Oleh: Prof. Dr. Mukhtar Latif, MPd
(Datuk Rio Tanum Cendikio Agamo, Ketua Badan Diklat LAM Provinsi Jambi)
A. Pendahuluan
Karakter dan budaya merupakan dua pilar fundamental yang membentuk ketahanan suatu masyarakat, umat, dan bangsa. Karakter, yang sering didefinisikan sebagai hasil dari proses pendidikan dan persemaian akhlak, menjadi kompas moral, sementara budaya adalah manifestasi dari pembiasaan kolektif masyarakat yang beradab.
Keduanya memiliki peran vital dalam menjaga, memelihara, meneguhkan, dan menegakkan nilai, norma, kebiasaan, adat istiadat, serta marwah (kehormatan) bagi keberlangsungan sosial. Pilar ini menjadi kekuatan utama lembaga adat untuk mempertahankan identitas. (Hassan, 2021).
Dalam konteks Indonesia, khususnya di Jambi, lembaga adat berperan sebagai garda terdepan dalam menjalankan fungsi ini.
Namun, kehadiran era global dan digital telah membawa keniscayaan perubahan yang masif dan cepat. Globalisasi dan digitalisasi, meskipun menawarkan kemajuan, juga menciptakan kompleksitas problematika dan dinamika budaya yang baru. Teknologi memperluas cakrawala interaksi, namun pada saat yang sama, berpotensi mengikis identitas lokal dan nilai-nilai tradisional.
(Setiawan, 2023). Oleh karena itu, eksistensi dan relevansi lembaga adat makin dirasakan penting, bukan sebagai artefak masa lalu, melainkan sebagai jangkar yang harus hadir dalam setiap tarikan napas masyarakat untuk menjaga keseimbangan antara kemajuan dan kemurnian jati diri.
B. Pilar Karakter dan Budaya Masyarakat Global dan Digital: Eksisting Adat dan Lembaga Adat Melayu Jambi
Masyarakat global dan digital ditandai oleh disrupsi informasi, kecepatan komunikasi, dan interaksi tanpa batas. Dalam arena ini, Lembaga Adat Melayu (LAM) Jambi memiliki peran krusial sebagai eksisting yang menyimpan, menjaga dan melestarikan nilai-nilai luhur. Nilai-nilai seperti “Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah” adalah kerangka filosofis yang menggariskan bahwa perkembangan budaya harus selalu berlandaskan moral dan spiritual. Filosofi ini, yang dijamin keberlangsungannya oleh negara, menjadi benteng moral di tengah arus informasi yang berkembang. (Nakamura, 2023).
Lembaga adat, dalam perspektif global, berfungsi sebagai “penyangga budaya” yang melawan homogenisasi. (Smith, 2021). LAM Jambi, melalui berbagai tradisi adat istiadat, musyawarah adat, dan hukum adat yang tidak tertulis, secara aktif dan dinamis turut berkontribusi membentuk karakter kolektif masyarakat yang menjunjung tinggi etika, gotong royong, dan rasa hormat, serta saling tenggang rasa terhadap pemuka adat, Lembaga dan leluhur yang telah menoreh sejarah panjang dalam adat budaya. Sehingga dengan demikian negara hadir untuk memberikan legitimasi dan Eksistensi LAM, dalam menjaga dan melestarikan hak komunal atau komunitas seperti termaktub dalam Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 2 Tahun 2014 tentang Lembaga Adat Melayu Jambi, dan memberikan legitimasi hukum bagi peran ini, kepada LAM di Provinsi Jambi. Penguatan ini dipertegas oleh Perda Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Melayu Jambi, yang menjadikannya mitra strategis pemerintah dalam pembangunan karakter masyarakat dan bangsa.
C. Pemangku Adat Melayu di Era Global dan Digital: Kompetensi & Karakter Abad ke-21
Pemangku adat, atau yang sering disebut Tetua Adat, bukan hanya penjaga tradisi, melainkan juga pemimpin komunitas yang harus beradaptasi. Di era digital, mereka dituntut memiliki kompetensi abad ke-21, yaitu kemampuan berpikir kritis, kreatif, berkomunikasi, dan berkolaborasi (Feng & Miller, 2024). Pemangku adat hari ini harus mampu menerjemahkan nilai-nilai adat ke dalam bahasa dan konteks yang relevan bagi generasi muda.
Karakter abad ke-21 yang harus dimiliki meliputi integritas digital, adaptabilitas, dan kemampuan memfasilitasi dialog antarbudaya (Gupta, 2022).
Kepemimpinan transformatif adalah kunci, di mana pemangku adat harus menggunakan teknologi untuk mendokumentasikan dan menyebarluaskan adat istiadat, mengubah atau menyesuaikan narasi adat menjadi inklusif. Secara praktis, mereka berperan penting dalam mitigasi disinformasi digital di komunitas, menjaga nilai-nilai adat dari penyebaran informasi yang menyesatkan (Handayani & Wijaya, 2021).
Peran ini juga harus berjalan seiring dengan pemahaman terhadap kerangka hukum modern, seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (dan perubahannya), untuk melindungi marwah adat dari penyalahgunaan di ranah digital.
