(Mengintegrasikan Daya Pikir, Daya Iman, dan Daya Aksi Cendekiawan Muslim di Era Digital)
Oleh: Prof. Dr. Mukhtar Latif, MPd. (Ketua ICMI Orwil Jambi)
A. Peneguhan ICMI pada Milad 35
Milad ke-35 Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) se Indonesia 2025, adalah momen strategis untuk melakukan refleksi kolektif. Di tengah arus disrupsi digital yang masif, ICMI sangat strategis berbicara “Pembumian Literasi IPTEK dan IMTAK’. Tema ini bukan sekadar slogan, melainkan panggilan serius bagi cendekiawan Muslim untuk menyelaraskan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan iman dan takwa (IMTAK) demi kemaslahatan umat.
Tantangan peradaban saat ini tidak hanya soal kecanggihan teknologi, tetapi juga bagaimana teknologi itu digunakan, apakah untuk membangun atau merusak. Oleh karena itu, ICMI dituntut menjadi pilar utama yang menyinergikan keduanya (Al-Bukhari & Mustofa, 2024; Abdullah, 2021).
B. Membangun Generasi Imtakisasi dan Iptekisasi
Idealnya, kita perlu mencetak generasi yang telah melewati proses Imtakisasi dan Iptekisasi secara simultan. Iptekisasi berarti penguasaan, pengembangan, dan penerapan IPTEK, bukan sekadar menjadi konsumen pasif (user). Sebagaimana pandangan ICMI, Indonesia harus menjadi pemain, bukan penonton di panggung teknologi global (ICMI Policy Paper, 2023). Proses ini membutuhkan investasi besar dalam pendidikan berbasis STEM yang terintegrasi.
Namun, Iptekisasi tanpa Imtakisasi bisa berbahaya. Di sinilah peran Imtakisasi masuk: internalisasi nilai-nilai keIslaman yang kokoh akhlak, etika, dan tanggung jawab sosial. Ketika teknologi (IPTEK) adalah kekuatannya (power), maka etika keIslaman (IMTAK) adalah kompasnya (compass).
Perpaduan ini akan melahirkan Sumber Daya Manusia (SDM) unggul yang memiliki kecerdasan kognitif, spiritual, dan emosional, siap bersaing sekaligus berakhlak mulia (Alatas & Syarifah, 2022; Khan, 2021). ICMI memiliki tugas kultural untuk memastikan human capital Indonesia memiliki orientasi moral yang kuat.
C. ICMI di Era Digital: Pilar Terdepan Kreator dan Inovator Riset Produk Teknologi Digital
ICMI harus mengubah paradigma dari sekadar wadah diskusi menjadi lokomotif riset dan inovasi. Era digital menuntut cendekiawan Muslim tidak lagi berdiam diri di menara gading, melainkan terjun langsung sebagai creator dan innovator. Kita harus berani membangun ekosistem startup teknologi yang bukan hanya mengejar keuntungan, tetapi juga memberikan solusi bagi masalah umat dan bangsa (Mohamad, 2021).
Fokus inovasi bisa diarahkan pada sektor-sektor kunci: Fintech Syariah yang inklusif, Edutech berbasis nilai-nilai Islam yang mencerdaskan bangsa, hingga Agritech halal untuk menjamin ketahanan pangan umat (Yasin & Hamid, 2023). Riset dan inovasi yang didukung ICMI harus menghasilkan produk teknologi digital yang berdampak dan bersyariah, sekaligus memiliki daya saing global. Etika Islam memberikan kerangka kerja yang solid untuk menghindari teknologi yang merusak atau tidak adil (Zulkifli, 2021).
D. Wujudkan Ayat-Ayat Kauliyan dan Kauniyah dalam Karya Inovasi ICMI di Era Digital
Titik terdalam dari pembumian literasi IPTEK dan IMTAK adalah integrasi epistemologi Islam dalam setiap karya inovasi. Inovasi kita harus bersumber dari dan ditujukan untuk mengimplementasikan ayat-ayat.
Ayat Kauliyan: (wahyu/Al-Qur’an) dan Ayat Kauniyah (alam semesta) adalah dua sumber yang tidak terpisahkan (two facets of the same truth). Filsuf Muslim terkemuka, Nasr (1993), berargumen keras bahwa krisis ekologis dan moral modern berakar pada pemisahan ilmu dari sumber sakral (sacred science).
Menurut Bakar (1999), klasifikasi ilmu dalam Islam selalu berpusat pada Tawhid, menjadikan ilmu alam tunduk pada etika wahyu. Karenanya, teknologi harus bertujuan mengungkap makna ilahiah alam, bukan sekadar mengeksploitasinya. Selain itu, Sardar (1989) menekankan perlunya evaluasi kritis terhadap tujuan ilmu pengetahuan Barat, mendorong cendekiawan Muslim untuk menciptakan sains yang beretika sosial dan Islami. Pendekatan ini memastikan bahwa kemajuan teknologi kita tetap berada di jalur moral dan etika profetik (Petersen, 2021; Snyder & Omar, 2022).
