banner 120x600
banner 120x600
JURNAL PUBLIK

Proyek Jalan Gagal, Kebocoran Tata Kelola Tak Boleh Dibiarkan

×

Proyek Jalan Gagal, Kebocoran Tata Kelola Tak Boleh Dibiarkan

Sebarkan artikel ini

Oleh: Nazarman

Pemutusan kontrak dua proyek jalan di Kecamatan Muara Siau semestinya tidak dibaca sebagai peristiwa biasa. Ini bukan sekadar cerita kontraktor gagal bekerja lalu negara menghentikan kontrak. Lebih dari itu, kasus ini kembali membuka kebocoran tata kelola yang justru mencuat pada tahun pertama kepemimpinan Bupati Merangin, ketika ekspektasi publik terhadap perubahan sedang berada di titik tertinggi.

Dua paket pekerjaan bernilai hampir Rp2 miliar, dikerjakan dalam satu kendali meski menggunakan nama perusahaan berbeda, sama-sama berakhir gagal. Fakta ini seharusnya menjadi alarm keras. Ketika pola kegagalan muncul serempak pada proyek yang berbeda, persoalannya tidak lagi bisa disederhanakan sebagai kendala teknis lapangan, melainkan cacat sistemik dalam perencanaan, pemilihan rekanan, dan pengawasan.

Persoalan ini kian serius karena terungkap bahwa satu kendali rekanan mengerjakan banyak proyek jalan di lokasi berbeda, meski menggunakan nama perusahaan yang berlainan. Akumulasi paket pada pelaku yang sama membuka celah dominasi, melemahkan persaingan sehat, dan membuat kegagalan berulang menjadi risiko yang sebenarnya bisa diprediksi.

Dalam kerangka regulasi pengadaan barang dan jasa, pemerintah daerah tidak hanya berperan sebagai pemberi kerja, tetapi juga penanggung jawab utama atas mutu, ketepatan waktu, dan penggunaan uang publik.

Pemutusan kontrak memang sah secara administratif. Namun keputusan itu datang di ujung proses, ketika jalan sudah terlanjur rusak, waktu sudah habis, dan masyarakat sudah menanggung kerugian.

Pertanyaan paling mendasar justru berada jauh sebelum kegagalan terjadi: bagaimana rekanan dipilih, bagaimana beban kerja dinilai, dan bagaimana pengawasan dijalankan sejak hari pertama kontrak ditandatangani? Ketika satu kendali mengerjakan banyak paket sekaligus, risiko kegagalan seharusnya dapat terbaca dan dicegah sejak awal.

Yang lebih memprihatinkan, hingga kini publik belum memperoleh kejelasan menyeluruh tentang berapa besar progres fisik yang dibayarkan, berapa dana negara yang ditahan, serta sanksi apa yang benar-benar dikenakan kepada rekanan. Tanpa transparansi, pemutusan kontrak berpotensi hanya menjadi formalitas administratif, sementara pola lama terus berulang.

Di sisi lain, warga Muara Siau telah membayar mahal kegagalan tata kelola ini. Jalan yang diharapkan menjadi penggerak ekonomi dan akses pelayanan publik justru berubah menjadi simbol keterlambatan dan pembiaran. Kerugian masyarakat tidak semata diukur dari nilai kontrak, tetapi juga dari waktu, akses, dan kepercayaan yang hilang.

Kasus ini seharusnya menjadi momentum koreksi menyeluruh bagi DPUPR Merangin dan pemerintah daerah. Evaluasi tidak boleh berhenti pada kontraktor semata, tetapi harus menyentuh mekanisme pengadaan, kapasitas pengawasan, serta keberanian mengambil keputusan korektif sejak dini.

Jika tidak, proyek boleh saja diputus dan kontrak bisa saja berganti, tetapi kebocoran tata kelola akan terus mengalir—menelan anggaran demi anggaran dan meninggalkan jalan-jalan rusak sebagai saksi bisu kegagalan yang tak pernah benar-benar diperbaiki. (*)

Tinggalkan Balasan