IPTEKJURNAL PUBLIK

Tantangan Dakwah di Era Digital: Berbasis Riset vs Berbasis Doktrin Spiritual

×

Tantangan Dakwah di Era Digital: Berbasis Riset vs Berbasis Doktrin Spiritual

Sebarkan artikel ini

Oleh: Prof. Dr. Mukhtar Latif, MPd. (Guru Besar UIN STS Jambi)

​A. Keniscayaan Dakwah Berbasis Riset

Fenomena dakwah telah memasuki babak yang sepenuhnya baru “era digital”. Ini bukan sekadar perubahan medium, melainkan pergeseran mendasar dalam cara masyarakat global berinteraksi, mencari kebenaran, dan membentuk keyakinan.

Secara filosofis, keniscayaan teknologi yang meresap ke setiap sendi kehidupan telah lama diisyaratkan oleh Bertrand Russell (1953) dalam karyanya The Impact of Science on Society.

Konsep tentang bagaimana teknik ilmiah secara radikal mengubah organisasi sosial ini kini dianalogikan sebagai kondisi di mana “tidak sejengkal tanah pun yang tersisa” yang luput dari jejaring teknologi digital (Russell, 1953; Castells, 2010).

​Kondisi inilah yang melahirkan urgensi gagasan Dakwah Berbasis Riset di Indonesia. Menurut Prof. Arif Satria (2025), Ketua Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang pandangannya menekankan pentingnya riset dalam peradaban, dakwah tidak boleh hanya mengandalkan penyampaian doktrin spiritual saja. Konten dakwah harus mampu bersaing di ruang digital yang rasional, kritis, dan berbasis data. Mengadopsi riset berarti menggunakan data ilmiah, psikologi audiens, dan analisis tren untuk memastikan pesan dakwah mencapai relevansi dan kredibilitas yang layak bagi publik digital. Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Arif Satria, dakwah kontemporer harus bergerak dari sekadar penyampaian dogmatis menuju penyampaian yang teruji secara kontekstual dan ilmiah.

​B. Strategi Dakwah Efektif: Perspektif Kitab Klasik dan Kontemporer

Strategi dakwah yang efektif harus menyandingkan kearifan klasik dengan instrumen kontemporer. Kitab-kitab turats telah mengajarkan prinsip hikmah (wisdom), mau’idzah hasanah, dan mujadalah bi al-lati hiya ahsan. Misalnya, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Hasyim Asy’ari (1994) menanamkan etika transfer ilmu. Prinsip ini, yang berakar dari abad-abad silam (misalnya, fikih dakwah dalam Al-Umm oleh Al-Shafi’i, 2010; dan Al-Muwatta’ oleh Imam Malik, 2004), harus diterjemahkan ke dalam konteks algoritma dan user interface. Keutamaan akhlak dalam dakwah (Riyadhus Shalihin, Al-Nawawi, 2000) juga harus dipertahankan.

​Al-Ghazali (1997) melalui Ihya’ Ulumiddin juga menekankan pemurnian jiwa da,’i. Di sisi kontemporer, peneliti seperti Jenkins (2024) menggarisbawahi pentingnya budaya konvergensi. Oleh karena itu, strategi dakwah efektif menggabungkan kedalaman spiritual yang diwariskan dari para ulama masa lalu dengan kecepatan dan akurasi yang ditawarkan oleh studi komunikasi massa (Muid, 2021).

​C. Teori Dakwah di Era Digital: Formula Berbasis Riset vs Doktrin Spiritual

Teori dakwah klasik berakar kuat pada otoritas dan transmisi ilmu. Namun, Formula Dakwah Berbasis Riset mengadopsi model sirkuler yang didasarkan pada siklus: Analisis Audiens – Desain Pesan – Testing – Evaluasi Dampak.

​Pendekatan ini berfokus pada measurable impact (dampak terukur), yaitu perubahan positif dalam perilaku keagamaan yang dapat diverifikasi (Hassan, 2022) dan dikaitkan dengan konsep public sphere digital (Habermas, 2019). Jika doktrin spiritual menjawab “apa yang harus disampaikan?”, maka riset menjawab “bagaimana cara terbaik…”. Riset membantu da’i menghindari echo chamber dan menghadapi tantangan otoritas algoritma (Zainuddin, 2021). Dengan demikian, dakwah berbasis riset adalah manifestasi ijtihad modern dalam metodologi penyampaian pesan agama (Mustafa, 2023).

