Oleh: Prof. Dr. Mukhtar Latif, MPd. (Guru besar UIN STS Jambi)
A. Pendahuluan
Pergantian tahun dalam perspektif peradaban, bukanlah sekadar pergeseran angka pada kalender, melainkan sebuah jeda eksistensial yang menuntut refleksi mendalam.
Rasulullah SAW sangat peduli terhadap transisi waktu karena di sanalah terletak rahasia keberuntungan atau kerugian seorang hamba, sebagaimana peringatan beliau bahwa dua nikmat yang sering dilupakan manusia adalah kesehatan dan waktu luang (HR. Bukhari).
Kepedulian Rasulullah ini bertujuan agar manusia tidak terjebak dalam kelalaian, selaras dengan perintah untuk memanfaatkan masa muda sebelum masa tua (HR. Al-Hakim).
Dalam pandangan agama dan peradaban, momentum ini adalah simbol pembaruan, namun bagi Gen Z di era digital, tantangannya jauh lebih berat.
Tariq Ramadan (2009) berpendapat bahwa di tengah arus informasi, manusia harus mampu melakukan reformasi etika agar tidak kehilangan jati diri.
Secara budaya, pergantian tahun adalah ritual kolektif, namun secara spiritual, ia adalah ruang untuk menarik diri dari kebisingan dunia.
Pakar seperti S.H. Nasr (2002) mengingatkan bahwa peradaban modern yang mengabaikan dimensi sakral waktu hanya akan melahirkan kecemasan eksistensial, terutama bagi generasi muda yang terpaku pada layar digital.
B. Kedalaman Rasa: Dialektika Sufi Klasik terhadap Waktu
Para sufi memandang waktu sebagai dimensi sakral untuk berinteraksi dengan Sang Khalik.
Al-Ghazali (1111) dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa waktu adalah modal dasar manusia, di mana setiap detik yang terbuang tanpa zikir adalah kerugian yang tak terukur.
Hal ini diperkuat oleh Ibnu Ata’illah al-Iskandari (1309) dalam Al-Hikam yang menyatakan bahwa menunda amal saleh demi menantikan waktu luang adalah tanda dari kerendahan jiwa. Dari sisi lain, Al-Qushayri (1072) menyebutkan bahwa seorang sufi harus menjadi “anak waktu”, yang mampu menempatkan kewajiban sesuai momentumnya.
Abdul Qadir al-Jilani (1166) dalam Futuh al-Ghaib mengajarkan bahwa perubahan tahun adalah ajakan untuk melepaskan keterikatan pada makhluk dan memperkuat sandaran pada Tuhan. Ibn Arabi (1240) melihat waktu sebagai cermin dari pembaruan penciptaan yang terjadi terus-menerus.
Sementara itu, Maulana Rumi (1273) mengajak manusia untuk membasuh diri dari debu masa lalu dan melangkah dengan cinta baru.
Suhrawardi (1234) menekankan pentingnya adab dalam menghadapi pergantian hari, sedangkan Ibn al-Qayyim (1350) dalam Madarij al-Salikin memandang waktu sebagai ruang perniagaan akhirat yang paling berharga.
Terakhir, Al-Hujwiri (1077) mengingatkan bahwa kesucian batinlah yang menentukan apakah waktu seseorang itu berkah atau justru menjadi beban.
C. Perspektif Global: Analisis Pakar Kontemporer
Pakar kontemporer memberikan kerangka kritis terhadap cara manusia modern menyikapi waktu. William Chittick (2007) berargumen bahwa sains modern telah mereduksi waktu menjadi sekadar angka mekanis, yang mengakibatkan jiwa manusia kehilangan “ruang” untuk bernapas. S.H. Nasr (1993) menambahkan bahwa krisis dunia modern berakar dari pengabaian terhadap ilmu sakral yang memandang waktu sebagai milik Ilahi.
