JURNAL PUBLIK

Program 3 Juta Rumah Layak Huni, Antara Idealisme Kebijakan dan Realitas Daerah

×

Program 3 Juta Rumah Layak Huni, Antara Idealisme Kebijakan dan Realitas Daerah

Sebarkan artikel ini

Oleh: Martayadi Tajuddin
(Pengamat Kebijakan Publik, Pembangunan Infrastruktur, Perumahan& Permukiman, Lingkungan dan Akademisi)

KITA sedang hidup di masa ketika rumah bukan lagi sekadar atap pelindung, melainkan simbol martabat, stabilitas, dan keadilan sosial. Rumah adalah fondasi peradaban. Ia menjadi indikator paling konkret dari keberhasilan negara dalam menjalankan amanat konstitusi: menyejahterakan rakyat.

Karena itu, ketika pemerintah pusat meluncurkan Program 3 Juta Rumah Layak Huni untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), kebijakan ini bukan hanya proyek fisik, melainkan deklarasi moral bahwa negara hadir untuk yang paling lemah.

Namun, di balik narasi ideal ini, terselip tantangan besar — terutama di daerah. Provinsi Jambi, misalnya, dengan 270 ribu penduduk miskin dan sekitar 40 persen di antaranya masih menempati rumah tidak layak huni, menjadi cermin realitas bahwa kebijakan megah di tingkat nasional sering kali kandas di lapangan karena keterbatasan fiskal, tata kelola, dan kelemahan kapasitas daerah.

Rumah dan Dimensi Sosial-Religius Pembangunan

Dalam perspektif Islam dan teori pembangunan manusia, rumah adalah kebutuhan dasar yang bersifat multidimensi. Maslow (1943) menempatkan tempat tinggal sebagai bagian dari basic needs yang harus terpenuhi sebelum manusia dapat mencapai aktualisasi diri. Dewilde (2022) menambahkan, kepemilikan rumah layak dapat menurunkan deprivasi sosial dan meningkatkan rasa aman serta martabat kelompok miskin.

Artinya, perumahan rakyat tidak bisa dipandang hanya dari aspek ekonomi, tetapi juga dari dimensi spiritual dan sosial. Rumah yang layak menjadi ruang tumbuhnya ketenangan, pendidikan anak, dan kehidupan sosial yang beradab. Karena itu, gagasan bahwa perumahan dapat menjadi “motor sosial dan spiritual pembangunan” adalah narasi yang tepat. Tetapi bagaimana mewujudkannya dalam konteks fiskal daerah yang kian sempit?

Keterbatasan Fiskal Daerah dan Ilusi Angka Besar

Realitas anggaran di tingkat provinsi dan kabupaten/kota tidak seindah dokumen kebijakan nasional. Data Kementerian Keuangan (2025) menunjukkan bahwa lebih dari 65 persen APBD daerah di Indonesia habis untuk belanja wajib dan pegawai, sementara ruang fiskal untuk belanja publik produktif, termasuk perumahan rakyat, tersisa di bawah 10 persen.

Artinya, ketika daerah diharapkan menanggung 10 persen pembiayaan dari total proyek rumah rakyat (sekitar Rp147 miliar di Jambi saja), asumsi itu hampir mustahil terpenuhi tanpa memangkas program lain yang sama pentingnya. Ini memperlihatkan bahwa kebijakan perumahan rakyat berbasis fiskal linear (APBN–APBD) tidak akan mampu menjawab backlog nasional 9,9 juta unit rumah (Kementerian PKP, 2025).

Kita menghadapi dilema klasik pembangunan: idealisme sosial berbenturan dengan realisme fiskal. Sementara itu, ketergantungan terhadap FLPP dan BSPS dari pusat membuat daerah cenderung pasif, hanya menunggu alokasi tanpa mampu menginisiasi inovasi lokal.

Zakat sebagai Alternatif Sosial-Finansial: Antara Harapan dan Hambatan

Salah satu terobosan konseptual yang menarik dalam wacana perumahan rakyat saat ini adalah gagasan penggunaan dana zakat produktif untuk pembangunan rumah bagi fakir miskin. Secara normatif, ini sejalan dengan semangat maqashid syariah — menjamin kelangsungan hidup dan martabat manusia (hifz al-nafs dan hifz al-mal).