​D. Kilasan Model Dakwah di Tanah Air: Respons Kontra-Narasi

Kekayaan model dakwah di Indonesia—dari kiai pesantren, ustad media sosial, Buya yang fokus literasi, hingga tuan guru di daerah, merupakan kekuatan besar. Namun, tantangan terberat datang dari narasi kontra-dakwah, seperti kelompok penyebar intoleransi (“dakwah snogh horgroun”) dan isu pemurtadan di beberapa wilayah seperti Aceh (Syahputra, 2023).

​Respons terhadap narasi ini tidak cukup hanya berupa bantahan doktrinal. Turats menyediakan dasar pemahaman yang komprehensif (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Ibn Katsir, 2015). Diperlukan riset mendalam. Model yang berfokus pada Apologetika Ilmiah dan respons terhadap pemurtadan menuntut penguasaan data sosiologis. Penting juga mempertahankan metodologi belajar yang benar (Ta’lim al-Muta’allim, Syaikh Az-Zarnuji, 1998). Buku yang secara spesifik membahas teknik kontra-propaganda (ampuh hrogroung), seperti Strategi Penanggulangan Konversi Agama oleh Al-Banjari (2020), menjadi referensi penting dalam merumuskan dakwah yang efektif.

​E. Penutup

Dakwah di era digital adalah ajakan untuk berevolusi. Kunci utamanya terletak pada sintesis antara keteguhan doktrin spiritual yang diwariskan dari turats dan ketajaman metodologi berbasis riset (Hassan, 2022) yang diamanatkan oleh era kontemporer. Dai masa depan haruslah seorang ahli agama sekaligus ahli data. Perpaduan ini akan memastikan bahwa pesan universal Islam tetap relevan, kredibel, dan mampu menembus setiap jaringan serta jiwa di tengah masyarakat global.

​Referensi
​Al-Ghazali. (1997). Ihya’ Ulumiddin (Vol. 1). (Karya Abad ke-11 M). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
​Al-Nawawi, Y. S. (2000). Riyadhus Shalihin (Edisi Tahqiq). (Karya Abad ke-13 M). Damaskus: Dar al-Bashair.
​Al-Qusyairi, A. K. (2018). al-Risalah al-Qusyairiyah. (Karya Abad ke-11 M). Kairo: Dar al-Shorouk.
​Al-Shafi’i, M. I. (2010). Al-Umm (Vol. 4). (Karya Abad ke-9 M). Beirut: Dar al-Fikr.
​Hasyim Asy’ari, K. (1994). Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim. (Karya Awal Abad ke-20 M). Jombang: Maktabah Tebuireng.
​Ibn Katsir, I. U. (2015). Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (Vol. 1). (Karya Abad ke-14 M). Riyadh: Dar Taibah.
​Imam Malik. (2004). Al-Muwatta’ (Edisi Tahqiq). (Karya Abad ke-8 M). Abu Dhabi: Zayed bin Sultan al Nahyan Foundation.
​Syaikh Az-Zarnuji. (1998). Ta’lim al-Muta’allim Tariq at-Ta’allum. (Karya Abad ke-13 M). Beirut: Dar Ibn Hazm.
​Al-Banjari, F. (2020). Digital Apologetics and Conversion Dynamics in Southeast Asia. New York: Palgrave Macmillan.
​Arif Satria. (2025). Strategi Inovasi Digital dan Pembangunan Peradaban (Prosiding Seminar Nasional BRIN). Jakarta: BRIN Press.
​Castells, M. (2010). The Rise of the Network Society (2nd ed.). Oxford: Blackwell Publishing.
​Habermas, J. (2019). The Structure of the Public Sphere. Cambridge, MA: MIT Press.
​Hassan, F. (2022). The Digital Transformation of Religious Authority. London: Routledge.
​Jenkins, H. (2024). Convergence Culture: Where Old and New Media Collide (Revisited Edition). New York: New York University Press.
​Muid, H. (2021). Communication Strategies for Digital Da’wah. London: Routledge.
​Russell, B. (1953). The Impact of Science on Society. New York: Simon and Schuster.
​Hassan, A. (2022). Measuring the Effectiveness of Islamic Content on TikTok: A Quantitative Study. Journal of Digital Da’wah Studies, 5(3), 45–62.
​Mustafa, Z. (2023). Digital Ethnography in Da’wah Research: Assessing Behavioral Change and Online Religious Piety. International Journal of Communication and Islamic Studies, 18(1), 101–118.
​Syahputra, A. (2023). Digital Radicalism and Counter-Narratives in Indonesian Border Regions: A Case Study of Aceh. Asian Journal of Religious Conflict, 12(1), 101–118.
​Zainuddin, A. (2021). The Algorithmic Challenge to Islamic Authority: A Study of YouTube’s Role in Religious Contestation. Media, Religion and Culture, 45(4), 512–530.

Tinggalkan Balasan