IPTEKJURNAL PUBLIK

Pendidikan yang Bertumbuh, Bangsa yang Bergerak: Merekam Setahun Capaian Pendidikan Berdampak

×

Pendidikan yang Bertumbuh, Bangsa yang Bergerak: Merekam Setahun Capaian Pendidikan Berdampak

Sebarkan artikel ini

Penulis : Abdul Jabar (*)

SETIAP bangsa memiliki cermin yang paling jujur tentang dirinya—yakni pendidikan. Dari ruang kelas di ujung Aceh hingga laboratorium kecil di Fakfak, masa depan bangsa sedang dipahat dalam diam oleh guru, siswa, dan kebijakan yang menyentuh keduanya.

Pendidikan Indonesia kini tengah menempuh fase penting: fase di mana reformasi tidak lagi sekadar membangun gedung, tetapi menata ulang cara berpikir tentang belajar, mengajar, dan tumbuh bersama.

Setahun terakhir, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mencatat capaian yang mencerminkan arah baru pendidikan nasional.

Dengan anggaran Rp181,72 triliun yang digelontorkan untuk tujuh program prioritas, pendidikan ditempatkan sebagai pondasi strategis dalam agenda pembangunan manusia Indonesia.

Angka itu bukan sekadar alokasi fiskal, tetapi pernyataan politik dan moral bahwa kemajuan bangsa tidak bisa dilepaskan dari mutu pendidikannya.

Transformasi ini tak datang dalam ruang hampa. Ia tumbuh dari kerja kolektif—antara negara, guru, masyarakat, dan bahkan teknologi—yang berupaya menghadirkan layanan pendidikan yang lebih merata, inklusif, dan berdampak.

Dari revitalisasi satuan pendidikan di pelosok, digitalisasi sekolah di daerah 3T, hingga peningkatan kesejahteraan guru dan akses bagi siswa kurang mampu—semuanya menandai babak baru: bahwa “pendidikan berdampak” bukan hanya jargon, melainkan arah nyata kebijakan publik.

Namun, di tengah capaian-capaian itu, muncul pula ruang refleksi: bagaimana memastikan setiap angka benar-benar mencerminkan perubahan di lapangan? Sebab, pendidikan bukan hanya tentang membangun lebih banyak sekolah, tetapi tentang memastikan setiap anak di dalamnya memiliki kesempatan yang sama untuk bermimpi dan belajar.

Dari Gawai ke Gairah Belajar

Jika revitalisasi memperkuat tubuh sekolah, maka digitalisasi memberi ruh pada jiwanya. Tahun 2025 menjadi momentum besar lewat Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2025 tentang Digitalisasi Pendidikan Nasional. Pemerintah menargetkan lebih dari 285.000 sekolah, dari PAUD hingga Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), memperoleh fasilitas pembelajaran digital.

Kini, pembelajaran berbasis teknologi tak lagi monopoli kota besar. Di Papua, televisi pendidikan lokal menjadi ruang belajar komunitas. Di Kalimantan Utara, radio komunitas menyiarkan pelajaran sore hari. Di Sulawesi Tengah, anak-anak di desa belajar dengan tablet yang berisi kurikulum Merdeka.

Badan Pusat Statistik (BPS, 2025) mencatat 68% sekolah di wilayah 3T kini memiliki akses internet—naik 14% dibanding tahun sebelumnya. Namun, 32% sisanya masih terputus dari jaringan. Tantangan geografis, biaya perangkat, dan keterampilan digital menjadi hambatan nyata yang belum sepenuhnya terselesaikan.

Pemerintah mencoba menjembatani kesenjangan itu lewat distribusi 288.000 Interactive Flat Panel (IFP) di berbagai sekolah. “Anak-anak kini lebih antusias. Mereka merasa belajar bukan tugas, tapi pengalaman,” kata Puji Basuki, guru SMKN 1 Kudus, menggambarkan perubahan suasana kelas yang kini lebih interaktif.

Tetapi perangkat hanyalah awal. Kajian Pusat Studi Pendidikan UGM (2025) menemukan, pelatihan integrasi teknologi baru menjangkau 47% guru di luar Jawa. Artinya, masih lebih dari separuh tenaga pendidik belum terbiasa dengan platform digital. “Teknologi tanpa kurasi konten bisa membingungkan siswa. Akses saja tidak cukup; kualitaslah yang menentukan,” ujar pengamat pendidikan, Indra Charismiadji.

Fakta itu diperkuat oleh survei Katadata Insight Center (2025), yang menemukan hanya 43% orang tua di luar Jawa memahami cara efektif mendampingi anak belajar daring. Ketimpangan literasi digital ini menunjukkan bahwa digitalisasi belum sepenuhnya merata—baik dalam infrastruktur maupun pemahaman sosial.

Namun, capaian ini tetap signifikan. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menyebut digitalisasi sebagai “gerakan keadilan pengetahuan”. Melalui teknologi, anak-anak dari Nduga hingga Cilacap kini memiliki akses yang sama terhadap sumber belajar. Tantangan berikutnya bukan lagi membangun jaringan, tetapi memastikan setiap anak dan guru mampu menggunakannya untuk tumbuh bersama dalam ekosistem digital yang sehat.

Guru dan Murid di Pusat Perubahan

Di tengah arus kebijakan dan transformasi teknologi, satu hal tetap menjadi pusat: manusia. Guru dan murid adalah inti dari pendidikan, bukan sekadar penerima kebijakan, tapi penggerak yang menghidupkan sistem dari bawah. Pemerintah menempatkan guru di garis depan dengan alokasi Rp13,2 triliun untuk peningkatan kompetensi dan kesejahteraan.

