JURNAL PUBLIK

Janji Bawa Meteran, DPRD Bungkam Saat Proyek Amburadul di Ujung Tahun Anggaran

×

Janji Bawa Meteran, DPRD Bungkam Saat Proyek Amburadul di Ujung Tahun Anggaran

Sebarkan artikel ini

Editorial: Nazarman

JAMBIDAILY.COM-Di awal tahun, DPRD lantang berjanji akan turun ke lapangan membawa meteran, seolah tak ada satu jengkal pun proyek pemerintah yang akan lolos dari pengawasan. Namun menjelang tutup tahun anggaran, janji itu terdengar seperti gema kosong. Proyek-proyek fisik dikebut, mutu dipertanyakan, keterlambatan menjadi pemandangan umum sementara DPRD memilih bungkam.

Ironinya kian terasa karena suara lantang DPRD kerap muncul bukan saat proyek bermasalah, melainkan ketika pokok-pokok pikiran (pokir) mereka tak diakomodir pemerintah. Di luar urusan itu, terutama di ujung tahun anggaran ketika pekerjaan fisik amburadul di mana-mana, kehadiran DPRD sebagai pengawas nyaris tak terlihat.

Di lapangan, realitas berbicara lebih keras dari pidato. Sejumlah pekerjaan fisik dipaksakan rampung, lebih mengejar waktu ketimbang kualitas, taman dikerjakan kejar tayang, pekerjaan dilakukan hingga malam hari seolah berlomba dengan kalender, bukan dengan standar mutu. Jika di jantung kota saja proyek-proyek hampir dipastikan tak selesai tepat waktu, sulit berharap lain pada pekerjaan yang berada jauh di luar kota.

Situasi ini menjadi semakin serius karena menyangkut dana DAK yang menopang proyek-proyek strategis daerah. Ironisnya, keterlambatan dan mutu yang dipertanyakan bukan hanya berisiko meninggalkan pekerjaan fisik mangkrak, tetapi juga membuka ancaman sanksi dari pemerintah pusat mulai dari pengembalian anggaran hingga tergerusnya alokasi tahun berikutnya. Merangin tak sedang menghadapi soal teknis semata, melainkan potensi konsekuensi fiskal dan reputasi yang jauh lebih besar.

Ujung tahun anggaran adalah fase paling rawan dalam pengelolaan keuangan publik. Di titik inilah kualitas kerap dikorbankan demi serapan, spesifikasi dipermainkan demi progres, dan pengawasan dilepas demi mengejar pencairan. Dalam kondisi seperti ini, DPRD seharusnya hadir paling depan—mengukur, menegur, dan memastikan pekerjaan tak dibayar sebelum memenuhi standar. Yang terjadi justru sebaliknya: pengawasan nyaris tak terlihat.

Diamnya DPRD memperkuat kesan bahwa fungsi pengawasan dijalankan secara selektif. Vokal saat kepentingan politik terganggu, pasif ketika kepentingan publik dipertaruhkan. Jika pola ini terus dibiarkan, DPRD bukan lagi berperan sebagai pengawas, melainkan penonton dalam pengelolaan anggaran daerah.

Pembiaran bukan sikap netral. Ia adalah keputusan politik yang dampaknya langsung dirasakan publik. Kontraktor merasa aman bekerja asal jadi, dinas tak merasa tertekan menjaga mutu, dan masyarakat dipaksa menerima infrastruktur yang cepat rusak namun dibayar lunas.

Uang rakyat termasuk dana transfer pusat bukan dana darurat yang boleh dihabiskan tergesa-gesa demi menutup tahun anggaran. Ia harus dibelanjakan dengan tanggung jawab dan diawasi dengan keberanian. Jika DPRD hanya bersuara saat pokir terpinggirkan, namun bungkam ketika proyek amburadul dan sanksi pusat mengintai, maka publik berhak menarik kesimpulan paling pahit: janji “bawa meteran” hanyalah slogan keras di awal, lenyap di saat paling dibutuhkan.***

Tinggalkan Balasan