JURNAL PUBLIK

Meritokrasi Hanya Pemanis Bibir: Jabatan Diatur Orang Kepercayaan

×

Meritokrasi Hanya Pemanis Bibir: Jabatan Diatur Orang Kepercayaan

Sebarkan artikel ini

Oleh: Nazarman

Beberapa waktu lalu, Bupati Merangin telah menandatangani komitmen penerapan sistem merit dalam manajemen ASN di Palembang. Langkah itu semestinya menjadi tonggak penting reformasi birokrasi — memastikan jabatan diberikan berdasarkan kompetensi, kinerja, dan integritas, bukan karena kedekatan, balas jasa, atau tekanan politik.

Namun, harapan itu tampaknya hanya indah di atas kertas.
Pelantikan pejabat struktural terbaru justru memunculkan banyak kejanggalan dan pertanyaan publik.
Contoh paling mencolok adalah Joni Herman yang disebut tercantum dalam dua SK berbeda, sebagai Sekcam Renah Pembarap dan Sekcam Tabir Lintas.
Sementara Yoserizal, yang sebelumnya menjabat sebagai Sekban Inspektorat, tiba-tiba digeser menjadi Sekcam Tabir Timur — sebuah mutasi lintas instansi yang tidak lazim dan diduga sarat muatan politik.

Kasus serupa juga terjadi pada Razali Azhari HS, SE, MAP, yang sebelumnya menjabat sebagai Plt Sekretaris DPRD (Sekwan), kini dilantik menjadi Sekcam Margo Tabir. Begitu pula dengan Haris Nurdin, eks Sekretaris Dinas Kesehatan, yang kini berpindah jabatan menjadi Sekcam Tabir Ilir.
Perpindahan pejabat dari instansi teknis ke jabatan administratif di kecamatan tanpa dasar analisis kompetensi yang jelas menimbulkan tanda tanya besar tentang pertimbangan yang digunakan.

Lebih parah lagi, sumber internal menyebut tim Baperjakat hanya diminta menandatangani berkas tanpa terlibat aktif dalam proses pembahasan dan penilaian. Daftar pejabat disebut sudah disusun oleh orang kepercayaan tertentu, lalu tinggal disahkan secara formal.
Jika benar demikian, maka Baperjakat hanya menjadi stempel legalitas, bukan pengawal sistem merit yang seharusnya menjadi roh penataan ASN.

Tidak berhenti di situ. Sejumlah pejabat juga mengalami penurunan eselon, tanpa alasan objektif dan evaluasi kinerja yang jelas. Langkah ini semakin menguatkan dugaan bahwa mutasi dan pelantikan bukan murni kebutuhan organisasi, melainkan alat politik untuk menjatuhkan dan menyingkirkan pihak-pihak tertentu.

Dengan kata lain, dendam politik diduga ikut mewarnai kebijakan rotasi pejabat di Merangin.

Semua fakta ini memperlihatkan bahwa komitmen meritokrasi hanya menjadi pemanis bibir. Dokumen ditandatangani, tapi semangatnya dikhianati di lapangan.
Reformasi birokrasi yang seharusnya menegakkan profesionalisme justru dikangkangi oleh kepentingan dan permainan kekuasaan.

Pertanyaan publik kini kian menguat:
Apakah Bupati benar-benar memimpin berdasarkan sistem dan aturan, ataukah menyerahkan kendali pada orang kepercayaan yang menentukan siapa naik dan siapa turun?

Jika meritokrasi terus diperlakukan sebagai formalitas, maka kepercayaan ASN dan publik terhadap pemerintahan akan terkikis habis.
Yang tersisa hanyalah birokrasi yang rapuh, dipenuhi rasa takut, dan kehilangan semangat untuk bekerja profesional.***