Lebih dari 785 ribu guru non-ASN kini menerima tunjangan profesi Rp2 juta per bulan, sementara 253 ribu guru PAUD nonformal mendapat BSU Rp300 ribu. Sebanyak 804 ribu guru mengikuti Program Profesi Guru (PPG), dan 16.197 guru difasilitasi melanjutkan pendidikan ke jenjang S1/D4. Selain itu, sejak Agustus 2025, pemerintah menyalurkan insentif tambahan Rp2,1 juta bagi guru non-ASN sebagai bentuk penghargaan atas dedikasi mereka di ruang-ruang kelas terpencil.

Sementara bagi guru ASN, Dana Alokasi Khusus (DAK) Nonfisik sebesar Rp70 triliun telah disalurkan untuk tiga skema utama—Tunjangan Profesi Guru (TPG), Dana Tambahan Penghasilan (DTP), dan Tunjangan Khusus Guru (TKG).

Dampaknya mulai terasa. Di banyak sekolah, metode pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) mulai diadopsi. Guru berkolaborasi lintas wilayah, memanfaatkan video, simulasi, dan learning management system untuk memperkaya proses belajar. Tapi tantangan tetap membayangi. Survei Balitbang Kemendikbud (2025) mencatat, 42% guru di wilayah timur masih kesulitan mengikuti pelatihan daring karena kendala sinyal, dan 37% merasa beban administratif menghambat kreativitas.

“Guru butuh ruang aman untuk bereksperimen, bukan hanya ruang untuk mengisi formulir,” ujar pengamat pendidikan Najeela Shihab. Kritik ini menggugah: bahwa kesejahteraan finansial tanpa kebebasan berpikir tidak akan cukup membentuk generasi kritis.

Di sisi peserta didik, kebijakan afirmatif terus diperkuat. Program Indonesia Pintar (PIP) menjangkau 18,5 juta siswa dengan anggaran Rp13,5 triliun. Program Beasiswa Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) menyasar 4.679 siswa di daerah 3T, senilai Rp127 miliar. Sementara itu, Program Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) menyalurkan Rp59,3 triliun bagi 422.106 sekolah dan lebih dari 50 juta siswa.

Reformasi sistem penerimaan siswa baru melalui Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) juga menjadi langkah signifikan. Survei Katadata Insight Center (KIC, 2025) menunjukkan bahwa 80% publik mengenal SPMB, 88% menilai sistem ini lebih baik dari PPDB sebelumnya, dan 90% menyebutnya sesuai harapan. Mayoritas orang tua murid (91,1%) menilai SPMB memperluas kesempatan bagi siswa berprestasi, keluarga kurang mampu, dan penyandang disabilitas.

Namun, kritik konstruktif tetap muncul. Sekitar 24,9% responden menilai sosialisasi masih minim, dan 10,2% mengeluhkan kendala teknis dalam pendaftaran daring. Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu Hadrian Irfani, menekankan perlunya pengawasan ketat di jalur prestasi dan domisili untuk mencegah manipulasi data.

Di sisi lain, Kementerian Pendidikan menyiapkan Tes Kompetensi Akademik (TKA) sebagai langkah standardisasi nasional. Meski belum menjadi syarat kelulusan, survei KIC mencatat 96,5% responden mendukung penerapan TKA karena dianggap penting untuk memastikan keadilan dan kualitas hasil belajar. Langkah ini dinilai sebagai terobosan menuju sistem seleksi pendidikan yang transparan dan meritokratis.

Menumbuhkan Bangsa dari Ruang Kelas

Satu tahun bukan waktu yang panjang bagi sejarah bangsa, tapi cukup untuk menanam harapan baru di tanah pendidikan. Dari ruang kelas di puncak Lembata hingga laboratorium digital di Bandung, denyut pembelajaran kini terasa lebih hidup. Program Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat—bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan bergizi, gemar belajar, bermasyarakat, dan tidur tepat waktu—menjadi gerakan karakter yang sederhana namun berdampak. Menurut laporan Direktorat Pembinaan SD (2025), program ini meningkatkan kehadiran siswa hingga 72% dan disiplin guru di ribuan sekolah.

Namun sejatinya, keberhasilan pendidikan tidak hanya diukur dari berapa gedung dibangun atau berapa siswa mendapat beasiswa. Ia diukur dari seberapa besar perubahan yang terjadi dalam cara berpikir dan bermimpi. Kepala sekolah di Sleman pernah berkata, “Karakter tidak diajarkan, ia diteladankan.” Kalimat sederhana itu mungkin menggambarkan inti seluruh capaian ini: pendidikan hidup karena teladan manusia di dalamnya.

Masih ada pekerjaan rumah—pemerataan digital, peningkatan literasi keluarga, dan ruang refleksi bagi guru untuk berinovasi tanpa takut salah. Tapi justru di sanalah nilai sejati dari pendidikan berdampak: ia terus bertumbuh, belajar, dan berbenah.

Selama masih ada guru yang mengajar dengan hati, murid yang belajar dengan mimpi, dan pemerintah yang mendengar dengan jujur—pendidikan Indonesia akan terus bergerak. Bukan hanya menuju angka-angka capaian, tetapi menuju peradaban yang sadar bahwa bangsa besar tumbuh dari ruang kelas yang hidup. ***

(*) Penulis adalah Pengamat Pendidikan Asal Brebes

sumber : sumateradaily.com (asri media group)