Belakangan ini, sorotan publik terhadap profesi hukum, khususnya advokat, semakin tajam. Di tengah meningkatnya kompleksitas hukum dan kebutuhan masyarakat akan jasa profesional, advokat memegang peran sentral sebagai perwakilan kepentingan rakyat dan penolong hakim dalam penemuan hukum.
Namun, maraknya kasus pelanggaran kode etik oleh oknum advokat telah mencoreng citra profesi yang secara mulia disebut officium nobile.
Advokat, yang menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 adalah mereka yang memberikan layanan hukum baik di dalam maupun di luar ruang sidang, dituntut untuk bertindak secara independen dan tidak terpengaruh oleh kekuasaan negara. Tugas utama mereka adalah membela kepentingan klien, melindungi objektivitas, dan menjunjung tinggi persamaan di hadapan hukum.
Ketika Integritas Tergoyahkan
Sayangnya, realitas di lapangan (das sein) seringkali bertolak belakang dengan harapan (das sollen). Masyarakat memberikan kepercayaan penuh, namun banyak advokat yang menyimpang dalam menjalankan tugas, seringkali demi kepentingan pribadi.
Salah satu contoh yang sempat menghebohkan adalah kasus seorang advokat senior yang dilaporkan menginstruksikan klien untuk memberikan keterangan palsu—sebuah tindakan melawan hukum. Meskipun pertanggungjawaban pidana atau perdata bagi advokat yang bertindak dengan itikad baik masih menjadi perdebatan hukum, pelanggaran etika semacam ini tetaplah merupakan keprihatinan serius.
Advokat dituntut untuk menjalankan profesi dengan kejujuran dan akuntabilitas. Dalam hubungannya dengan klien, mereka tidak diperbolehkan menjanjikan kemenangan atau memberikan pernyataan yang bertentangan dengan fakta. Bahkan, menolak kasus yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas adalah sebuah keharusan.
Pertanggungjawaban Advokat
Profesi advokat memiliki empat lapis pertanggungjawaban yang harus dijunjung tinggi:
Kewajiban Moral kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Akuntabilitas terhadap Kode Etik Advokat.
Kewajiban Menegakkan Hukum.
Kewajiban terhadap Masyarakat, karena setiap itikad dan perbuatan advokat harus dipertanggungjawabkan kepada publik.
Untuk menjaga harkat dan martabat profesi, setiap advokat di Indonesia diikat oleh Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI), yang ditetapkan bersama oleh berbagai asosiasi pada 23 Mei 2002.
Organisasi Advokat, melalui Dewan Kehormatan, memiliki tugas dan wewenang untuk menyelidiki dan memutuskan pelanggaran kode etik. Sanksi yang bisa dijatuhkan kepada advokat yang melanggar KEAI dan sumpah profesi, antara lain:
Teguran lisan atau tertulis.
Penonaktifan sementara (3 hingga 12 bulan).
Pemberhentian tetap dari profesinya.
Sanksi ini diharapkan memiliki efek jera agar kasus pelanggaran tidak terulang.
Menuju Penegakan Etika yang Lebih Tegas
Meskipun mekanisme sanksi dan kode etik sudah ada, maraknya pelanggaran menunjukkan kurangnya rasa tanggung jawab dari sebagian oknum. Keputusan Dewan Kehormatan, meski tidak menghapuskan tanggung jawab terpidana, kadang kala menimbulkan keraguan di mata publik.
Sudah menjadi kewajiban mutlak bagi setiap advokat untuk menjunjung tinggi integritas pribadi dan menjalankan tugasnya sebagai profesi yang terhormat (officium nobile). Kepatuhan terhadap kode etik bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah kewajiban. Advokat harus selalu mengutamakan ketaatan hukum dan kebenaran hukum, bukan semata-mata keuntungan pribadi.
Masyarakat dan Dewan Kehormatan harus sama-sama aktif mengawasi agar advokat tidak keluar dari nilai-nilai profesi. Hanya dengan penegakan kode etik yang tegas dan tanpa pandang bulu, martabat officium nobile dapat diselamatkan, dan kepercayaan penuh dari masyarakat—yang menjadi modal utama profesi ini—dapat kembali dipulihkan.
Disclaimer: Tulisan opini ini disusun berdasarkan informasi yang terdapat dalam dokumen “Pertanggungjawaban Advokat Dalam Pelanggaran Kode Etik Profesi Pada Klien” yang ditulis oleh Jimmy Pandari, 2025.













