JURNAL PUBLIK

Dibina atau Dibuang? Wajah Politik Balas Dendam di Balik Mutasi ASN Merangin

×

Dibina atau Dibuang? Wajah Politik Balas Dendam di Balik Mutasi ASN Merangin

Sebarkan artikel ini

Oleh: Nazarman

Mutasi jabatan semestinya menjadi sarana pembinaan aparatur sipil negara (ASN), penyegaran organisasi, dan upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik. Namun di Kabupaten Merangin, kebijakan mutasi terbaru justru memunculkan tanda tanya besar. Bukannya terasa sebagai pembinaan, langkah ini justru dinilai banyak pihak sebagai bentuk pengasingan yang sarat aroma balas dendam politik.

Lihat saja sejumlah nama yang dilantik dalam gelombang mutasi terbaru:

Haris Nurdin, sebelumnya menjabat Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan, kini dipindahkan menjadi Sekcam Tabir Ilir.

M. Fikri, sebelumnya Sekcam Tiang Pumpung, kini menjadi Sekcam Muara Siau.

Suparjo, sebelumnya Irban II Inspektorat dan pernah menjabat di Margo Tabir, kini dilantik sebagai Sekcam Tiang Pumpung.

Yose Rizal, sebelumnya Sekban Inspektorat dan pernah menjabat Camat Renah Pembarap, kini menjabat Sekcam Tabir Timur.

Mereka semua berdomisili di Bangko pusat pemerintahan kabupaten namun dipindahkan ke wilayah pinggiran tanpa penjelasan yang transparan. Tidak ada indikator kinerja, evaluasi objektif, atau kebutuhan organisasi yang dijadikan dasar publik. Pola pemindahan yang tidak seimbang ini menimbulkan kecurigaan: apakah mutasi ini sungguh bertujuan membina, atau justru bentuk halus dari “pembuangan”?

Apalagi, publik melihat pejabat-pejabat yang dikenal dekat dengan lingkaran kekuasaan justru tetap aman di posisi strategis, bahkan sebagian mendapat promosi. Sementara mereka yang dianggap “tidak sejalan” justru disingkirkan jauh dari pusat pemerintahan. Inilah wajah politik balas dendam yang disamarkan dengan kebijakan birokrasi.

Banyak pihak menilai, lebih baik dinonjobkan sekalian daripada dipindah jauh-jauh tanpa arah yang jelas. Sebab, mutasi seperti ini tidak hanya melelahkan secara fisik dan finansial, tetapi juga mengikis semangat dan motivasi kerja. ASN yang kehilangan rasa keadilan akan sulit menunjukkan kinerja terbaiknya. Bagaimana mungkin efektivitas pelayanan publik tercapai jika pejabatnya bekerja di bawah tekanan psikologis?

Kebijakan seperti ini berpotensi merusak fondasi birokrasi. ASN bukan alat kekuasaan, melainkan pelayan negara. Jika loyalitas politik lebih dihargai daripada profesionalitas, maka kita sedang menyaksikan kemunduran moral dalam tubuh pemerintahan.

Mutasi seharusnya menjadi instrumen untuk memperkuat, bukan untuk melemahkan; membina, bukan membinasakan. Pemerintahan yang adil akan menempatkan pejabat berdasarkan kompetensi, kinerja, dan kebutuhan organisasi, bukan berdasarkan kedekatan dan kepentingan politik.

Editorial ini mengingatkan:

Birokrasi yang dikelola dengan dendam akan melahirkan kinerja yang pincang dan kepercayaan publik yang runtuh.

Kini masyarakat menanti sikap dan penjelasan pemerintah daerah. Apakah mutasi ini benar-benar demi kepentingan organisasi, atau sekadar panggung untuk menunjukkan kekuasaan?

Jawabannya akan menentukan wajah birokrasi Merangin ke depan — apakah menjadi birokrasi yang adil dan profesional, atau sekadar alat politik yang kehilangan ruh pengabdian.***