EKBISJURNAL PUBLIK

Tanpa Mesin Crushing ? Publik Patut Ragukan Klaim Stokfile PT. SAS Bebas Debu

×

Tanpa Mesin Crushing ? Publik Patut Ragukan Klaim Stokfile PT. SAS Bebas Debu

Sebarkan artikel ini

Oleh: Dr. Noviardi Ferzi *

Jambi – Rencana pembangunan stokfile dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) PT. SAS di kawasan Aur Kenali, Kecamatan Telanaipura, Jambi, kembali menuai sorotan publik. Salah satu klaim yang dilontarkan pihak perusahaan adalah mereka tidak akan menggunakan mesin crushing dalam aktivitas pengelolaan batubara.

Sekilas, pernyataan ini tampak menenangkan. Namun, jika ditelaah lebih dalam, klaim tersebut menyimpan kontradiksi teknis, kerentanan regulasi, dan potensi pengabaian prinsip perlindungan lingkungan.

Secara teknis, hampir tidak mungkin mengelola stokfile batubara berskala besar tanpa aktivitas pemecahan (crushing) maupun penyaringan (screening). Pasar global maupun domestik umumnya menuntut ukuran batubara tertentu, sehingga proses pemecahan adalah bagian inheren dari rantai distribusi (Sari & Nugroho, 2020). Pernyataan “tidak akan menggunakan crushing” berpotensi menyesatkan publik, karena bertolak belakang dengan praktik standar industri batubara.

Lebih jauh, pengalaman di berbagai daerah menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang pada awalnya berjanji tidak akan melakukan aktivitas crushing, namun pada kenyataannya tetap melakukannya ketika tekanan pasar meningkat. Lemahnya pengawasan pemerintah dan tidak adanya mekanisme akuntabilitas sering membuat janji tersebut dilanggar (Hidayat, 2019). Artinya, tanpa instrumen pengawasan ketat dan sanksi hukum yang jelas, klaim PT. SAS tidak dapat dijadikan jaminan.

Dari sisi regulasi, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menekankan prinsip kehati-hatian (precautionary principle). Setiap potensi risiko terhadap kesehatan dan lingkungan harus dicegah sedini mungkin, bukan dibiarkan hingga terjadi. Dengan kata lain, sekadar janji lisan dari perusahaan tidak dapat menggantikan mekanisme perlindungan hukum.

Selain itu, meski tanpa mesin crushing, aktivitas stokfile tetap berpotensi menimbulkan dampak lingkungan yang serius. Studi menunjukkan bahwa aktivitas penumpukan, bongkar muat, dan transportasi batubara menghasilkan emisi debu (PM10 dan PM2.5), polusi udara, kebisingan, hingga mengganggu kualitas hidup masyarakat di sekitar lokasi (Lestari et al., 2019). Apabila mesin crushing ditambahkan di kemudian hari, maka dampak ini akan meningkat berlipat ganda.

Oleh karena itu, masyarakat Aur Kenali wajar meragukan klaim PT. SAS. Pemerintah daerah maupun pusat seharusnya tidak sekadar menerima pernyataan perusahaan, tetapi menuntut komitmen tertulis yang mengikat secara hukum, dilengkapi dengan mekanisme pengawasan independen. Tanpa itu, klaim PT. SAS hanya dapat dilihat sebagai retorika komunikasi untuk melemahkan resistensi publik, bukan jaminan perlindungan lingkungan dan kesehatan warga.

Daftar Pustaka

Hidayat, A. (2019). Penegakan Hukum Lingkungan dalam Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara. Jurnal Hukum & Pembangunan, 49(3), 642–659. https://doi.org/10.21143/jhp.vol49.no3.2104

Lestari, P., Utami, B., & Kusuma, R. (2019). Dampak Lingkungan dari Kegiatan Pertambangan Batubara: Studi Kasus di Kalimantan Selatan. Jurnal Teknologi Lingkungan, 20(2), 233–245. https://doi.org/10.29122/jtl.v20i2.3517

Sari, D. P., & Nugroho, Y. (2020). Analisis Rantai Pasok Batubara dan Permasalahan Lingkungan. Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara, 16(1), 1–12. https://doi.org/10.30556/jtmb.Vol16.No1.2020.1055

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140.