Oleh: Nazarman
Seleksi terbuka eselon dua di Merangin kini bukan lagi dinilai sebagai proses kompetitif. Dugaan publik jauh lebih kuat: selter ini hanya formalitas, sementara nama-nama pemenang sudah dikunci sejak jauh hari. Bahkan sebelum tahapan selesai, prediksi “pemenang” yang disebut mendekati 90 persen akurat telah beredar luas dan ironisnya, terasa lebih meyakinkan daripada proses resmi itu sendiri.
Daftar nama yang diyakini publik bakal keluar sebagai pemenang sudah sangat spesifik:
Afrizal, S.IP., M.Si – Kepala Dinas Dukcapil
Risdiansyah, S.T., M.M – Kepala Dinas PUPR
Eri Hari Wibawa, S.Hut., M.Sc., M.Eng – Kepala Dinas Ketahanan Pangan
Ahmad Khoirudin Agung Saputro, S.IP – Kepala Dinas Kominfo
Daryanto, S.P – Kepala Dinas Nakbun
Mujiburrahman, S.P – Kepala Dinas Pertanian
Sibas A, S.ST – Kepala Dinas Perkim
dr. Irwan Kurniawan – Kepala Dinas Kesehatan
Dr. Misrinadi, S.Pd., M.M – Kepala Dinas Pendidikan
Jaya Kusuma, S.IP., M.A.P – Inspektur Inspektorat
Publik tidak sedang meramal; mereka hanya membaca pola yang makin terang.
Apalagi setelah peristiwa seleksi Sekda: Plt Sekda yang disebut-sebut akan ditetapkan sebagai definitif sudah menempati rumah dinas Sekda dan menggelar syukuran penempatan rumah dinas, meski pelantikan resmi belum dilakukan.
Dalam konteks semacam itu, wajar bila publik menilai selter eselon dua tak lebih dari ritual administratif yang tidak menentukan apa-apa.
Masalah transparansi makin memperparah:
nilai tidak dibuka, metode penilaian tidak dijelaskan, rekam jejak tidak diumumkan, dan alasan memilih pemenang dari tiga besar tidak pernah disampaikan.
Ruang gelap terlalu besar, sementara ruang kepercayaan semakin sempit.
Sebagai proses yang seharusnya menjunjung meritokrasi, selter ini justru bergerak ke arah yang bertolak belakang. Di tengah ketidakjelasan dan dugaan publik yang kian menguat, pemerintah sesungguhnya masih punya kesempatan membuktikan bahwa proses ini bersih. Namun kesempatannya semakin tipis setiap harinya.
Dan jika pada akhirnya hasil selter nanti persis dengan daftar nama yang sejak awal telah beredar, maka satu hal akan menjadi jelas:
Itu bukan bukti bahwa publik jago menebak, melainkan pengakuan tanpa kata bahwa pemerintah sendiri sudah berhenti menghargai makna sebuah seleksi. Pada titik itu, selter bukan lagi proses, tetapi panggung; dan pemerintah bukan memilih pejabat terbaik, melainkan sekadar mengesahkan keputusan lama tanpa berani mengakuinya di hadapan rakyat.***











