IPTEKJURNAL PUBLIK

Digital Hoarding sebagai Mekanisme Psikologis Adaptif di Era Informasi

×

Digital Hoarding sebagai Mekanisme Psikologis Adaptif di Era Informasi

Sebarkan artikel ini

Oleh: Nayla Khairunisa (Mahasiswa Psikologi Universitas Jambi)

Di era digital modern, manusia hidup di tengah arus informasi yang masif, cepat, dan nyaris tanpa batas.

Aktivitas akademik, sosial, maupun profesional kini sangat bergantung pada penyimpanan data digital dalam berbagai bentuk.

Ketergantungan ini memunculkan fenomena digital hoarding (penimbunan digital), yaitu kecenderungan individu untuk menyimpan berbagai jenis data seperti dokumen, foto, pesan, atau file dalam jumlah besar, bahkan ketika sebagian di antaranya telah kehilangan relevansi.

Meskipun perilaku ini sering dikaitkan dengan kompulsivitas dan lemahnya kontrol diri, kajian psikologi kontemporer menunjukkan bahwa digital hoarding tidak selalu bersifat patologis.

Sebaliknya, perilaku ini dapat berfungsi sebagai mekanisme psikologis yang adaptif, yakni cara individu mengelola kecemasan, mempertahankan identitas diri, serta menyesuaikan diri terhadap tekanan sosial dan teknologi di era informasi.

Dalam psikologi, mekanisme adaptif dipahami sebagai respons kognitif dan emosional yang membantu individu mempertahankan keseimbangan psikologis di bawah tekanan (Vaillant, 1992).

Dengan demikian, digital hoarding dapat dimaknai sebagai bentuk coping yang berperan menjaga rasa aman dan kesinambungan identitas di tengah ketidakpastian digital.

Fenomena digital hoarding memiliki akar konseptual pada model klasik hoarding yang dikemukakan oleh Frost dan Hartl (1996).

Model kognitif-perilaku tersebut menjelaskan bahwa perilaku menimbun merupakan hasil interaksi antara distorsi kognitif dan keterikatan emosional terhadap objek.

Berbeda dengan hoarding tradisional yang melibatkan akumulasi benda fisik, digital hoarding tidak menimbulkan gangguan spasial, melainkan beban kognitif dan emosional.

Dalam konteks digital, data tidak hanya berfungsi sebagai objek penyimpanan, tetapi juga sebagai simbol keamanan psikologis dan kendali diri terhadap ketidakpastian informasi.

Laporan We Are Social (2025) menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia rata-rata memiliki lebih dari 12.000 file pribadi di perangkat mereka, meningkat sekitar 30% dibandingkan tahun sebelumnya.

Peningkatan ini menunjukkan bahwa kebiasaan menyimpan data bukan sekadar refleksi dari kecemasan kompulsif, melainkan bentuk adaptasi terhadap tuntutan kognitif dan sosial dalam kehidupan digital.

Lebih jauh lagi, aspek emosional juga memainkan peran penting dalam menjelaskan kecenderungan individu untuk menyimpan data digital secara berlebihan.

Berdasarkan Transactional Model of Stress and Coping oleh Lazarus dan Folkman (1984), perilaku ini dapat dipahami sebagai bentuk emotion-focused coping, yaitu strategi psikologis yang bertujuan meredakan stres emosional akibat potensi kehilangan data penting.

Ketakutan akan hilangnya catatan kuliah, hasil karya, atau foto pribadi sering kali menimbulkan kecemasan yang dimediasi oleh perilaku protektif berupa pengarsipan berlebihan.

Studi oleh Baqir, Aslam, dan Aftab (2025) menemukan bahwa mahasiswa pascasarjana yang aktif menyimpan data digital menunjukkan tingkat kecemasan yang lebih rendah terhadap kehilangan informasi akademik dibandingkan mereka yang tidak melakukannya.

Temuan ini menegaskan bahwa digital hoarding berfungsi sebagai mekanisme pengamanan emosional yang membantu individu mempertahankan stabilitas psikologis di tengah ketidakpastian informasi.

Dalam perspektif eksistensial, perilaku digital hoarding juga berkaitan dengan upaya individu mempertahankan kontinuitas identitas. Berdasarkan teori kontinuitas identitas dari Erikson (1959), individu berusaha menjaga konsistensi pengalaman masa lalu sebagai bagian dari pembentukan jati diri.

Dalam konteks digital, file seperti foto, pesan, atau arsip pribadi berfungsi sebagai simbol eksistensial yang menegaskan siapa individu tersebut di dunia maya maupun dunia nyata.

Xie et al. (2024) menjelaskan bahwa keterikatan emosional terhadap data digital memperkuat motivasi individu untuk mempertahankan file sebagai representasi diri. Dengan demikian, kebiasaan menyimpan data tidak hanya mencerminkan ketakutan akan kehilangan, tetapi juga kebutuhan psikologis untuk menjaga kesinambungan identitas dan narasi diri di era digital.

Selain itu, dari perspektif sosial, digital hoarding dapat dipahami sebagai bentuk adaptasi terhadap tekanan sosial dan teknologi.

Dalam masyarakat berbasis informasi, individu dituntut untuk selalu siap, produktif, dan terhubung.

Chen, Wang, dan Zhu (2025) menemukan bahwa kebiasaan menyimpan data sering kali muncul sebagai bentuk kesiapsiagaan terhadap tuntutan profesional dan sosial, seperti kebutuhan untuk menunjukkan kompetensi digital dan efisiensi kerja.