Dalam konteks psikologi spiritual, Abdal Hakim Murad (2008) melihat bahwa ketenangan hanya bisa dicapai jika manusia mampu menyinkronkan ritme hidupnya dengan ritme kosmik yang Tuhan tetapkan.
Annemarie Schimmel (1975) dalam studinya menunjukkan bahwa dalam tradisi Islam, pergantian waktu selalu berkaitan dengan harapan akan rahmat-Nya.
Martin Lings (1975) menekankan bahwa di tengah modernitas, esensi tasawuf tetap menjadi jangkar bagi manusia agar tidak terseret arus.
Karen Armstrong (2009) melihat praktik spiritual sebagai usaha kerja keras manusia untuk mencari makna di balik kefanaan waktu. Penutup analisis ini dilengkapi oleh S.H. Nasr (2002) yang menekankan bahwa kebahagiaan sejati di akhir tahun bukan terletak pada perayaan materi, melainkan pada kedamaian hati yang telah berdamai dengan takdir-Nya.
D. Sintesis: Navigasi Gen Z di Rimba Digital
Menyatukan kearifan masa lalu dengan realitas Gen Z saat ini menghasilkan konsep “Digital Muhasabah”. Di era di mana waktu terasa berjalan lebih cepat karena disrupsi teknologi, pandangan para sufi tentang kehadiran hati (hudur al-qalb) menjadi sangat relevan.
Gen Z perlu menggunakan teknologi bukan sebagai alat pelarian, melainkan sebagai media untuk mengamplifikasi kebaikan.
Sinergi antara “High-Tech” dan “High-Soul” adalah kunci agar pergantian tahun tidak hanya berakhir sebagai tren media sosial, melainkan transformasi batin yang nyata menuju peradaban yang lebih bermartabat.
E. Penutup
Sebagai penutup, kepedulian Rasulullah SAW terhadap waktu adalah fondasi bagi setiap mukmin untuk selalu berada dalam kondisi sadar (mindful).
Melalui bimbingan para sufi klasik dan analisis kritis para pakar kontemporer, kita diajak untuk melihat pergantian tahun sebagai gerbang menuju pendewasaan spiritual.
Waktu adalah anugerah sekaligus ujian; ia bisa menjadi jembatan menuju Tuhan atau justru menjadi dinding yang memisahkan.
Semoga setiap detik di tahun yang baru menjadi saksi atas ikhtiar kita dalam memperbaiki diri dan menebar manfaat bagi sesama.
Referensi:
1. Al-Ghazali. (1111). Ihya’ Ulum al-Din. Cairo: Dar al-Ma’arif.
2. Al-Hujwiri, A. B. (1077). Kashf al-Mahjub. (Trans: R.A. Nicholson). London: Luzac & Co.
3. Al-Iskandari, I. A. (1309). Al-Hikam. Damascus: Dar al-Fikr.
4. Al-Jilani, A. Q. (1166). Futuh al-Ghaib. London: Watkins Publishing.
5. Al-Qushayri, A. K. (1072). Al-Risala al-Qushayriyya. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
6. Armstrong, K. (2009). The Case for God. New York: Knopf.
7. Chittick, W. C. (2007). Science of the Cosmos, Science of the Soul. Oxford: Oneworld.
8. Ibn al-Qayyim al-Jawziyya. (1350). Madarij al-Salikin. Riyadh: Dar Taybah.
9. Ibn Arabi, M. (1240). Al-Futuhat al-Makkiyya. Cairo: Bulaq Press.
10. Lings, M. (1975). What is Sufism?. London: George Allen & Unwin.
11. Murad, A. H. (2008). Commentaries on the Eleventh Contentions. Cambridge: Quilliam.
12. Nasr, S. H. (1993). The Need for a Sacred Science. Albany: SUNY Press.
13. Nasr, S. H. (2002). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. New York: HarperOne.
14. Ramadan, T. (2009). Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation. Oxford: Oxford University Press.
15. Schimmel, A. (1975). Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press.















