Editorial: Nazarman
Di lantai 11 Kempinski Grand Ballroom, Jakarta, lampu-lampu megah memantul di dinding kaca malam itu. Jumat malam, 24 Oktober 2025, suasana penuh tepuk tangan ketika Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyerahkan Subroto Award kepada para penerima terpilih.
Salah satu yang berdiri di atas panggung dengan wajah sumringah adalah Bupati Merangin, H. M. Syukur — menerima penghargaan bidang geologi yang konon menjadi bukti keberhasilan menjaga warisan bumi di tanahnya.
Namun jauh di tanah asalnya, di tepian Sungai Manau dan Batang Merangin, bumi justru menangis pelan.
Suara mesin dompeng dan gajah besi (eskavator) meraung tanpa henti, menggerus tepian sungai yang dulu menjadi kebanggaan dunia — kawasan Geopark Merangin, tempat batuan purba bercerita tentang sejarah bumi 300 juta tahun silam. Kini cerita itu tenggelam di lumpur tambang emas ilegal.
Di sana, air sungai berubah warna. Ikan mati. Anak-anak mandi di air yang tak lagi jernih. Warga hanya bisa menggeleng pelan ketika ditanya tentang “penghargaan”. Mereka tahu, penghargaan tak akan menghentikan mesin-mesin rakus itu.
Bagi mereka, yang dibutuhkan bukan piagam kehormatan, tapi keberanian seorang pemimpin untuk menertibkan kerakusan yang telah lama dibiarkan.
Ironi itu terlalu tajam untuk ditelan: di atas panggung, Merangin dielu-elukan karena “konservasi warisan geologi”; di bawah kaki bukit, fosil-fosil tua dikubur kembali oleh lumpur tambang.
Jika penghargaan hanya mengandalkan laporan dan presentasi tanpa menjejak tanah yang sebenarnya, maka Subroto Award bukan lagi simbol prestasi — melainkan cermin retak dari kebohongan kolektif.
Merangin tidak butuh pujian; Merangin butuh penyelamatan.
Sebab ketika bumi sudah rusak, tak ada penghargaan yang bisa menutupi suara tangis sungai yang kehilangan kehidupan.
Dan kelak, ketika semua ini telah terlambat, sejarah akan mencatat: kita pernah merayakan penghargaan di atas tanah yang sedang sekarat.***