D. Tantangan dan Peluang Lembaga Adat Menyiapkan Generasi Indonesia Emas
Visi Indonesia Emas 2045 menuntut hadirnya generasi yang unggul dalam sains, teknologi, dan karakter moral.
Tantangan utama yang dihadapi LAM adalah kesenjangan generasi (Generational Gap).
Generasi muda cenderung menginternalisasi nilai-nilai asing dengan cepat (Chen & Lee, 2023). Tantangan lainnya adalah komodifikasi dan erosi Sistem Pengetahuan Adat akibat laju digitalisasi (Johnson, 2022). Fenomena ini memerlukan peran aktif lembaga adat dalam menjaga integritas pengetahuan.
Namun, tantangan ini sekaligus membuka peluang besar. Peluang pertama adalah revitalisasi pendidikan adat berbasis digital. Strategi digital untuk melibatkan pemuda sangat penting untuk menjembatani jurang ini (Kim, 2024). Peluang kedua adalah menjalin kolaborasi global.
Adat Melayu Jambi dapat dipromosikan sebagai warisan budaya dunia melalui platform internasional, sejalan dengan arahan UNESCO (2023) tentang budaya, digitalisasi, dan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2021 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Kebudayaan dan Perda Nomor 5 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Perda No. 7 Tahun 2013, memberikan landasan hukum dan kebijakan untuk mengintegrasikan kurikulum adat ke dalam sistem pendidikan, memastikan generasi berkarakter kuat, mampu bersaing di kancah global tanpa kehilangan akar budaya lokalnya (Dharmawan & Adnan, 2022).
E. Penutup
Membangun masyarakat yang berkarakter dan berbudaya di era global dan digital adalah sebuah keniscayaan yang harus dilakukan melalui kolaborasi sinergis antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga adat.
Lembaga Adat Melayu Jambi tidak boleh dilihat sebagai museum, tetapi sebagai pusat inkubasi karakter dan budaya yang dinamis.
Dengan berpegangan teguh pada filosofi dasar adat, serta mengadopsi kompetensi dan karakter abad ke-21, para pemangku adat akan mampu menjembatani masa lalu dan masa depan. Keberhasilan adat dan lembaga adat dalam menanamkan nilai-nilai luhur akan menjadi penentu utama dalam mewujudkan Generasi Indonesia Emas yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual yang seimbang, sekaligus menjaga kohesi sosial (Wang, 2024).
Referensi:
1. Chen, L., & Lee, S. (2023). Digital Natives and Cultural Transmission: The Role of Social Media in Identity Formation. Global Cultural Studies Journal, 15(1), 101-118.
2. Dharmawan, E., & Adnan, F. (2022). Implementasi Nilai Adat Melayu dalam Penguatan Karakter Generasi Muda Jambi. Jurnal Pengabdian Masyarakat Kebudayaan, 6(3), 11-25.
3. Feng, Y., & Miller, J. (2024). Indigenous Governance and Digital Transformation: A Global Synthesis. Cambridge University Press.
4. Gupta, R. (2022). Ethical Leadership in Traditional Communities: Navigating Global Values. Journal of Ethics and Governance, 8(2), 55-70.
5. Handayani, L., & Wijaya, I. (2021). Peran Tokoh Adat dalam Mitigasi Disinformasi Digital di Komunitas Pedesaan. Jurnal Komunikasi dan Masyarakat, 15(1), 45-60.
6. Hassan, K. (2021). Character Education in Southeast Asian Contexts: Challenges and Opportunities. Routledge.
7. Johnson, T. (2022). The Impact of Digitalization on Indigenous Knowledge Systems. Journal of Cultural Preservation, 8(4), 101-115.
8. Kim, S. Y. (2024). Bridging the Generational Gap in Cultural Heritage: Digital Strategies for Youth Engagement. International Review of Heritage Studies, 30(1), 12-25.
9. Kusumawati, R. (2024). Relevansi Hukum Adat di Era Digital: Studi Kasus Lembaga Adat di Sumatera. Penerbit Pustaka Nusantara.
10. Nakamura, S. (2023). Cultural Identity Negotiation in the Global South: Media and Traditional Values. South East Asian Journal of Sociology, 15(1), 22-40.
11. Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2021 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Kebudayaan.
12. Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 2 Tahun 2014 tentang Lembaga Adat Melayu Jambi.
13. Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 5 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Melayu Jambi.
14. Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Melayu Jambi.
15. Setiawan, B. (2023). Adat dan Kearifan Lokal Sebagai Pilar Ketahanan Bangsa (Edisi Kedua). Lembaga Ketahanan Nasional.
16. Smith, R. K. (2021). The Cultural Buffer: Indigenous Institutions in the Face of Globalization (Revised Edition). Oxford University Press.
17. Tim Peneliti Pusat Studi Melayu. (2022). Transformasi Sosial Budaya Melayu di Tengah Arus Globalisasi. Pusat Studi Melayu.
18. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (dan perubahannya).
19. UNESCO. (2023). Culture, Digitalization, and Sustainable Development Goals. UNESCO Publishing.
20. Wang, Z. (2024). Social Cohesion and Local Wisdom: A Comparative Study. Asian Review of Political Sociology, 10(1), 5-21.













