahu dan bertanya, apakah salatnya sah.

“Di zaman nabi sih, nggak ada sahabat yang salat di kursi. Kalau nggak kuat ya salat duduk. Itu ada hadisnya. Saya pernah lihat gambar Gus Dur, salat sambil duduk di karpet, bukan di kursi,” ujar Bang Kobar, tukang kayu yang tinggal di kampung sebelah. “Berarti bisa jadi itu bid’ah. Haram hukumnya,” katanya menakut-nakuti. Pak Sapto terdiam.

Meskipun sudah dua kali berangkat haji dan rumahnya dihiasi foto saat dia di Jabal Nur, di halaman Masjid Nabawi, dan berlatar belakang Masjidil Haram, Pak Sapto menjalani agama apa adanya saja. Sering ikut kegiatan keagamaan, aktif ikut majelis taklim, pengetahuannya awam. Dia tidak pernah baca buku agama. Baginya agama adalah ritual.

Di luar apapun yang terjadi, Pak Sapto juga tersinggung karena merasa heran kok hanya dia yang dipersoalkan Pak Sahroni, padahal Pak Sofyan pensiunan tentara, Pak Abay pensiunan Kementerian, dan juga Pak Gunawan pensiunan swasta juga selalu salat duduk di kursi. Dia merasa direndahkan padahal dirinya warga senior, pernah menjadi Ketua RT, dan aktivis dalam pengelolaan masjid.
“Saya malas salat di masjid. Ada saja yang sirik,” katanya kepada istrinya ketika sore itu Pak Sapto hanya duduk di kursi meskipun azan sudah terdengar.

“Nggak usah didengarkan Pak. Hanya Allah yang tahu niat kita,” kata istrinya, mualaf yang masuk Islam karena menikah dengan Pak Sapto.

Mendengar kata Allah, Pak Sapto malah ingat kata bid’ah. Bulu kuduknya merinding. Bayangan dosa masuk ke pikirannya, Melakukan hal yang tidak pernah dilakukan di zaman Rasul Muhammad SAW saat beribadah, bukannya dapat pahala malah berdosa. Pikirnya, lebih baik dia salat di rumah, dia bisa duduk di kursi yang lebih empuk, atau sesekali duduk di sajadah dengan diganjal bantal, agar lututnya tidak sakit, mungkin lebih baik, daripada malah melakukan dosa.

Begitulah cerita yang disampaikan Pak Ibnu kepada Herman, di teras rumahnya yang sejuk, sambil menghirup kopi hitam dan pisang goreng, di pagi yang sedikit mendung itu.

“Saya sudah datang membujuk, tapi beliau tidak mau. Mudah-mudahan hanya sementara. Saya juga sudah bicara dengan Pak Sahroni, tapi dia gak mau minta maaf. Menurut dia, apa yang dia sampaikan tidak ada salahnya. Katakanlah yang benar itu benar meskipun hanya satu ayat,” tambah Pak Ibnu sambil menarik nafas panjang.

“Terima kasih Pak. Insya Allah kalau waktunya pas, saya juga akan sowan ke rumah Pak Sapto, biar dia kembali ikut salat berjamaah,” kata Herman. “Assalamualaikum.”

***

Ciputat, 14 September 2025.