Oleh: Ir Martayadi Tajuddin. MM (*)
RUANG hidup bukan barang dagangan yang bisa ditawar sesuka hati. Ketika pemerintah menetapkan Perda Kota Jambi Nomor 5 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW 2024–2044), ia membuat janji: bahwa fungsi ruang tidak boleh dibelokkan oleh kepentingan sekelompok orang.
Namun, TUKS—Terminal Untuk Kepentingan Sendiri—PT SAS di Aur Kenali berdiri di lokasi yang menurut zonasi jelas bukan diperuntukkan untuk kegiatan seperti itu. Ini bukan kesalahan kecil; ini pelanggaran terang terhadap hukum yang memicu penderitaan masyarakat, pelanggaran terhadap hak yang dijamin konstitusi.
Perda No. 5 Tahun 2024 tidak meninggalkan ruang abu-abu: Pasal 100 huruf d dan e memberi hak masyarakat untuk mengajukan tuntutan penghentian pembangunan, pembatalan KKPR, dan menghentikan proyek yang melanggar RTRW.
Tuntutan mereka meminta penutupan permanen bukan sekadar ungkapan kecewa, melainkan eksekusi hak hukum yang sah. Pasal 100 huruf f bahkan memberi hak untuk menggugat ganti rugi, ketika kerugian nyata muncul akibat pelanggaran terhadap RTRW. Artinya, warga Aur Kenali bukan sekadar “suara teriak”. Mereka menggunakan haknya berdasarkan aturan hukum yang diundangkan.
Kalau ada kewajiban, ada juga hak. Pasal 101 mewajibkan setiap orang, termasuk pelaku usaha dan pemerintah, untuk menaati dan memanfaatkan ruang sesuai RTRW. Tidak ada diskriminasi di Pasal ini: semua pihak harus tunduk pada zonasi dan regulasi yang telah disepakati.
Tapi saat keputusan pemerintah hanya menyetop operasi sementara dan membuka kemungkinan revisi RTRW sebagai jalan tengah, itu bukan solusi — itu sinyal bahwa hukum bisa ditawar. Padahal Perda ini memiliki masa berlaku 20 tahun, dan menurut Pasal 109 ayat (1) hanya boleh ditinjau kembali tiap periode 5 tahunan. Revisi prematur tanpa adanya “perubahan lingkungan strategis” (Pasal 109 ayat (2) dan (3)) adalah pelanggaran terhadap teks hukum itu sendiri.
Masyarakat Aur Kenali tidak meminta sesuatu yang “di luar nalar hukum”. Mereka minta agar RTRW ditegakkan secara penuh: penutupan permanen terhadap TUKS yang jelas-jelas melanggar zonasi, penyelesaian berbagai dampak negatif seperti polusi dan kebisingan, serta penggantian kerugian jika ada.
Mereka berdiri atas dasar Pasal 102 dan Pasal 105 Perda, yang menjamin peran mereka dalam mengawasi, memberikan masukan, melaporkan pelanggaran. Ini bukan aktivitas emosional, tapi partisipasi dalam fungsi kontrol hukum dan demokrasi.
Secara teori, ini disebut spatial justice—keadilan spasial. Seperti yang dikemukakan oleh Edward W. Soja (2010), keadilan dalam ruang menuntut bahwa akses dan beban pembangunan didistribusikan secara adil; bahwa ruang yang dijanjikan untuk kehidupan, kenyamanan, keamanan, bukan untuk dikorbankan demi kepentingan industri atau investasi yang tidak memedulikan batasan hukum. Revisi RTRW untuk mengakomodasi pelanggaran bukanlah koreksi, tapi justifikasi atas pelanggaran.
Sekarang tanggung jawab ada pada pemerintah daerah: apakah akan bertahan sebagai penjaga hukum dan kehormatan rakyat, atau menjadi pembenang pembenaran pelanggaran? Penutupan sementara TUKS PT SAS oleh Gubernur adalah langkah simbolis, tapi tidak cukup. Hukum bukan dekorasi yang dipakai saat dibutuhkan dan dilepas ketika tidak nyaman. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran RTRW adalah kewajiban, bukan pilihan.
Hak warga bukan suara yang bisa dilemahkan. Ia adalah struktur pembangunan yang adil dan kontinyu. Apabila Perda RTRW No. 5 Tahun 2024 diabaikan, maka bukan hanya ruang yang dirusak—kepercayaan publik, keadilan sosial, dan masa depan generasi kecil di Aur Kenali ikut tercederai. Pemerintah harus menunjukkan bahwa peraturan bukan pajangan, melainkan hukum yang hidup di antara warga.
*) Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Akademisi
Daftar Pustaka
• Pemerintah Kota Jambi. (2024). Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 5 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Jambi Tahun 2024 2044.
• Soja, Edward W. (2010). Seeking Spatial Justice. University of Minnesota Press.
• Undang Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
• UU Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
• WALHI Jambi. (2025). “Pelanggaran RTRW dan Krisis Lingkungan di Aur Kenali: Suara Masyarakat Terabaikan.” [Online Artikel]













