JURNAL PUBLIK

Ketika Bupati Menjadi “Super Hero” Jalan Raya

×

Ketika Bupati Menjadi “Super Hero” Jalan Raya

Sebarkan artikel ini

Editorial :Nazarman

Rilis resmi Kominfo Merangin tentang aksi Bupati H. M. Syukur yang menyelamatkan seorang balita di tengah jalan disusun dengan gaya dramatis: penghentian mobil dinas, langkah cepat seorang pemimpin turun tangan, balita yang digendong, dan nenek yang berkali-kali berterima kasih. Semua elemen itu tampak dirangkai untuk satu kesan: bupati sebagai pahlawan.

Tidak ada yang salah dengan tindakan Bupati Syukur. Menolong anak kecil dari ancaman kecelakaan adalah tindakan manusiawi yang patut diapresiasi. Namun ketika aksi itu dikemas secara resmi sebagai kisah heroik, pertanyaannya menjadi lebih besar daripada peristiwa itu sendiri: apakah kita menyaksikan kejadian spontan, atau sedang membaca cerita kepahlawanan versi humas pemerintah?

Rilis tersebut menyuguhkan adegan-adegan yang sangat naratif: wajah balita yang berbedak, nenek yang terengah, hingga candaan bupati tentang membawa sang anak ke Jakarta. Semua disampaikan seolah sebuah cuplikan sinetron tiga menit yang dipoles untuk memancing “wow”.

Di titik ini, editorial ingin menekankan sesuatu yang lebih penting daripada dramatisasi: betapa rendahnya standar keteladanan pejabat publik di mata masyarakat—sampai-sampai aksi dasar kemanusiaan harus diangkat sebagai capaian luar biasa.

Kominfo tentu menjalankan tugasnya. Tetapi ketika kantor humas pemerintah memproduksi citra “pemimpin super hero”, kita diingatkan pada tradisi lama birokrasi: pencitraan sering lebih rajin dikelola ketimbang persoalan fundamental yang lebih mendesak.

Padahal, pemimpin tidak dinilai dari seberapa sering ia tampil dalam rilis heroik, tetapi dari seberapa konsisten ia hadir menyelesaikan persoalan daerah: infrastruktur yang tertinggal, sanitasi yang memprihatinkan, pelayanan kesehatan yang tersendat, dan proyek publik yang banyak bermasalah.

Aksi menyelamatkan balita adalah kebaikan. Namun menjadikannya panggung pahlawan adalah pilihan naratif—dan setiap pilihan naratif selalu punya kepentingan.

Editorial ini tidak meremehkan tindakan bupati, tetapi mengajak publik membaca rilis resmi dengan lebih jernih: kepahlawanan sejati tidak ditentukan oleh satu momen dramatis yang dirilis, melainkan oleh ratusan keputusan tanpa kamera, tanpa rilis, tanpa sorotan.

Di daerah ini, cerita heroik tidak pernah kekurangan. Yang kita butuhkan adalah pemimpin yang bekerja, bukan kisah yang dibungkus heroisme. Karena kalau setiap lubang jalan dan proyek bermasalah harus menunggu “super hero” muncul di rilis resmi, mungkin rakyat akan selalu bergantung pada keberuntungan, bukan kepemimpinan.***

Tinggalkan Balasan