Oleh : Martayadi Tajuddin*)
KONSTRUKSI hijau sejatinya merupakan jawaban atas krisis iklim dan kebutuhan pembangunan berkelanjutan yang makin mendesak.
Dari ranah akademik, konsep ini sudah sangat matang—mengutamakan efisiensi energi, penggunaan material ramah lingkungan, pengelolaan limbah yang bertanggung jawab, serta desain adaptif terhadap perubahan iklim.
Namun, tantangan terbesar justru muncul ketika teori-teori ini harus diimplementasikan dalam konteks lokal, seperti di Jambi, yang memiliki karakteristik sosial, ekonomi, dan ekologi tersendiri.
Provinsi Jambi telah menunjukkan komitmen awal melalui gerakan “Sepucuk Jambi Hijau” yang diintegrasikan dalam RPJMD 2021-2026. Regulasi seperti Perda No.4 Tahun 2023 tentang Pertumbuhan Ekonomi Hijau dan Pergub No.7 Tahun 2024 tentang Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca menjadi landasan penting bagi pengembangan pembangunan berkelanjutan. Namun, di sektor konstruksi, penerapan prinsip-prinsip hijau masih menghadapi sejumlah kendala nyata.
Di lapangan, mayoritas pembangunan infrastruktur dan bangunan di Jambi masih menggunakan metode konvensional yang minim memperhatikan aspek efisiensi energi dan keberlanjutan material. Misalnya, belum ada proyek bangunan publik yang mendapatkan sertifikasi GREENSHIP atau standar hijau lain yang diakui. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pemahaman teknis di kalangan pelaku konstruksi lokal, minimnya insentif pemerintah daerah, dan belum adanya regulasi khusus yang mengatur konstruksi hijau secara eksplisit di tingkat kota dan kabupaten.
Padahal, regulasi menjadi salah satu kunci utama untuk mempercepat adopsi konstruksi hijau. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah mengeluarkan Peraturan Menteri PUPR No. 15 Tahun 2022 tentang Pembangunan Gedung Hijau yang mengatur standar dan pedoman pembangunan ramah lingkungan. Di tingkat nasional, Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) juga mendorong penggunaan energi terbarukan dan efisiensi energi di berbagai sektor, termasuk konstruksi.
Sayangnya, regulasi ini belum sepenuhnya diadopsi dan diintegrasikan ke dalam regulasi daerah di Jambi secara detail. Oleh karena itu, pemerintah daerah—baik tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota—harus segera menginisiasi peraturan teknis yang mengatur penerapan standar hijau, sertifikasi bangunan hijau, dan penggunaan material ramah lingkungan.
Dengan regulasi yang jelas, para pengembang dan kontraktor akan terdorong untuk berinvestasi dalam teknologi hijau dan pelatihan tenaga kerja yang sesuai.
Dalam konteks ini, Jambi perlu belajar dari daerah lain yang telah lebih dulu mengimplementasikan konstruksi hijau secara nyata. Misalnya, Kabupaten Gianyar di Bali telah menerapkan Bangunan Gedung Hijau dengan merujuk pada Peraturan Menteri PUPR No. 21 Tahun 2021. Meskipun menghadapi tantangan biaya dan sumber daya, proyek-proyek di sana berhasil mengurangi dampak lingkungan secara signifikan (Widhiawati et al., 2023). Ini membuktikan bahwa dengan regulasi kuat dan komitmen stakeholder, konstruksi hijau bukan sekadar idealisme.
Begitu pula di Surabaya, proyek apartemen Grand Sungkono Lagoon Tower Caspian mengadopsi Model Assessment Green Construction (MAGC) yang secara sistematis menilai keberlanjutan mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan (Tresnawati, 2018). Pendekatan ini efektif menekan kerusakan lingkungan dan menjadi contoh bagaimana konstruksi hijau dapat diintegrasikan dalam skala besar dan kompleks.
Selain itu, Jakarta telah memimpin pertumbuhan pasar bangunan hijau di Indonesia dengan lebih dari 170 bangunan tersertifikasi. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa regulasi, pasar, dan kesadaran publik yang sinergis dapat mendorong adopsi konstruksi hijau secara masif (IFC, 2023).
Dengan melihat contoh-contoh nyata tersebut, jelas bahwa penerapan konstruksi hijau di Jambi bukan hanya angan-angan. Provinsi ini memiliki modal regulasi dasar dan potensi sumber daya, namun butuh percepatan aksi konkret. Tidak cukup hanya menyuarakan “Sepucuk Jambi Hijau” di atas kertas; pemerintah kabupaten/kota harus segera menginisiasi regulasi teknis khusus konstruksi hijau, memfasilitasi pelatihan tenaga kerja, serta memberikan insentif kepada pengembang yang menerapkan prinsip hijau.
Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum PBB ke-80 menjadi pengingat kuat bahwa kita tidak bisa menunda lagi aksi nyata menghadapi perubahan iklim. “We all face enormous challenges: climate change, food and energy crises, and global economic inequalities. The world demands a new order that is more just and sustainable.” Pernyataan ini harus menjadi momentum bagi seluruh stakeholder konstruksi di Jambi untuk segera menyelaraskan pemikiran, teori, dan praktik menuju konstruksi hijau yang nyata dan berdampak.
Masa depan konstruksi hijau di Jambi tergantung pada tindakan sekarang. Langkah-langkah konkret dari pemangku kepentingan lokal akan menentukan apakah kita hanya berbicara hijau dalam ‘retorika’ atau benar-benar membangun masa depan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang.
*) Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik dan Akademisi
Referensi
• Prabowo Subianto. (2025). Speech at the 80th UN General Assembly, New York, September 2025.
• Kementerian PUPR. (2022). Peraturan Menteri PUPR No. 15 Tahun 2022 tentang Pembangunan Gedung Hijau.
• Pemerintah Provinsi Jambi. (2023-2024). Perda No.4 Tahun 2023 tentang Pertumbuhan Ekonomi Hijau & Pergub No.7 Tahun 2024 tentang Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca.
• Widhiawati, I., et al. (2023). “Implementasi Bangunan Gedung Hijau di Kabupaten Gianyar.” Jurnal Teknik Sipil Unud, Vol. 11(1).
• Tresnawati, E. (2018). “Penerapan Model Assessment Green Construction pada Proyek Apartemen di Surabaya.” Jurnal Teknik Sipil Unej, Vol. 7(2).
• International Finance Corporation (IFC). (2023). Indonesia Green Building Market Report.
• Purbasari, D. et al. (2022). “Efisiensi Energi melalui Desain Pasif pada Hunian Tropis.” Jurnal Arsitektur UI, Vol. 9(2).











