JURNAL PUBLIKRAGAM

Kedigdayaan Melayu Jambi sebagai Penguatan Arah Pembangunan Nasional: Berbasis Kearifan Lokal

×

Kedigdayaan Melayu Jambi sebagai Penguatan Arah Pembangunan Nasional: Berbasis Kearifan Lokal

Sebarkan artikel ini

Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd. (Guru Besar UIN STS Jambi)

Melayu Jambi: Sebuah Kedigdayaan

Kedigdayaan Melayu Jambi merupakan cermin dari perjalanan panjang peradaban Nusantara yang tumbuh di tepi Batanghari, sungai yang menjadi nadi ekonomi dan kebudayaan sejak berabad-abad silam.

Dalam konteks pembangunan nasional, nilai-nilai luhur Melayu Jambi menjadi sumber inspirasi yang dapat memperkuat arah pembangunan berbasis kearifan lokal. Pembangunan yang berakar pada budaya setempat menjamin keberlanjutan sosial dan spiritual bangsa (Geertz, 1963, p. 41).

Nilai “adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah” menjadi dasar filosofis masyarakat Melayu Jambi yang menjunjung keseimbangan antara akal, iman, dan tindakan sosial (Wilkinson, 1901, p. 212). Dengan demikian, pembangunan tidak hanya berarti kemajuan ekonomi, melainkan juga perwujudan nilai moral dan harmoni sosial (Sardar, 1999, p. 56). Dalam kerangka nasional, kearifan Melayu berperan memperkokoh integrasi dan identitas bangsa (Koentjaraningrat, 1985, p. 133).

Kedigdayaan Melayu Jambi sejak Pra-Masehi hingga Abad Digital

Sejarah Jambi bermula dari masa pra-Masehi ketika kawasan ini telah menjadi lintasan perdagangan internasional. Temuan arkeologis di kawasan Muara Jambi memperlihatkan jejak perdagangan lintas Asia yang berlangsung sejak abad ke-4 Masehi (Bronson, 1977, p. 89). Bahkan, bukti-bukti di Merangin dan Kerinci menunjukkan aktivitas budaya sejak 10.000 SM (Bellwood, 1997, p. 62).

Pada masa Sriwijaya, Jambi berperan sebagai simpul ekonomi dan spiritual penting di Sumatra bagian tengah (Wolters, 1982, p. 44). Ketika pusat Sriwijaya melemah, muncul Kerajaan Melayu Jambi dengan karakter maritim dan agraris yang kuat (Andaya, 1993, p. 127). Nilai gotong royong dan musyawarah mulai mengakar dalam sistem sosial (Marsden, 1811, p. 311).

Memasuki era Islamisasi abad ke-15, Kesultanan Jambi menjadi poros penting penyebaran Islam di pantai timur Sumatra (Snouck Hurgronje, 1906, p. 75). Kesultanan ini menumbuhkan tata kelola yang berbasis syariat dan adat lokal, meneguhkan struktur pemerintahan tradisional yang adaptif (Johns, 1958, p. 59).

Dalam era kolonial, Jambi menjadi pusat perlawanan dan diplomasi. Keteguhan moral Melayu menjadi simbol resistensi terhadap penindasan (Raffles, 1830, p. 202). Pasca kemerdekaan, spirit Melayu Jambi terus hadir dalam perjuangan sosial, politik, dan pendidikan. Kini, di era digital, kedigdayaan itu bertransformasi dalam bentuk pelestarian budaya melalui media sosial, ekonomi kreatif, dan diplomasi budaya (Heryanto, 2014, p. 88).

Melayu Jambi dan Kontribusi dalam Penguatan Pembangunan Nasional

Melayu Jambi menyumbang konsep keseimbangan dalam pembangunan nasional. Prinsip “adat dipakai baru, adat pusaka jangan dilupakan” mengajarkan sinergi antara modernitas dan tradisi (Abdullah, 2009, p. 22). Dalam perspektif pembangunan berkelanjutan, integrasi nilai budaya dan kemajuan teknologi memperkuat ketahanan sosial (UNESCO, 2017, p. 104).

Secara historis, masyarakat Melayu Jambi telah menerapkan sistem ekonomi berbasis solidaritas seperti sero (kerja sama nelayan), beselang (gotong royong panen), dan kenduri desa sebagai instrumen distribusi sosial (Tamin, 1975, p. 90). Nilai ini selaras dengan prinsip pembangunan inklusif dalam RPJMN 2020–2024 (Bappenas, 2020, p. 47).

Dalam ranah pendidikan, falsafah “ilmu membawa terang” menggambarkan orientasi masyarakat Jambi terhadap pencerahan dan pembinaan karakter (Natsir, 1954, p. 19). Hal ini sejalan dengan gagasan pembangunan manusia unggul berbasis kebudayaan nasional (Tilaar, 2002, p. 77). Oleh karena itu, revitalisasi nilai-nilai Melayu dalam sistem pendidikan nasional penting untuk memperkuat etos kerja, toleransi, dan kepemimpinan berakar budaya.