Dalam konteks mahasiswa Indonesia yang cenderung kolektivistik, kecenderungan ini diperkuat oleh nilai kehati-hatian dan tanggung jawab sosial, di mana kehilangan informasi dapat dianggap sebagai bentuk kelalaian akademik atau profesional.

Oleh karena itu, digital hoarding dapat dimaknai sebagai strategi penyesuaian terhadap ekspektasi sosial yang menuntut kecepatan, ketepatan, dan kesiapan informasi. Integrasi dari tiga pendekatan teoritis, model kognitif-perilaku, model stres dan coping, serta teori kontinuitas identitas, menunjukkan bahwa digital hoarding merupakan respons adaptif multidimensi yang mencakup pengelolaan emosi, kontrol kognitif, dan kontinuitas diri.

Meski demikian, sifat adaptif ini dapat berubah menjadi disfungsional apabila akumulasi data tidak diimbangi dengan regulasi diri. Neave et al. (2021) menegaskan bahwa penumpukan data berlebihan dapat menimbulkan kelebihan informasi, stres, dan penurunan efisiensi kognitif.

Selain itu, Zaremohzzabieh et al. (2024) menemukan bahwa fear of missing out (FOMO) merupakan prediktor signifikan dari perilaku penyimpanan digital yang berlebihan.

Dengan demikian, adaptivitas digital hoarding bersifat dinamis, dapat menjadi protektif maupun maladaptif tergantung pada kemampuan regulasi diri individu.

Keseimbangan menjadi kunci agar perilaku ini tetap berfungsi adaptif. Penguatan literasi digital, penjadwalan pembersihan file, serta kesadaran terhadap nilai emosional dari setiap data menjadi langkah penting dalam menjaga fungsi psikologis positif dari perilaku ini.

Secara teoretis, digital hoarding mencerminkan ambivalensi khas adaptasi manusia di era informasi, yaitu kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kompleksitas teknologi sekaligus kerentanan terhadap kelebihan informasi.

Dari perspektif psikologi positif, fenomena ini menegaskan kapasitas manusia untuk membangun rasa aman, kontrol, dan kesinambungan identitas melalui media digital. Sementara itu, dari sudut pandang psikologi kognitif, fenomena ini menyoroti batas kemampuan mental manusia dalam mengelola beban informasi yang terus meningkat.

Dengan memahami digital hoarding sebagai mekanisme psikologis yang adaptif, kita dapat melihatnya bukan sebagai bentuk disfungsi, melainkan sebagai strategi alami manusia untuk mempertahankan stabilitas psikologis di tengah perubahan teknologi yang cepat.

Pemahaman tentang digital hoarding sebagai mekanisme adaptif membuka peluang bagi pengembangan intervensi psikologi digital yang lebih konstruktif. Fokus intervensi sebaiknya tidak diarahkan pada penghapusan perilaku menyimpan data, melainkan pada optimalisasi fungsinya bagi kesejahteraan psikologis.

Melalui pendidikan literasi digital dan pelatihan regulasi diri, individu dapat mempertahankan manfaat adaptif dari penyimpanan data tanpa terjebak dalam beban informasi berlebih. Dengan demikian, digital hoarding dapat dipahami bukan sebagai manifestasi kecemasan manusia modern, tetapi sebagai ekspresi kapasitas adaptif manusia untuk menjaga keseimbangan psikologis di tengah kompleksitas dunia digital.

Pemahaman ini memperluas perspektif psikologi digital modern dengan menegaskan bahwa perilaku digital tidak semata patologis, melainkan merupakan manifestasi dari kapasitas adaptif manusia dalam menghadapi dinamika kehidupan berbasis teknologi.

DAFTAR PUSTAKA

Baqir, M., Aslam, S., & Aftab, M. (2025). Fear of data loss and digital hoarding tendencies among postgraduate students. The DSSR Journal, 2(1), 45–59.

https://www.thedssr.com/index.php/2/article/view/620. Chen, H., Wang, Y., & Zhu, L. (2025).

Digital hoarding behavior as a response to social pressure in online environments. Proceedings of Contemporary Human Research, 4(3), 251–268.

https://direct.ewa.pub/proceedings/chr/article/view/25299. Erikson, E. H. (1959). Identity and the life cycle.

International Universities Press. Frost, R. O., & Hartl, T. L. (1996). A cognitive-behavioral model of compulsive hoarding.

Behaviour Research and Therapy, 34(4), 341–350. https://doi.org/10.1016/0005-7967(95)00071-2. Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984).

Stress, appraisal, and coping. Springer Publishing. Neave, N., Tyson, G., McInnes, L., & Hamilton, C. (2021).

The digital hoarding of personal data: Emotional and psychological correlates.

Computers in Human Behavior Reports, 3(1), 100–114.

https://doi.org/10.1016/j.chbr.2021.100114. Vaillant, G. E. (1992).

Ego mechanisms of defense: A guide for clinicians and researchers. American Psychiatric Press.

We Are Social. (2025).

Digital 2025: Indonesia report.

DataReportal. https://datareportal.com/reports/digital-2025-indonesia. Xie, X., Song, T., Li, L., Jiang, W., Gao, X., Shu, L., & Liu, Y. (2024).

Research on personal digital hoarding behaviours of college students based on personality traits theory: The mediating role of emotional attachment.

Library Hi Tech, 43(2–3), 1210–1230.

https://doi.org/10.1108/LHT-01-2024-0040. Zaremohzzabieh, Z., Samah, A. A., Omar, S. Z., Bolong, J., & Kamarudin, N. A. (2024).

The role of fear of missing out (FoMO) in digital hoarding behavior among university students. Computers in Human Behavior, 155, 108126. https://doi.org/10.1016/j.chb.2023.108126.