Potensi zakat nasional menurut BAZNAS (2025) mencapai Rp327 triliun per tahun, dengan estimasi potensi Jambi sekitar Rp1 triliun. Jika hanya 10 persen saja dialokasikan untuk program perumahan, secara teoritis bisa membangun ribuan unit rumah layak bagi masyarakat miskin ekstrem.

Namun di sinilah tantangan struktural muncul. Pertama, realisasi zakat aktual di daerah masih jauh di bawah potensi. Di Jambi, BAZNAS baru mampu menghimpun sekitar Rp40–50 miliar per tahun — hanya 4–5 persen dari estimasi potensi. Kedua, penggunaan zakat untuk perumahan masih menimbulkan perdebatan fiqhiyah, karena distribusi zakat harus sesuai dengan delapan asnaf dalam QS At-Taubah:60. Butuh ijtihad kelembagaan dan fatwa yang memperluas interpretasi zakat produktif agar dapat digunakan untuk program housing for mustahik secara sistematis dan berkelanjutan.

Lebih dari itu, aspek governance dan akuntabilitas zakat juga perlu diperkuat. Tanpa sistem pelaporan digital yang transparan, seperti dashboard zakat perumahan yang diusulkan, dana zakat berisiko kehilangan legitimasi publik.

BAZNAS daerah perlu direvitalisasi — bukan sekadar lembaga karitatif, tetapi menjadi manajer dana sosial-investasi jangka panjang, dengan sistem akuntansi syariah yang profesional.

Rumah Produktif: Gagasan Cerdas yang Bisa Gagal jika Tidak Terintegrasi

Konsep “Rumah Produktif Mandiri” — rumah layak huni yang terhubung dengan aktivitas ekonomi seperti kios kecil, bengkel, atau urban farming — merupakan inovasi sosial yang sangat relevan. Ini menjawab kritik Bank Dunia (2025) bahwa banyak program rumah murah gagal meningkatkan kesejahteraan karena dibangun di lokasi yang jauh dari pusat ekonomi.

Namun, keberhasilan konsep ini sangat bergantung pada ekosistem ekonomi lokal. Rumah produktif hanya akan produktif jika dihubungkan dengan akses pasar, pelatihan kewirausahaan, infrastruktur digital, dan transportasi yang memadai. Tanpa itu, rumah produktif hanya akan menjadi rumah baru dengan kemiskinan lama.

Kegagalan banyak program bantuan perumahan di masa lalu—seperti BSPS dan RTLH—terjadi karena pendekatan yang terlalu fisik oriented. Padahal, studi Widyastutik et al. (2022) menunjukkan bahwa bantuan perumahan baru efektif menurunkan kemiskinan bila diikuti dengan peningkatan kapasitas ekonomi dan sosial rumah tangga penerima.

Menuju Model Pembiayaan Blended yang Realistis dan Sosial-Spiritual

Jika kita ingin program 3 juta rumah benar-benar berdampak, maka perlu pergeseran paradigma dari “pembangunan berbasis anggaran” menuju “pembangunan berbasis kemitraan sosial.”
Skema blended finance yang melibatkan APBN, APBD, zakat, CSR, Tapera, hingga lembaga filantropi sebenarnya sangat potensial — tapi harus realistis dalam pembagian peran.

Pemerintah pusat harus tetap menjadi main driver melalui FLPP dan BSPS, sementara daerah berperan sebagai facilitator dan data manager — memastikan sasaran tepat, bukan sekadar menjadi eksekutor proyek. Zakat dan CSR kemudian masuk sebagai social co-funding, bukan pengganti belanja pemerintah, tetapi katalis moral dan solidaritas sosial.

Untuk memperkuat keberlanjutan, bisa dikembangkan model Sukuk Sosial Perumahan (Social Housing Sukuk) atau Dana Bergulir Syariah Rumah Mustahik, di mana hasil dari pembayaran ringan penerima manfaat akan kembali menjadi dana pembangunan rumah baru bagi keluarga miskin lain. Dengan model seperti ini, zakat berubah dari sekadar sedekah menjadi investasi sosial yang berputar.