Kearifan Lokal Melayu Jambi: Tantangan dan Strategi Kompetisi di Era Global dan Digital

Era globalisasi dan digital menantang eksistensi budaya lokal. Nilai-nilai Melayu Jambi seperti qani’a (kerelaan hati), santun dalam tutur, dan malu dalam salah sering kali terpinggirkan oleh budaya instan dan kompetisi individualistik (Heryanto, 2014, p. 90). Tantangan ini menuntut rekontekstualisasi nilai lokal dalam ekosistem digital.

Strategi utama ialah membangun literasi budaya digital. Pemerintah daerah bersama perguruan tinggi perlu menciptakan digital archive budaya Melayu Jambi, melibatkan generasi muda sebagai kreator konten (UNDP, 2021, p. 58). Program digital heritage dan virtual museum Muara Jambi dapat memperluas diplomasi budaya ke tingkat global (Anderson, 2006, p. 93).

Di bidang ekonomi, penguatan eco-cultural tourism seperti di Bukit Duabelas dan Muara Jambi dapat mendorong ekonomi hijau berbasis masyarakat (Richards, 2018, p. 66). Sementara dalam politik kebudayaan, peran lembaga adat dan ulama lokal perlu difungsikan kembali sebagai mitra strategis dalam perencanaan pembangunan (Nasr, 2007, p. 117).

Kearifan lokal Melayu juga menanamkan konsep spiritualitas ekologis: manusia sebagai penjaga, bukan penguasa alam. Prinsip ini selaras dengan paradigma pembangunan berkelanjutan yang menekankan keseimbangan sosial-ekologis (Capra, 1996, p. 73). Dalam konteks inilah, Melayu Jambi menyumbang model pembangunan berbasis nilai yang ramah lingkungan dan berakar pada spiritualitas lokal.

Penutup

Kedigdayaan Melayu Jambi bukanlah nostalgia masa lalu, melainkan energi peradaban yang terus menyala. Ia telah membuktikan diri sebagai warisan budaya yang adaptif dari era pra-Masehi hingga abad digital. Nilai-nilai Melayu Jambi seperti keselarasan, musyawarah, dan keseimbangan spiritual menjadi fondasi penting arah pembangunan nasional yang berkeadaban.

Pembangunan Indonesia di masa depan harus menempatkan kearifan lokal sebagai pusat inovasi sosial dan moral. Dengan menghidupkan kembali nilai-nilai Melayu Jambi—melalui pendidikan, ekonomi kreatif, dan kebijakan budaya—kita memperkuat identitas bangsa sekaligus menjawab tantangan global dengan jati diri yang kokoh.

Referensi:

  1. Abdullah, T. (2009). Sejarah dan kebudayaan Melayu. Jakarta: UI Press.
  2. Andaya, B. (1993). To live as brothers: Southeast Sumatra in the seventeenth century. Honolulu: University of Hawaii Press.
  3. Anderson, B. (2006). Imagined Communities. London: Verso.
  4. Bappenas. (2020). RPJMN 2020–2024. Jakarta: Kementerian PPN.
  5. Bellwood, P. (1997). Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago. Honolulu: University of Hawaii Press.
  6. Bronson, B. (1977). Exchange at the upstream and downstream ends. Current Anthropology, 18(1), 89–97.
  7. Capra, F. (1996). The web of life. New York: Anchor Books.
  8. Geertz, C. (1963). Agricultural involution. Berkeley: University of California Press.
  9. Heryanto, A. (2014). Identity and pleasure: The politics of Indonesian screen culture. Singapore: NUS Press.
  10. Johns, A. H. (1958). The role of Islam in the history of Southeast Asia. Journal of Asian Studies, 19(1), 59–67.
  11. Koentjaraningrat. (1985). Kebudayaan, mentalitet dan pembangunan. Jakarta: Gramedia.
  12. Marsden, W. (1811). The history of Sumatra. London: Longman.
  13. Nasr, S. H. (2007). The essential Seyyed Hossein Nasr. Bloomington: World Wisdom.
  14. Natsir, M. (1954). Capita Selecta. Jakarta: Bulan Bintang.
  15. Raffles, T. S. (1830). The history of Java. London: John Murray.
  16. Richards, G. (2018). Cultural tourism: A review of recent research and trends. Tourism Management, 66, 66–77.
  17. Sardar, Z. (1999). Exploring Islam. London: Granta Books.
  18. Snouck Hurgronje, C. (1906). De Atjehers. Leiden: Brill.
    Tamin, Z. (1975). Adat dan budaya Melayu Jambi. Jambi: Balai Budaya.
  19. UNDP. (2021). Digital culture for sustainable development. New York: UNDP.
  20. UNESCO. (2017). Culture: Urban future. Paris: UNESCO.
    Wolters, O. W. (1982). History, culture, and region in Southeast Asian perspectives. Singapore: ISEAS.
  21. Wilkinson, R. J. (1901). A Malay-English dictionary. Singapore: Kelly & Walsh.
  22. 22. Tilaar, H. A. R. (2002). Perubahan sosial dan pendidikan. Jakarta: Grasindo.