Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat Kebijakan Publik dan Dosen)
PETA kekuatan ekonomi Sumatera memperlihatkan satu pola yang konsisten, pertumbuhan dan akumulasi nilai ekonomi terkonsentrasi pada kota-kota yang memiliki fungsi ekonomi tegas dan terintegrasi.
Peta ekonomi di Sumatera masih menampilkan lima kekuatan ekonomi yang tersebar Kota Medan, Batam, Palembang, Pekanbaru, dan Bandar Lampung sebagai lokomotif pertumbuhan yang mampu mengonsolidasikan perdagangan, industri, jasa, dan logistik dalam satu ekosistem yang saling menguatkan.
Bicara kekuatan ekonomi Kota Medan berada di posisi teratas dengan nilai ekonomi sekitar Rp245 triliun. Kota ini bukan hanya ibu kota provinsi, tetapi pusat perdagangan dan jasa regional Sumatera bagian utara. Struktur ekonominya didominasi sektor tersier bernilai tambah tinggi seperti perdagangan besar, jasa keuangan, transportasi, pendidikan, dan kesehatan. Aktivitas swasta menjadi penggerak utama, menjadikan Medan sebagai kota komando ekonomi yang memengaruhi wilayah di sekitarnya.
Lalu, kota Batam menyusul dengan kekuatan ekonomi sekitar Rp165 triliun, menampilkan wajah Sumatera yang berbeda. Batam adalah kota industri manufaktur berorientasi ekspor, ditopang Kawasan Ekonomi Khusus, kepastian regulasi, dan integrasi dengan rantai pasok global melalui Singapura. Porsi industri pengolahan yang besar menjadikan Batam unggul bukan karena konsumsi domestik, melainkan karena produksi dan nilai tambah.
Kemudian ada Kota Palembang, dengan nilai sekitar Rp155 triliun, menunjukkan kekuatan pada industri pengolahan dan energi. Posisi strategis di Sungai Musi serta dukungan infrastruktur jalan tol lintas Sumatera memperkuat perannya sebagai simpul ekonomi Sumatera bagian selatan. Palembang tidak hanya menjadi jalur distribusi, tetapi juga lokasi pengolahan komoditas, sehingga nilai tambah ekonomi lebih banyak tertahan di wilayah kota.
Terakhir, Pekanbaru dan Bandar Lampung melengkapi lima besar dengan fungsi yang sama-sama jelas.
Pekanbaru bertumpu pada sektor jasa, perdagangan, dan komoditas strategis seperti migas dan perkebunan, sementara Bandar Lampung berperan sebagai gerbang logistik utama Sumatera–Jawa.
Keduanya menegaskan bahwa kota dengan kejelasan peran akan tumbuh meskipun tidak sebesar Medan atau Batam.
Di luar lingkaran itu, Provinsi Jambi sebenarnya memiliki kekuatan ekonomi yang besar jika dilihat secara agregat di 11 Kabupaten Kota, namun belum terkonsolidasi dalam satu pusat pertumbuhan yang dominan.
Jika peta ini diperluas ke Provinsi Jambi, muncul paradoks yang menarik.
Secara agregat, total PDRB seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Jambi pada 2024 mencapai sekitar Rp322,98 triliun.
Secara nominal, angka ini melampaui nilai ekonomi satu kota besar seperti Medan.
Namun kekuatan tersebut tersebar di sembilan kabupaten dan dua kota, tanpa satu pusat yang benar-benar berfungsi sebagai penggerak utama ekonomi regional.
Di dalam Provinsi Jambi sendiri, produktivitas ekonomi antar wilayah tidak merata.
Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur mencatat PDRB per kapita tertinggi, didorong sektor komoditas dan aktivitas ekspor primer. Kota Sungai Penuh, Muaro Jambi, dan Batang Hari juga menunjukkan produktivitas relatif kuat. Sebaliknya, Kota Jambi sebagai ibu kota provinsi justru berada pada lapisan menengah.
Struktur ekonominya masih didominasi perdagangan eceran, jasa konsumtif, dan aktivitas pemerintahan, dengan kontribusi industri pengolahan dan logistik yang terbatas.
Kondisi ini menunjukkan bahwa Provinsi Jambi memiliki “pulau-pulau kekuatan ekonomi” yang berdiri sendiri, tetapi belum terhubung dalam satu sistem nilai tambah yang utuh. Komoditas unggulan seperti sawit, karet, dan batubara sebagian besar mengalir keluar provinsi tanpa proses hilirisasi berarti di Kota Jambi.
Akibatnya, nilai tambah dan efek pengganda ekonomi lebih banyak dinikmati wilayah lain di luar Jambi.
Berbeda dengan Medan, Batam, dan Palembang yang tumbuh melalui konsentrasi fungsi ekonomi, Jambi tumbuh secara horizontal dan terfragmentasi. Secara total, ekonominya besar, tetapi secara struktural lemah karena tidak terpusat.
Kota Jambi belum berperan sebagai pusat jasa regional, pusat industri pengolahan, maupun hub logistik Sumatera bagian tengah.
Peta ini menegaskan bahwa kekuatan ekonomi tidak semata ditentukan oleh besarnya angka PDRB, melainkan oleh kemampuan sebuah wilayah mengonsolidasikan peran dan fungsi ekonominya.
Kota-kota besar Sumatera unggul karena fokus dan integrasi. Provinsi Jambi unggul secara agregat, tetapi tertinggal secara struktur.
Selama Kabupaten Kota di Provinsi Jambi belum bertransformasi menjadi simpul nilai tambah yang menghubungkan seluruh kabupaten dan Kota, Provinsi Jambi, namun belum menyusul sebagai pusat pertumbuhan ekonomi Sumatera.
Ini Fakta, kita bukan pusat pertumbuhan ekonomi di region Sumatera sekalipun.***