Tantangan Utama: Tata Kelola, Data, dan Kesiapan Kelembagaan

Kritik paling tajam terhadap kebijakan perumahan rakyat bukan pada niat, melainkan pada pelaksanaan. Kelemahan data rumah tangga miskin, tumpang tindih program antarinstansi, dan rendahnya kapasitas teknis pemerintah daerah menjadi masalah kronis.

Untuk Jambi, yang memiliki 11 kabupaten/kota dengan karakter geografi dan sosial yang beragam, dibutuhkan Tim Satu Data Rumah Miskin Provinsi Jambi yang mengintegrasikan DTKS, data BAZNAS, dan data BPS secara digital dan terbuka yang terintegrasi menjadi satu data, DTSEN. Tanpa basis data tunggal, program rumah rakyat akan terus rawan salah sasaran dan duplikasi penerima.

Lebih jauh, setiap pembangunan rumah rakyat seharusnya dikaitkan dengan program padat karya lokal, agar masyarakat miskin tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga pekerja di proyek tersebut. Pendekatan ini memberi efek ganda: menyerap tenaga kerja sekaligus menumbuhkan rasa kepemilikan (ownership) terhadap rumah yang mereka bangun.

Membangun Rumah, Membangun Martabat

Pada akhirnya, program rumah rakyat harus dipahami sebagai strategi kebijakan sosial, bukan proyek infrastruktur biasa. Ia harus menyentuh nilai spiritual, sosial, dan ekonomi sekaligus.
Rumah layak bukan sekadar bangunan fisik, melainkan simbol kedaulatan warga terhadap kemiskinan struktural.

Di tengah keterbatasan fiskal daerah dan fluktuasi ekonomi nasional, integrasi zakat dan kolaborasi sosial menjadi jalan baru yang patut diperjuangkan. Tetapi jalan itu hanya akan berarti jika dibarengi dengan reformasi tata kelola, validasi data yang kuat, dan keberanian pemerintah daerah untuk berinovasi keluar dari pola lama.

Kita tidak kekurangan ide besar — kita hanya kekurangan kemampuan untuk mengeksekusinya dengan cerdas dan jujur. Dan mungkin di sinilah makna sejati dari rumah rakyat: bukan sekadar tempat berteduh dari hujan, tapi tempat di mana bangsa ini belajar menata ulang cara berpikirnya tentang keadilan dan kemanusiaan.

Daftar Pustaka

  1. Astrid, J. (2021). Program Perumahan Rakyat untuk MBR: Evaluasi Standar Layak Huni dan Perlindungan Hukum. Jurnal Acta, Universitas Padjadjaran.
  2. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). (2025). Laporan Potensi dan Realisasi Zakat Nasional 2025. Jakarta: BAZNAS RI.
  3. BP Tapera. (2025). BP Tapera Optimistis Capai Target 350.000 Unit Rumah Subsidi Tahun 2025. Jakarta: Tapera.go.id.
  4. Cai, J. (2022). Housing Assistance, Poverty, and Material Hardships. Housing Policy Debate, 34(3), 269–285.
  5. Dewilde, C. (2022). How Housing Affects the Association Between Low Income and Deprivation. Socio-Economic Review, 20(1), 373–398.
  6. Indonesia.go.id. (2025, Agustus). Lebih dari 26 Ribu Keluarga Nikmati Rumah Subsidi, Presiden: Bukti Transformasi Nyata. Diakses dari: https://indonesia.go.id/kategori/ekonomi-bisnis/10137
  7. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR). (2025). Program 3 Juta Rumah: Pilar Pemerataan dan Pengentasan Kemiskinan Nasional. Jakarta: KemenPUPR.
  8. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2025). Data Fiskal Regional: Analisis Kapasitas Fiskal Daerah 2024–2025. Jakarta: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
  9. Maslow, A. H. (1943). A Theory of Human Motivation. Psychological Review, 50(4), 370–396.
  10. UN-Habitat. (2023). Smart Habitat for the Poor: Integrating Housing and Livelihoods in Developing Regions. Nairobi: United Nations Human Settlements Programme.
  11. Widyastutik, S., Firdaus, M., & Nugraha, A. (2022). Impact of Housing Subsidy on Low-Income Household Welfare in Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan Indonesia, 22(3), 305–315.
  12. World Bank. (2025). Indonesia Urban Housing Report: Connecting People to Jobs and Services. Jakarta: World Bank Indonesia Office.