E. Karya Inovasi Spesifik ICMI di Era Digital
Karya inovasi ICMI harus bersifat aksi nyata dan terfokus pada sektor vital sebagai wujud Daya Aksi:
- Fintech Syariah Inklusif: Menciptakan Platform Fintech Zakat/Wakaf Berbasis AI yang menggunakan Kecerdasan Buatan untuk mengoptimalkan penyaluran dana sosial keagamaan secara transparan, tepat sasaran, dan mengukur dampaknya terhadap kemiskinan (Adnan, 2022).
- Edutech Terintegrasi: Pengembangan Portal Pembelajaran Ayat Kauliyan & Kauniyah yang mengaitkan sains dan etika Al-Qur’an. Inovasi ini diperkuat dengan Virtual Lab (VR/AR) Berbasis Etika untuk melatih integritas moral ilmuwan muda.
- Rantai Pasok Halal Digital: Penciptaan Sistem Logistik dan Rantai Pasok Halal Digital berbasis blockchain atau IoT yang menjamin integritas dan ketertelusuran produk halal (Halal Traceability), mempermudah UMKM dalam sertifikasi dan penetrasi pasar global (Mustafa et al., 2024). Selain itu, penyediaan Digital Marketing Syariah membantu UMKM mengakses pasar global (Mohamad, 2021).
Agritech Halal dan Lingkungan: Mengembangkan solusi Pertanian Presisi Syariah (Precision Farming Syariah) yang sederhana dan terjangkau, menggunakan teknologi untuk meminimalisir limbah dan memastikan praktik pertanian yang etis dan ramah lingkungan (Muhdi, 2025).
F. Hijrah Teknologi ICMI ke Masyarakat Bawah: Solusi Kesejahteraan
Peran strategis ICMI tidak berhenti pada penciptaan teknologi, tetapi pada Hijrah Teknologi atau technology transfer and adoption yang inklusif ke masyarakat bawah. ICMI harus menjadi lokomotif kesejahteraan dengan menjembatani kesenjangan digital (digital divide) yang selama ini memisahkan masyarakat elit dan masyarakat akar rumput. Keberhasilan teknologi diukur dari sejauh mana ia mampu menyejahterakan kelompok rentan.
Digitalisasi sektor esensial bagi hajat hidup masyarakat adalah prioritas. Teknologi yang diadopsi harus mampu menciptakan keadilan, mengurangi kemiskinan, dan memastikan kesejahteraan yang merata dan syar’i. Konsep inclusive innovation sangat relevan di sini, di mana fokusnya adalah memberdayakan komunitas dan memberikan nilai nyata (Hasan & Aziz, 2024; Wilson, 2021; Daud, 2023).
G. Meneguhkan Kecendekiaan ICMI: Ulul Ilmi, Ulul Al-Bab, dan Ulun Naha
Untuk melaksanakan mandat peradaban ini, ICMI harus memperkuat kapasitas tiga dimensi kecendekiaan yang menjadi fondasinya, yang akarnya kuat dalam tradisi intelektual Islam:
- Ulul Ilmi (Daya Ulama): Kapasitas keIslaman yang mumpuni, yang mencakup kedalaman spiritual dan integritas moral. Ibn Khaldun (1377) menempatkan ilmu-ilmu syar’iyyah sebagai fondasi peradaban, menegaskan bahwa pembangunan fisik harus ditopang oleh pembangunan moral dan intelektual. Cendekiawan harus menjadi pewaris nabi (waratsatul anbiya’) (Mustofa, 2023).
- Ulul Al-Bab (Daya Pikir dan Nalar): Kemampuan analitis, sintesis, dan penyelesaian masalah yang kompleks. Ibn Rushd (1190) membela penggunaan nalar dan filsafat sebagai kewajiban syar’i untuk memahami ciptaan Allah. Visi ini diperkuat oleh Al-Faruqi (1982), yang menjadikan Ulul Al-Bab sebagai motor utama dalam proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
- Ulun Naha (Kapasitas Akal Sehat): Kearifan dalam pengambilan keputusan, menjauhi ekstremisme, dan berpegangan pada nilai-nilai kemanusiaan universal. Pemikir kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi (2005) menekankan pentingnya al-Wasathiyyah (moderasi) dalam beragama dan berilmu, yang merupakan manifestasi tertinggi dari akal sehat (Hamid, 2022).
Tiga dimensi ini, daya iman, daya pikir, dan daya aksi adalah prasyarat bagi ICMI untuk memimpin di era knowledge society. ICMI harus menjadi contoh keseimbangan intelektual dan spiritual, jauh dari kesan dogmatis namun tetap kokoh pada nilai (Rahman, 2021).
