Oleh: Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd (Datuk Rio Tanum Cendikio Agamo)
A. Pendahuluan
Mengapa masyarakat Melayu di seluruh dunia berpantun? Pertanyaan ini tidak sekadar menggali tradisi sastra, melainkan menyentuh inti ontologis keberadaan bangsa Melayu.
Pantun bukan hanya sekadar susunan kata yang tersusun indah, melainkan sebuah dialektika yang mempertemukan suara hati (dimensi emosional-spiritual) dengan adab (dimensi sosial-etik).
Dalam kosmologi Melayu, mengungkapkan perasaan secara telanjang dianggap kurang santun dan berisiko merusak harmoni sosial. Oleh karena itu, pantun hadir sebagai media diplomasi estetik, yang memungkinkan kebenaran disampaikan tanpa melukai.
Budaya pantun tumbuh dan berkembang sejak masa pra-Islam sebagai tradisi lisan masyarakat Austronesia, yang kemudian mengalami kristalisasi menjadi peradaban dunia seiring dengan peran bahasa Melayu sebagai lingua franca maritim.
Meskipun sejarah tidak mencatat individu tunggal sebagai penciptanya, tokoh-tokoh intelektual istana seperti Tun Sri Lanang dalam Sulalatus Salatin adalah yang pertama kali secara sistematis memperkenalkan dan mengkodifikasi pantun ke dalam literatur formal sebagai identitas kelas tinggi dan rakyat jelata (Haji Salleh, 2020).
Pantun kini bukan lagi milik lokal, melainkan warisan dunia yang diakui UNESCO sebagai simbol kearifan universal.
B. Sejarah dan Konsep Pantun di Dunia Melayu
Sejarah pantun adalah catatan tentang kecerdasan kolektif dalam membaca alam. Konsep utama pantun terletak pada dualitas yang tak terpisahkan: Sampiran dan Isi. Sampiran adalah cerminan dari pengamatan tajam manusia Melayu terhadap fenomena alam, sedangkan Isi adalah manifestasi dari pesan moral dan suara batin (Derks, 2021).
Hubungan antara keduanya mencerminkan filosofi “Alam Terkembang Jadi Guru,” di mana setiap gerak alam dianggap memiliki korelasi dengan nasib dan perilaku manusia.
Secara epistemologis, pantun menuntut ketajaman berpikir dan kecepatan respons. Arps (2021) menyatakan bahwa struktur pantun yang matematis tersusun indah bersilang, (A-B-A-B, atau ada juga A-A, A-A. Dilihat dari struktur baris ada yang menggunakan 4 baris, 5 baris bahkan hingga 8 baris model gurindam Melayu. Inilah pantun yang memaksa penuturnya untuk melakukan pemetaan logis sebelum pesan disampaikan. Pada abad ke-15, pantun telah menjadi alat diplomasi yang krusial di Selat Melaka.
Para raja dan sultan menggunakannya untuk bernegosiasi dengan kekuatan asing (Portugis, Belanda, Inggris) demi menjaga kedaulatan dengan cara yang elegan. Inilah yang menjadi fondasi bagi terbentuknya peradaban Melayu yang inklusif namun tetap memegang teguh jati diri.
C. Jenis-jenis Pantun dalam Masyarakat Melayu
Masyarakat Melayu mengklasifikasikan pantun berdasarkan fungsi sosial dan siklus kehidupan, di mana setiap jenisnya wajib mematuhi kaidah susunan katanya, berikut pantun Melayu model susunan A-B-A-B yang presisi:
1. Pantun Adat dan Lembaga
Berfungsi sebagai tiang penyangga hukum tidak tertulis dan menjaga tatanan sosial agar tetap stabil (Ishak, 2022).
Lebat bunga pohon selasih
Tumbuh mekar di dalam taman
Tanda orang berhati bersih
Adat dijaga sepanjang zaman
2. Pantun Agama dan Sufisme
Medium untuk internalisasi nilai-nilai ketauhidan dan hubungan antara hamba dengan Khalik (Rahman, 2020).
Banyak ikan di dalam laut
Jaring ditarik di waktu malam
Tanda hamba ingat maut
Sujud syukur pada Tuhan
3. Pantun Nasihat dan Edukasi
Instrumen pedagogis untuk membentuk karakter generasi muda tanpa kesan menggurui (Latif, 2023).
Kayu jati di dalam hutan,
Tempat hinggap burung tempua
Ilmu dicari jadi panutan
Bekal berharga di hari tua
4. Pantun Kasih Sayang
Representasi kejujuran suara hati dalam bingkai kesantunan yang terjaga (Ahmad & Hassan, 2022).
