EKBISJURNAL PUBLIK

Dampak Pemangkasan Dana Bagi Hasil bagi Provinsi, Kabupaten, dan Kota di Jambi

×

Dampak Pemangkasan Dana Bagi Hasil bagi Provinsi, Kabupaten, dan Kota di Jambi

Sebarkan artikel ini

Oleh: Dr. Noviardi Ferzi – Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik

PEMANGKASAN Dana Bagi Hasil (DBH) untuk Provinsi Jambi pada tahun 2026 sebesar Rp1 triliun, turun hingga 70 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai sekitar Rp3,4 triliun, tentu saja menjadi tantangan fiskal yang tidak bisa dianggap remeh.

Angka ini bukan sekadar penyesuaian administratif dalam alokasi APBN, melainkan sinyal jelas dari pengetatan fiskal nasional yang langsung mengguncang stabilitas keuangan daerah.

Bagi Provinsi Jambi dan kabupaten/kota di bawahnya, DBH selama ini menjadi salah satu sumber utama pendapatan. Dana ini merupakan tulang punggung pembiayaan pembangunan di berbagai sektor—dari infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan hingga bantuan sosial. Karena itu, penurunan drastis DBH akan mengguncang seluruh struktur fiskal daerah.

Menyempitnya ruang fiskal membuat pemerintah daerah harus berhadapan dengan kenyataan bahwa belanja wajib seperti gaji dan tunjangan ASN tetap harus dibayarkan, sementara anggaran pembangunan akan menjadi korban pertama.

Proyek-proyek penting seperti pembangunan jalan, jembatan, irigasi, serta perbaikan sekolah dan puskesmas berpotensi tertunda atau bahkan dibatalkan karena keterbatasan dana.

Bagi daerah penghasil sumber daya alam seperti Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur, dampaknya akan terasa lebih berat. Selama ini, DBH dari sektor migas dan perkebunan menjadi kompensasi atas aktivitas eksploitasi di wilayah mereka.

Ketika dana itu berkurang, kemampuan daerah untuk memperbaiki infrastruktur, meningkatkan pelayanan publik, dan mengangkat kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah produksi ikut menurun.

Sementara itu, daerah non-penghasil seperti Kota Jambi, Muaro Jambi, Batanghari, dan Sarolangun pun tidak luput dari imbasnya. Meskipun mereka masih memiliki porsi Dana Alokasi Umum (DAU) yang lebih stabil, kehilangan DBH berarti kehilangan fleksibilitas dalam membiayai program prioritas, terutama yang membutuhkan dana pendamping dari DBH atau Dana Alokasi Khusus (DAK).

Pemangkasan sebesar ini menjadi ujian manajerial bagi pemerintah daerah. Dalam kondisi normal saja, ruang fiskal Jambi tergolong sempit. Kini, dengan berkurangnya transfer dari pusat, penyesuaian besar-besaran tidak lagi bisa dihindari.

Efek domino pun tidak terelakkan. Berkurangnya proyek-proyek fisik akan menekan lapangan kerja di sektor konstruksi dan perdagangan, yang pada gilirannya mengurangi pendapatan masyarakat. Turunnya daya beli akan menyeret sektor ritel dan UMKM, memperlambat putaran ekonomi lokal.

Dari sisi sosial, tekanan fiskal berpotensi menurunkan kualitas pelayanan publik. Puskesmas dan rumah sakit daerah mungkin harus memangkas program preventif, menunda pengadaan obat, atau menunda perawatan fasilitas kesehatan.

Sementara di sektor pendidikan, sekolah-sekolah yang bergantung pada dana operasional daerah dapat mengalami kesulitan menjaga mutu layanan. Dalam jangka menengah, situasi ini berisiko menurunkan indeks pembangunan manusia (IPM) dan memperlebar kesenjangan antarwilayah di Provinsi Jambi.

Kondisi ini juga berpotensi menimbulkan ketegangan sosial dan politik. Masyarakat yang terbiasa dengan berbagai program bantuan dan pembangunan rutin mungkin akan mempertanyakan kinerja pemerintah daerah. Tanpa komunikasi publik yang terbuka dan jujur, penurunan kepercayaan terhadap pemerintah menjadi ancaman yang nyata.

Menghadapi situasi ini, pemerintah daerah di Jambi perlu bergerak cepat menyusun strategi fiskal baru. Restrukturisasi anggaran harus menjadi langkah pertama, dengan menempatkan belanja wajib dan layanan dasar sebagai prioritas utama. Kegiatan seremonial, perjalanan dinas, dan proyek-proyek nonproduktif mesti dikurangi secara signifikan.

Di saat yang sama, optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi kunci. Digitalisasi pajak, efisiensi retribusi perizinan, dan pengelolaan aset daerah dapat menjadi sumber pendapatan tambahan yang penting, selama dilakukan secara transparan dan tidak menambah beban masyarakat kecil.

Pemerintah daerah juga perlu memperkuat kolaborasi antarwilayah. Koordinasi antara gubernur dan para bupati/wali kota sangat dibutuhkan untuk memperjuangkan revisi kebijakan transfer keuangan daerah di tingkat nasional. Advokasi berbasis data dan kajian dampak ekonomi-sosial akan membantu pemerintah pusat memahami urgensi dan skala permasalahan yang dihadapi Jambi.

Selain itu, pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota di Jambi harus aktif melakukan pendekatan kepada pemerintah pusat agar semakin banyak program nasional yang dilaksanakan di Jambi. Upaya ini penting untuk menutup sebagian kesenjangan fiskal akibat berkurangnya DBH. Jika Jambi mampu menarik lebih banyak proyek strategis nasional—seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan vokasi, program energi, atau pemberdayaan ekonomi daerah—maka dampak pemangkasan DBH dapat ditekan sekaligus membuka peluang baru bagi pertumbuhan ekonomi lokal.

Namun di balik tekanan ini, tersimpan peluang besar untuk melakukan reformasi struktural. Krisis fiskal dapat menjadi momentum bagi Jambi untuk memperbaiki tata kelola keuangan, memperkuat basis PAD, dan meningkatkan efisiensi birokrasi. Penerapan anggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) perlu segera diwujudkan agar setiap rupiah anggaran benar-benar menghasilkan manfaat nyata bagi masyarakat.

Ke depan, Jambi tidak bisa lagi menggantungkan diri sepenuhnya pada dana transfer pusat. Kemandirian fiskal harus dibangun melalui penguatan sektor riil, pengembangan pariwisata berbasis alam, pengolahan hasil perkebunan, dan peningkatan investasi lokal.

Dengan pemangkasan DBH hingga 70 persen, tahun 2026 akan menjadi periode paling menantang bagi tata kelola fiskal Jambi. Pemerintah daerah harus bersikap adaptif, efisien, dan komunikatif. Hanya dengan langkah cepat, pendekatan aktif ke pusat, dan koordinasi lintas pemerintahan yang kuat, dampak sosial dan ekonomi yang muncul dapat diminimalkan.

Krisis fiskal kali ini memang berat, namun bukan akhir dari segalanya. Jika pemerintah daerah mampu menjadikannya momentum untuk memperbaiki manajemen keuangan, memperkuat disiplin fiskal, dan meningkatkan kemitraan dengan pemerintah pusat, Jambi justru berpeluang bangkit sebagai daerah yang lebih tangguh, mandiri, dan efisien dalam mengelola keuangannya.