H. Penutup
Milad ke-35 menjadi penegasan kembali komitmen ICMI pada integrasi IPTEK dan IMTAK. Cendekiawan Muslim tidak boleh hanya menjadi pengekor, melainkan harus tampil sebagai arsitek peradaban digital yang berkeadilan dan bermoral.
Dengan mensinergikan Ulul Ilmi, Ulul Al-Bab, dan Ulun Naha, ICMI siap mengawal Indonesia menuju masa depan emas, di mana kemajuan teknologi seiring sejalan dengan keluhuran etika dan nilai-nilai keimanan (Mulyadi & Hidayat, 2023).
Referensi:
- Abdullah, M. (2021). Islamic thought and civilization in the digital era: A historical perspective. Taylor & Francis.
- Adnan, M. (2022). Closing the digital divide: The role of Islamic social finance. Journal of Islamic Economics and Finance, 6(1), 120-135.
- Alatas, S. A., & Syarifah, S. (2022). Integrasi IPTEK dan IMTAK dalam Pembentukan Karakter Generasi Z. Jurnal Pendidikan Islam dan Teknologi, 3(2), 45-60.
- Al-Bukhari, Z., & Mustofa, K. (2024). Peran ICMI dalam Meneguhkan Integrasi Ilmu dan Iman di Era Disrupsi. Jurnal Intelektual Muslim, 7(1), 1-15.
- Al-Faruqi, I. R. (1982). Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan. IIIT.
- Bakar, O. (1999). The Classification of Knowledge in Islam. Islamic Texts Society.
- Daud, A. (2023). Technology Transfer in Halal Industry: Bridging the Gap for SMEs. Journal of Islamic Business and Management, 13(2), 50-65.
- Hamid, A. (2022). Ulun Naha: The wisdom of sound reasoning in Islamic jurisprudence. International Journal of Islamic Thought, 11(1), 40-55.
- Hasan, S., & Aziz, M. (2024). Technology adoption for poverty reduction in Muslim majority countries. Asian Economic Review, 16(2), 210-225.
- Ibn Khaldun, A. A. (1377/2005). Al-Muqaddimah. Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
- Ibn Rushd, M. A. (1190/2003). Fasl al-Maqal wa Taqrir ma bayn al-Shari’ah wa al-Hikmah min al-Ittisal. Dar al-Nashr.
- ICMI Policy Paper. (2023). Strategi Peningkatan Daya Saing Teknologi Indonesia Menuju 2045. ICMI Research Center.
- Khan, M. A. (2021). Human capital development and Islamic ethics in the age of AI. Journal of Islamic Business and Management, 11(1), 1-18.
- Mohamad, S. S. (2021). The Muslim entrepreneurial spirit in the digital economy: Case studies from Southeast Asia. Journal of Global Entrepreneurship Research, 11(1), 1-15.
- Muhdi, H. (2025). Digitalisasi Pertanian berbasis Nilai Syariah: Solusi Kesejahteraan Petani. Jurnal Ekonomi Syariah dan Digital, 4(1).
- Mulyadi, J., & Hidayat, R. (2023). Kepemimpinan Cendekiawan Muslim dalam Mengawal Indonesia Emas. Cakrawala Ilmu.
- Mustafa, I., Sari, N., & Anwar, F. (2024). Digital Marketing Adoption for Halal UMKM in Indonesia. Journal of Islamic Marketing, 15(3), 500-515.
- Mustofa, A. (2023). Konsep Ulul Ilmi dan Tanggung Jawab Moral Ilmuwan Muslim. Media Pendidikan Islam.
- Nasr, S. H. (1993). Knowledge and the Sacred. State University of New York Press.
- Petersen, M. L. (2021). The moral compass of technology: Bridging faith and innovation. Journal of Global Ethics, 17(1), 1-18.
- Rahman, A. (2021). The Ulul-Albab framework in promoting holistic education in the post-pandemic era. International Journal of Educational Management, 35(7), 890-903.
- Sardar, Z. (1989). Explorations in Islamic Science. Mansell Publishing.
- Snyder, T. J., & Omar, M. H. (2022). Integrating Quranic and scientific understanding: A pedagogical approach for the 21st century. Journal of Islamic Studies and Culture, 10(2), 45-60.
- Wilson, L. T. (2021). Inclusive innovation and sustainable development in emerging economies: A new perspective. World Development, 142, 1-14.
- Yasin, A. M., & Hamid, A. A. (2023). Developing Halal Agritech: A strategic roadmap for Muslim majority countries. Journal of Islamic Marketing, 14(5), 990-1005.
- Yusuf al-Qaradawi. (2005). Al-Wasathiyyah fi al-Islam. Dar al-Shuruq.
- Zulkifli, H. (2021). Ethical technology: Islamic perspective on creating digital products. International Journal of Technology and Ethics, 5(3), 70-85.









