JURNAL PUBLIK

Ketika Marwah PWI Dikorbankan demi Seremoni

×

Ketika Marwah PWI Dikorbankan demi Seremoni

Sebarkan artikel ini

Oleh: Nazarman — Mantan Ketua PWI Kabupaten Merangin

Saya sengaja menulis dan memuat tulisan ini setelah acara pelantikan pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Merangin selesai.
Langkah ini bukan bentuk penentangan, apalagi upaya menggagalkan acara. Saya juga tidak memiliki ambisi jabatan, karena saya sudah pernah memimpin PWI Merangin satu periode, dan tidak sedikit pun berniat untuk menjadi ketua kembali.
Tulisan ini murni lahir dari kepedulian dan rasa tanggung jawab moral agar PWI tetap berjalan di atas jalur konstitusi organisasi, bukan di bawah bayang-bayang kehendak pribadi.

Hari ini, kita semua menyaksikan pelantikan pengurus PWI Merangin yang digelar secara meriah di salah satu hotel di Bangko.
Acara itu dihadiri oleh Wakil Bupati Merangin, Kapolres, pejabat OPD, unsur Forkopimda, dan bahkan hampir 20 orang anggota PWI dari Provinsi Jambi yang ikut dibawa khusus untuk menghadiri seremoni tersebut.
Dari luar tampak megah — seolah PWI Merangin tengah menorehkan babak baru yang membanggakan.

Namun di balik kemeriahan itu, ada satu pertanyaan mendasar yang mengganggu hati:
Apakah pelantikan itu sah secara AD/ART organisasi?
Sebab hingga kini, Konferensi Kabupaten (Konferkab) yang merupakan satu-satunya mekanisme sah untuk memilih ketua dan pengurus di tingkat kabupaten belum pernah dilaksanakan.

Saya sudah berkali-kali menulis dan mengingatkan soal ini.
Bukan untuk mencari kesalahan, tapi agar ada pembenahan dan kesadaran etis di tubuh organisasi wartawan tertua di negeri ini.
Namun, suara itu seperti diabaikan. Ketua PWI Provinsi Jambi seakan ingin berkata, “Saya ketua, terserah saya.”
Dan demi memuluskan langkahnya, digelarlah acara pelantikan semeriah mungkin lengkap dengan tamu-tamu penting dan gemerlap seremoni, agar publik lupa bahwa ada pelanggaran konstitusi yang sedang dibungkus dengan tepuk tangan.

Ironis, ketika organisasi wartawan yang seharusnya menjadi penegak moral, pengingat kekuasaan, dan penjaga etika, justru melanggar aturan yang dibuatnya sendiri.
Bagaimana mungkin kita menulis tentang keadilan dan integritas, sementara dalam rumah sendiri kita membiarkan pelanggaran prosedur dan arogansi kekuasaan kecil tumbuh subur?

Saya tidak dalam posisi menghakimi siapa pun.
Saya hanya ingin mengingatkan bahwa PWI bukan milik satu orang atau kelompok, melainkan rumah besar bagi seluruh wartawan yang berdiri di atas prinsip independensi, profesionalisme, dan ketaatan pada AD/ART.

Kini, setelah acara pelantikan itu selesai, saya hanya bisa berkata dengan jujur:
Selamat kepada mereka yang dilantik.
Semoga jabatan yang diperoleh tanpa konferkab itu dapat dijalankan dengan kesadaran bahwa legitimasi sejati tidak datang dari seremoni, tetapi dari ketaatan terhadap aturan dan nurani.

Dan pada akhirnya, sejarah tidak akan mengingat siapa yang berdiri di atas panggung, tetapi siapa yang berdiri tegak membela marwah organisasi ketika aturan mulai dikangkangi.***