Oleh: Nazarman
JAMBIDAILY.COM-Pengakuan rekanan bahwa keterlambatan proyek terjadi karena “terlalu banyak paket yang dikerjakan” seketika menggeser persoalan dari sekadar masalah teknis menjadi pertanyaan yang lebih mendasar: adakah relasi kuasa di balik penguasaan proyek jalan di Merangin? Dalam perspektif hukum pengadaan, kondisi itu bukan anomali biasa, melainkan indikasi awal adanya pola—pola penguasaan paket yang tak mungkin lahir tanpa ruang kekuasaan yang membiarkannya tumbuh.
Ketika satu kendali menguasai banyak paket pekerjaan melalui perusahaan berbeda, hukum tidak lagi membacanya sebagai kegagalan manajemen semata. Ia melihat pola penguasaan. Dan pola semacam ini hampir mustahil berkembang tanpa pembiaran, perlindungan, atau tekanan struktural di level teknis. Di titik inilah proyek jalan berhenti menjadi urusan konstruksi, dan berubah menjadi cermin relasi kuasa.
Persaingan Usaha yang Dikunci oleh Kuasa
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 secara tegas melarang praktik monopoli dan persekongkolan tender. Namun hukum persaingan juga mengakui satu realitas penting: pasar bisa dikunci bukan hanya oleh modal dan kapasitas, tetapi oleh kedekatan dengan kekuasaan.
Jika satu aktor mampu mengendalikan banyak perusahaan, memenangkan banyak paket, dan tetap bertahan meski proyek molor serta kapasitas dipertanyakan, maka persaingan tidak mati karena pelaku lain tidak mampu. Persaingan mati karena tidak diberi ruang. Dalam kondisi seperti ini, perusahaan tak lagi berdiri sebagai entitas usaha yang independen, melainkan menjelma perpanjangan tangan dari jejaring relasi kuasa.
Di sinilah mandat KPPU seharusnya bekerja lebih jauh: tidak berhenti pada struktur kepemilikan formal, tetapi menelusuri jaringan relasi yang membuat satu kendali selalu aman dari sanksi, bahkan ketika kegagalan proyek berulang.
Pengadaan dan Ketimpangan Kekuasaan
Perpres Nomor 16 Tahun 2018 jo. Perpres 12 Tahun 2021 memberi kewenangan tegas kepada PPK dan PPTK untuk menjatuhkan sanksi, memutus kontrak, hingga memasukkan penyedia ke daftar hitam ketika terbukti tidak berkapasitas. Namun dalam praktik, kewenangan formal itu sering berhadapan dengan ketimpangan kekuasaan.
Ketika proyek bermasalah tidak diputus, denda dinegosiasikan, dan masa kontrak terus diperpanjang, persoalannya bukan lagi apakah aturan tersedia, melainkan siapa yang lebih kuat dari aturan tersebut. Di titik ini, relasi kuasa bekerja—tanpa surat resmi, tanpa notulen rapat, tetapi sangat menentukan arah kebijakan teknis.
Pengakuan pejabat teknis bahwa proyek “tetap dikerjakan sampai detik terakhir” meski kapasitas penyedia bermasalah, menunjukkan bagaimana kontrak berubah fungsi: dari instrumen penegakan hukum menjadi alat kompromi.
Tipikor dan Pembiaran yang Terstruktur
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tidak hanya menghukum perbuatan aktif, tetapi juga pembiaran yang dilakukan secara sadar. Ketika proyek dibiarkan berjalan meski persoalannya terang, laporan progres tak sejalan dengan fakta lapangan, dan fungsi pengawasan melemah, maka unsur kerugian negara patut diuji secara serius.
Dalam konteks ini, tanggung jawab tidak berhenti pada rekanan. Ia bisa merembet ke PPK, PPTK, konsultan pengawas, bahkan pimpinan OPD, apabila terbukti mengetahui adanya masalah namun memilih diam atau berkompromi.
Penutup
Ketika satu pengakuan membuka fakta tentang terlalu banyak paket dalam satu kendali, dan fakta itu dibiarkan berulang tanpa koreksi, maka persoalannya bukan lagi sekadar satu proyek infrastruktur lokal.
Persoalannya adalah negara yang sedang diuji:
berpihak pada hukum, atau tunduk pada kuasa.
Dan jika negara memilih diam, publik berhak mencatatnya—bukan sebagai kelalaian biasa, melainkan sebagai bagian dari masalah itu sendiri.***













