Oleh: Nazarman
Apa iya bisa bersih? Pertanyaan ini layak kita ajukan ketika melihat perseteruan antara eksekutif dan legislatif yang kian hari makin gaduh. Ribut di ruang publik dengan retorika tajam dan kilas balik masalah lama, dikemas seolah-olah demi integritas. Padahal publik tahu, ujung-ujungnya tetap saja soal kepentingan pribadi.
Mari jujur. Untuk menjadi bupati di kabupaten sekelas Merangin, modal politik tidak cukup hanya sekedar Rp5 atau Rp10 miliar. Paling tidak, Rp20 miliar harus siap digelontorkan. Bandingkan dengan gaji resmi seorang bupati yang “paling banter” Rp150 juta per bulan. Lima tahun menjabat, total bersih hanya Rp9 miliar. Dari mana sisanya dikembalikan? Jawabannya gampang: dari proyek. Dari setoran. Dari pembagian kue anggaran yang diam-diam disepakati di balik meja.
Begitu pula dengan legislatif. Untuk duduk di kursi DPRD, modal yang dikeluarkan caleg juga tidak kecil. Puluhan bahkan ratusan juta rupiah harus digelontorkan untuk ongkos kampanye. Padahal, gaji dan tunjangan anggota dewan jelas tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Maka, jangan heran jika begitu duduk di kursi empuk, orientasinya bukan lagi menyuarakan aspirasi rakyat, melainkan bagaimana mengembalikan modal. Lagi-lagi, pintu paling cepat adalah lewat proyek dan anggaran.
Itulah sebabnya jargon pemerintahan bersih terasa seperti lelucon. Eksekutif butuh proyek untuk menutup modal, legislatif butuh jatah agar tak bersuara. Ketika bagi-bagi kue berjalan mulus, semua adem. Tapi ketika ada yang merasa tak kebagian, pecahlah drama murahan: DPRD mendadak garang, bupati tiba-tiba pasang tameng moralitas. Padahal publik tahu, keduanya sama-sama pemain lama dalam pusaran korup budaya politik.
Lucu sekali melihat DPRD menggebu-gebu mengawasi proyek, sementara sebagian dari mereka juga dituding punya kepentingan dalam paket pekerjaan. Ironis pula menyaksikan bupati bersuara soal integritas, padahal sejak awal ongkos politik yang ia keluarkan sudah mustahil kembali hanya dengan gaji resmi. Semua pura-pura lupa, bahwa pintu masuk kekuasaan sudah ditaburi uang sejak awal.
Perseteruan ini jangan dibaca sebagai perang suci. Tidak ada malaikat di dalamnya. Yang ada hanyalah perebutan jatah: siapa yang menguasai proyek, siapa yang lebih dominan di meja pembagian. Rakyat hanya jadi penonton, sekaligus korban. Proyek berpotensi mangkrak, mutu pekerjaan terancam asal jadi, sementara pejabat sibuk menghitung untung-rugi politiknya masing-masing.
Kalau memang bupati dan DPRD ingin bicara soal pemerintahan bersih, buktikan dulu dengan satu hal sederhana: hentikan budaya setoran. Berani? Atau jangan-jangan, semua teriak soal bersih hanya untuk menutupi kerak-kerak kotor yang sudah lama melekat?
Sampai hari ini, publik masih pantas bertanya sinis:
Apa iya bisa bersih, kalau modal jadi bupati saja sudah Rp20 miliar dan kursi DPRD pun dibeli dengan ongkos politik tak kalah mahal?. ***











