JURNAL PUBLIK

Turun Eselon: Antara Evaluasi Kinerja dan Hukuman Politik

×

Turun Eselon: Antara Evaluasi Kinerja dan Hukuman Politik

Sebarkan artikel ini

Oleh : Nazarman

Pemerintah Kabupaten Merangin di bawah kepemimpinan Bupati M. Syukur dan Wakil Bupati Khafied kembali melakukan perombakan besar-besaran di tubuh birokrasi. Sebanyak 136 pejabat eselon III dan IV resmi dilantik di Auditorium Rumah Dinas Bupati Merangin, Jumat (26/09/2025).

Namun di balik seremoni yang tampak tertib dan khidmat itu, muncul tanda tanya dan kegelisahan di kalangan aparatur. Sebab, tidak sedikit pejabat justru mengalami penurunan eselon. Alih-alih dianggap sebagai bentuk pembinaan atau evaluasi kinerja, rotasi kali ini justru menimbulkan persepsi kuat bahwa keputusan pelantikan sarat nuansa politik dan kepentingan pribadi.

Dalam sistem pemerintahan yang seharusnya berlandaskan merit system, jabatan mestinya ditentukan oleh kompetensi, integritas, dan prestasi kerja. Namun, realitas di lapangan sering kali berbicara lain. Beredar kabar bahwa proses rotasi tidak sepenuhnya ditentukan oleh hasil evaluasi, melainkan oleh “sistem ordal” — orang dalam. Siapa yang dekat dengan siapa, siapa yang menjadi “bawaan” siapa, seolah menjadi faktor penentu jabatan.

Tak heran, setelah pelantikan, perbincangan di warung kopi dipenuhi bisik-bisik politik dan saling sindir antar kelompok. Ada yang merasa bangga karena “orangnya masuk”, ada pula yang kecewa karena “bawaannya tersingkir”. Fenomena ini menegaskan bahwa birokrasi tengah diseret ke dalam tarik-menarik kepentingan kelompok, jauh dari nilai profesionalisme.

Lebih mengkhawatirkan lagi, muncul kabar bahwa Tim Baperjakat tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Proses pertimbangan jabatan disebut hanya menjadi formalitas, sementara keputusan sejatinya sudah diatur di luar forum resmi. Jika benar demikian, maka pelantikan kali ini bukanlah cerminan penataan birokrasi yang sehat, melainkan rekayasa kekuasaan yang melemahkan moral ASN.

Turunnya jabatan bukan hanya soal posisi, tapi menyangkut martabat dan keadilan bagi aparatur. ASN yang bekerja dengan dedikasi seharusnya dinilai secara objektif, bukan disingkirkan karena tidak termasuk dalam lingkaran “orang dalam”.

Pemerintahan Syukur–Khafied tentu memiliki hak prerogatif untuk melakukan mutasi. Namun hak itu wajib dijalankan dengan adil, transparan, dan berbasis kinerja. Tanpa kejelasan, pelantikan ini justru akan memperkuat kesan bahwa yang dihargai bukanlah kinerja, melainkan kedekatan.

Pelantikan pejabat bukan sekadar seremoni, melainkan cermin moralitas kekuasaan. Apakah pemerintahan ini sungguh ingin membangun birokrasi profesional dan berintegritas, atau sekadar menata barisan loyalis dan “orang dalam”?

Jika birokrasi terus dibiarkan menjadi ajang pembagian posisi berdasarkan kedekatan, maka yang runtuh bukan hanya sistem, tetapi juga kepercayaan publik terhadap pemerintahan.***