Dari mana punai melayang
Dari sawah turun ke padi
Dari mana datangnya sayang
Dari mata turun ke hati
5. Pantun Jenaka dan Kritik Sosial
Cara cerdas menertawakan ketidakwajaran tanpa menciptakan dendam atau permusuhan (Ghouse, 2023).
Anak rusa di atas bukit
Dipanah oleh Raja Muda
Sakit perut menahan sakit
Melihat kera naik sepeda
D. Tujuan dan Hakikat Masyarakat Melayu Berpantun
Hakikat dari tradisi berpantun adalah pencapaian Keselarasan Batin. Terdapat tiga tujuan utama yang melatarbelakangi mengapa masyarakat Melayu berpantun di panggung dunia Melayu, antaranya:
- Manajemen Konflik dan Diplomasi: Pantun berfungsi sebagai “katup penyelamat” dalam interaksi sosial. Ia memungkinkan kritik tajam disampaikan melalui metafora, sehingga wajah (face) lawan bicara tetap terjaga. Ini adalah bentuk soft power yang sangat relevan dalam hubungan internasional modern (Yusoff & Md. Zain, 2023).
- Literasi Ekologis dan Pelestarian Alam: Karena sampiran wajib mengambil unsur alam, pantun secara tidak langsung mencatat kekayaan flora dan fauna Nusantara. Tanpa alam yang lestari, manusia Melayu akan kehilangan kosa kata untuk sampirannya (Wan Yahya, 2022).
- Intelektualitas yang Beradab: Pantun melatih otak untuk berpikir cepat secara asosiatif. Kemampuan menyusun pantun secara spontan adalah indikator kecerdasan tinggi yang harus dibarengi dengan kerendahan hati. Di tengah gempuran komunikasi digital yang seringkali kasar, pantun menawarkan model komunikasi yang “sejuk” dan reflektif (Jamil, 2024).
E. Penutup
Dialektika pantun antara suara hati dan adab adalah bukti nyata keunggulan peradaban Melayu. Pantun membuktikan bahwa bangsa Melayu adalah bangsa yang memuja keindahan namun tetap menjunjung tinggi kebenaran. Ia adalah warisan yang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan.
Sebagai penutup, penting bagi kita untuk menyadari bahwa melestarikan pantun berarti melestarikan cara hidup yang manusiawi dan berbudaya. “Takkan Hilang Melayu di Bumi” adalah sebuah janji, bahwa selama susunan kata yang indah masih berpadu dihati, dan adab masih dijunjung, maka jati diri Melayu akan terus menyinari peradaban dunia. (Karim, 2021).
Referensi:
- Ahmad, N., & Hassan, R. (2022). The Aesthetics of Malay Pantun in Modern Literature. Oxford University Press.
- Al-Attas, S. M. N. (2020). Historical Fact and Fiction: The Malay Archipelago. Casis.
- Arps, B. (2021). Global Poetics: The Spread of Oral Traditions in Southeast Asia. Routledge.
- Derks, W. (2021). The Feast of Storytelling: On Malay Literature and Pantun. Brill.
- Ding, C. C. (2019). Malay Manuscripts: A Guide to Pantun Traditions. National Library Board.
- Ghouse, M. N. (2023). Socio-Cultural Dynamics of Malay Archipelago. Cambridge University Press.
- Haji Salleh, M. (2020). The Genealogy of Malay Pantun: From Orality to UNESCO. University of Malaya Press.
- Ibrahim, F., & Ali, M. (2021). Linguistic Structures in Austronesian Poetry. Journal of World Languages.
- Ishak, M. S. (2022). Ethics and Adab in Malay Oral Traditions. Springer.
- Jamil, A. (2024). Digital Humanities: Preserving the Pantun. Tech & Culture Journal.
- Karim, W. J. (2021). Malay Cultural Heritage in a Globalized World. Palgrave Macmillan.
12. Latif, M. (2023). Education and Character Buildi ng through Local Wisdom. International Journal of Pedagogy.
- Md. Zain, M. (2022). The Philosophy of Sampiran and Isi. Asian Folklore Studies.
- Mohamad, M. (2023). Malay Identity and the Art of Diplomacy. Harvard Cultural Review.
- Noordin, N. (2021). Oral Traditions and National Identity in Southeast Asia. Routledge.
- Omar, A. H. (2022). The Evolution of Malay Grammar and Poetic Forms. Leiden University Press.
- Rahman, S. (2020). Spirituality in Malay Literature. Islamic World Press.
- Shamsul, A. B. (2021). Identity Contestation in the Malay World. ISEAS Publishing.
- Wan Yahya, W. R. (2022). Metaphorical Landscapes in Malay Poetry. Journal of Literary Theory.
- Yusoff, N., & Md. Zain, S. (2023). Pantun as a Soft Power Tool in Malay Diplomacy. Global Culture & Society.













