A. Pendahuluan: Mengapa Kampus Mengejar “Bintang” tapi Melupakan Ilmu?
Dalam lima tahun terakhir, berbagai studi memperlihatkan gejala aneh di dunia perguruan tinggi. Banyak kampus berlomba mengejar gelar “kampus favorit”, “kampus terpopuler”, hingga “kampus dengan event terbanyak”, sementara jantung kehidupan akademis justru meredup.
Alih-alih memperkuat riset, kualitas dosen, dan budaya ilmiah, mereka justru sibuk membangun gedung megah, membuat event seremonial, dan mengejar pemasukan institusional.
Peter Fleming dalam bukunya Dark Academia: How Universities Die (2021) menyebut fenomena ini sebagai kematian sunyi universitas: institusi tetap berdiri, tapi roh akademiknya mati. Kampus tampak hidup, namun hampa inovasi, moralitas akademik, dan daya cipta ilmu.
Kritik Fleming sejalan dengan analisis Collini (2021) yang menyoroti bagaimana universitas modern berubah menjadi korporasi yang mengejar pasar, bukan pengetahuan. Bahkan sebagaimana diperingatkan Tuchman (2024), kampus hari ini menciptakan “illusion of excellence”, kualitas semu yang tidak tumbuh dari riset, melainkan dari branding.
Fenomena inilah yang menjadi dasar penjabaran enam indikator “kematian universitas”.
B. Enam Indikator Fleming: Matinya Universitas
- Akademia Berubah Menjadi Korporasi
Fleming (2021) menilai universitas telah menjadi perusahaan yang berorientasi laba. Hal yang sama ditegaskan Yudkevich (2020) bahwa perguruan tinggi kini beroperasi seperti pasar, bukan pusat ilmu. Ketika logika bisnis mengambil alih, riset yang membutuhkan kebebasan intelektual, menjadi korban pertama.
- Administrasi Membengkak, Akademisi Mengecil
Trowler (2020) menyebut “administrative capture”: ketika birokrasi kampus lebih kuat dibanding kekuatan ilmuwan di dalamnya. Fleming (2021) menegaskan bahwa pertumbuhan jabatan non-akademis justru menggerus energi kampus, mengubah dosen menjadi petugas administratif, bukan pemikir.
- Budaya Akademis Menyusut
Menurut Collini (2021), kampus kehilangan percakapan ilmiah, kritik, dan tradisi intelektual. Dosen sibuk mengurus laporan, mahasiswa sibuk konten media sosial. Fleming (2021) menyatakan bahwa semakin sedikit ruang bagi “intellectual seriousness”, kesungguhan ilmiah.
- Riset Berubah Menjadi Komoditas
Marginson (2022) menjelaskan bahwa riset kini dikejar bukan demi kebenaran, tetapi demi peringkat, sitasi, dan insentif. Fleming (2021) menyebutnya “metric obsession”. Perguruan tinggi yang mati adalah perguruan tinggi yang hanya mengejar angka.
- Kampus Menghasilkan Lulusan Tanpa Daya Cipta
Menurut Gallardo (2023), banyak kampus gagal membangun keterampilan abad 21 seperti berpikir kritis dan kreativitas. Hal ini membuat lulusan tidak kompetitif, membuktikan hilangnya fungsi inti universitas sebagai intellectual builder (Fleming, 2021).
- Tidak Ada Pembaruan, Tidak Ada Inovasi
Clark (2021) menegaskan bahwa universitas yang stagnan, tidak memperbarui kurikulum, metode riset, atau orientasi akademik, sedang berjalan menuju kematian institusional. Fleming (2021) menyebut stagnasi ini sebagai “silent collapse”.
C. Mengapa Universitas Kelas Dunia Tetap Eksis?
Universitas kelas dunia bertahan karena memiliki tiga pilar kokoh:
- Academic Freedom
Sebagaimana dijelaskan Marginson (2022), kebebasan akademik menjadi sumber utama kemajuan. Universitas seperti MIT dan Oxford mempertahankan otonomi riset dan kebebasan berpikir. - Budaya Riset yang Hidup
Altbach (2020) menyebut bahwa universitas top adalah “research-driven institution”, bukan “event-driven institution”. Mereka mengutamakan laboratorium, publikasi bereputasi, dan kolaborasi global. - Dosen sebagai Pemikir, bukan Pegawai Administrasi
Menurut Hansson (2023), dosen diberi ruang besar untuk meneliti, berdiskusi, dan mencipta teori baru. Di kampus yang sehat secara akademik, struktur birokrasi tidak menekan kehidupan ilmiah.
D. Strategi Membangun Perguruan Tinggi Kelas Dunia di Era Digital
Mengadaptasi Fleming (2021), Marginson (2022), dan Trowler (2020), strategi berikut dapat diterapkan:
- Re-Akademisasi Kampus
a. Fokus pada scholarship:
b. Memperkuat kapasitas dosen
c. Memperbaiki ekosistem riset
d. Menyediakan dana riset kompetitif - Digital-Academic Ecosystem
Gallardo (2023) menunjukkan bahwa kampus masa depan bertumpu pada integrasi riset, teknologi, dan pembelajaran digital secara kreatif, bukan sekadar memindahkan kuliah ke layar. - Governance yang Intelektual, bukan Administratif
Struktur kampus harus meramping, lincah, dan dipimpin oleh akademisi, bukan birokrat (Trowler, 2020). - Global Collaboration
Kemitraan internasional dalam riset, publikasi, dan pertukaran ilmuwan telah terbukti memperkuat kapasitas akademik (Altbach, 2020). - Kurikulum Inovatif dan Responsif
Mengintegrasikan kecerdasan buatan, kewirausahaan ilmiah, dan keterampilan berpikir kritis (Hansson, 2023).
E. Penutup
Peter Fleming (2021) telah memberikan cermin tajam bahwa universitas bisa mati meski gedungnya berdiri megah.
Kematian itu terjadi ketika akademia tidak lagi menjadi ruh kampus. Untuk bangkit, perguruan tinggi Indonesia harus kembali ke jati diri: kebebasan berpikir, budaya ilmiah, riset bermutu, dan inovasi berkelanjutan.
Di era digital dan global, hanya kampus yang berani merawat ilmu dan memuliakan akal yang akan tetap eksis sepanjang zaman.
Referensi:
- Altbach, P. (2020). The Academic Profession in the 21st Century. Oxford University Press.
- Clark, B. (2021). The Higher Education System Revisited. Cambridge University Press.
- Collini, S. (2021). What Are Universities For? Revisited. Penguin.
- Gallardo, J. (2023). Digital Transformation in Higher Education. Routledge.
- Hansson, T. (2023). Academic Work and Leadership in the Digital Age. Springer.
- Marginson, S. (2022). The New Global Higher Education Landscape. University of California Press.
- Trowler, P. (2020). Academic Tribes and Territories in the Modern Era. McGraw-Hill.
- Tuchman, B. (2024). The Mirage of Excellence in Higher Education. Harvard University Press.
- Fleming, P. (2021). Dark Academia: How Universities Die. Pluto Press.
- Yudkevich, M. (2020). Universities in the Market Economy. Routledge.













