Editorial : Nazarman
JAMBI DAILY. COM-Paripurna DPRD Merangin yang membahas Nota Keuangan RAPBD Perubahan 2025 memperlihatkan wajah rapuh pengelolaan anggaran daerah. Fraksi-fraksi dengan lugas menyorot jalan rusak, aset terbengkalai, penurunan pendapatan daerah, hingga mutu pendidikan yang stagnan. Semua kritik itu bermuara pada satu hal: ketidakmampuan pemerintah daerah menata prioritas.
Fraksi PPP, misalnya, menegaskan bahwa “prioritas pembangunan pendidikan, kesehatan, infrastruktur, sering kali tidak dibarengi dengan perencanaan yang matang, sehingga proyek mangkrak atau tidak optimal.” Sementara Fraksi Demokrat menyoroti keras ruas-ruas jalan rusak, dari Simpang Seling–Muara Jernih hingga Pinang Merah–Mampun Baru, yang belum kunjung diperbaiki meski vital bagi mobilitas warga.
Namun yang lebih mencengangkan, di tengah kondisi fiskal yang seret, justru muncul alokasi hibah untuk KNPI sebesar Rp50 juta. Sebuah kebijakan yang menampar rasa keadilan masyarakat. Bagaimana mungkin pemerintah masih punya “keleluasaan” memberi hibah organisasi kepemudaan, sementara infrastruktur terbengkalai, sekolah rusak, dan layanan publik carut-marut?
Hibah kepada KNPI ini bukan soal besar kecilnya nominal, melainkan soal moralitas anggaran. Uang rakyat seharusnya diarahkan untuk kebutuhan mendesak dan memberi manfaat langsung, bukan untuk sekadar “memelihara” organisasi tertentu. Ketika RAPBD Perubahan dijadikan ruang kompromi politik, jelas rakyatlah yang paling dirugikan.
Kritik DPRD sesungguhnya mewakili suara publik. Tetapi kritik tanpa keberanian untuk menolak tetaplah omong kosong. DPRD tidak bisa sekadar menyalakan lampu kuning lewat pidato fraksi; mereka harus berani menyalakan lampu merah ketika kebijakan hibah seperti ini dipaksakan masuk. Jika dewan hanya menjadi “penonton kritis” tanpa tindakan nyata, maka peran pengawasan yang mereka emban kehilangan makna.
Editorial ini menegaskan: RAPBD Perubahan 2025 adalah ujian moral bagi Pemkab Merangin sekaligus bagi DPRD. Jika uang rakyat masih dipakai untuk belanja hibah yang tidak menyentuh hajat hidup orang banyak, maka wajar bila publik menilai pemerintah daerah dan dewan telah kehilangan arah. Merangin tidak butuh APBD “tambal sulam”, apalagi APBD yang jadi alat politik. Merangin butuh anggaran yang pro rakyat, tegas pada prioritas, dan bebas dari kepentingan sempit.













