Oleh: Nazarman
Keterlibatan Barlef dalam konflik Renah Alai bukan sekadar vokal tetapi sudah masuk kategori ikut campur secara membabi-buta. Melalui video-video yang ia unggah, ia menekan aparat agar menindak warga Renah Alai, seolah-olah dialah pemilik otoritas moral dan sosial di tanah yang bahkan bukan wilayahnya.
Pertanyaannya sederhana namun telak:
Siapa sebenarnya Barlef dalam urusan Renah Alai?
Dan atas dasar apa ia merasa berhak mengacak-acak dinamika adat orang lain?
Orang Luar yang Terlalu Sibuk Mengatur
Barlef bukan warga Renah Alai.
Bukan bagian dari Luhak 16.
Bukan pemangku adat.
Bahkan secara geografis, ia tinggal jauh di Pulau Rengas.
Namun suara dan tekanan moral yang ia lempar justru melampaui tokoh resmi desa, seakan-akan ia punya mandat khusus untuk mengatur konflik orang lain. Ini bukan kepedulian ini ambisi yang melanggar batas.
Dan jika menengok rekam jejaknya, pola ini jelas bukan hal baru.
Pola Lama: Selalu Berada di Pihak Pendatang
Saat menjabat Ketua KPU Merangin, Barlef pernah diduga ingin meloloskan pendatang tanpa KTP Merangin sebagai pemilih.
Kebijakan itu ditolak keras oleh warga Luhak 16 dan terjadi demontrasi ke kpu Merangin saat itu.
Namun Barlef tetap kukuh, bahkan terkesan menantang.
Kini, bertahun-tahun kemudian, pola itu kembali terlihat:
ia konsisten berpihak pada pendatang, menyudutkan warga setempat, dan masuk ke ranah adat tanpa legitimasi apa pun.
Ini bukan kebetulan.
Ini pola lama yang terus berulang.
Kabar Kebun Kopi: Bisik-Bisik atau Petunjuk Motif?
Di tengah panasnya situasi, muncul kabar bahwa Barlef mendapat sebidang kebun kopi dari warga pendatang di Sungai Tebal.
Benar atau tidak, kabar itu tak bisa begitu saja disingkirkan.
Karena pertanyaan publik makin masuk akal:
Mengapa ia selalu membela pendatang?
Mengapa ia begitu agresif menekan aparat?
Apa yang membuatnya begitu bersemangat mengurus konflik yang bukan wilayahnya?
Jika ia merasa benar-benar bersih, ia seharusnya mengklarifikasi bukan bersembunyi di balik retorika.
Barlef Menuduh “Adat Serampas”: Sebuah Penyederhanaan yang Menyesatkan
Di antara pernyataannya, Barlef menuduh adat serampas sebagai tindakan “kejahatan luar biasa” dan “tidak berlandaskan agama”, hanya karena ada proses merubuhkan pondok kebun atau menebang tanaman.
Tuduhan ini bukan hanya keliru tetapi menyesatkan.
Di Renah Alai dan wilayah adat Luhak 16, penertiban ulayat tidak pernah dilakukan tanpa sebab.
Ada proses: pemberitahuan, peringatan adat, musyawarah, dan kesempatan memperbaiki.
Tindakan seperti merobohkan pondok hanyalah langkah terakhir ketika pelanggaran jelas terjadi.
Menggambarkan masyarakat adat seolah “suka-suka merusak pondok orang” menunjukkan dua hal:
ketidaktahuan, atau ketidakjujuran.
Dalam tradisi adat Melayu Jambi, penertiban ulayat adalah mekanisme menjaga batas, kehormatan, dan keseimbangan sosial—bukan tindakan kriminal sebagaimana Barlef framing dalam video-video emosionalnya.
Meremehkan Adat, Mengacaukan Harmoni
Renah Alai bukan panggung politik kecil-kecilan.
Ada adat, lembaga, dan mekanisme penyelesaian konflik yang telah menjaga harmoni puluhan tahun.
Masuk dengan gaya menggertak aparat hanya memperkeruh keadaan.
Alih-alih meredam masalah, Barlef justru berpotensi memecah solidaritas, menggerus kepercayaan, dan memprovokasi kemarahan warga.
Intervensi gegabah dari figur luar yang tak memahami sensitivitas lokal bukan kontribusi.
Itu kerusakan sosial yang dibungkus kepedean berlebih.
Penutup: Saatnya Warga Bicara, Bukan Figur Luar yang Merasa Paling Tahu
Konflik Renah Alai bukan urusan kecil—tetapi juga bukan panggung bagi siapa pun yang ingin tampil sebagai pahlawan instan. Apalagi bagi figur luar yang tidak memahami sejarah, batas ulayat, dan dinamika adat setempat.
Warga Renah Alai berhak menyelesaikan masalahnya melalui adat dan musyawarah yang mereka junjung.
Dan pihak luar termasuk Barlef harus tahu batas.
Jika ia benar-benar peduli, ia mestinya mendorong dialog, bukan provokasi.
Jika ia benar-benar ingin membantu, ia mestinya mendengar, bukan memaksa.
Jika ia benar-benar bermoral, ia mestinya introspeksi, bukan mengajari adat orang lain dari balik kamera ponsel.
Karena pada akhirnya, Renah Alai tidak membutuhkan penceramah instan, komentator dadakan, atau moralist yang hanya muncul saat konflik mencuat.
Yang dibutuhkan adalah ketenangan, rasa hormat, dan penghargaan terhadap proses adat yang telah menjaga harmoni sejak lama.
Dan semua itu hanya bisa lahir dari mereka yang hidup, tinggal, dan memahami tanah ini
bukan dari Barlef, dan bukan dari siapa pun yang merasa lebih tahu daripada masyarakatnya sendiri.***













