Catatan Dewan Juri Festival Teater Monolog 2020
5 min readOleh: Putra Agung
Pekan lalu (12-14 Oktober 2020), saya bersama Bang EM Yogiswara (sastrawan Jambi) dan Babe Rachman Sabur (dosen dan juga calon guru besar dari ISBI Bandung) diamanahkan oleh Taman Budaya Jambi untuk menjadi juri Festival Monolog 2020.
Selama tiga hari, kami bertiga menyaksikan, mengamati dan menilai pertunjukan monolog yang ditampilkan oleh 33 peserta berdasarkan sejumlah karya pilihan dari Putu Wijaya.
Ketiga puluh tiga peserta berasal tak hanya dari Kota Jambi, melainkan juga datang dari Kabupaten Muaro Jambi, Merangin, Bungo, Tanjab Barat dan Tanjab Timur. Lebih mengejutkan lagi, ada salah seorang peserta yang masih berstatus pelajar SMP dan dengan gagah berani mentas serta bersaing dengan seniornya, para pelajar SMA dan mahasiswa.
Usai menyaksikan penampilan dari para peserta, kami selaku dewan juri berdebat, berdiskusi panjang jelang pengumuman pemenang. Semua itu dilakukan demi menemukan para pemenang yang betul-betul layak dengan penilaian secara profesional, proposional, objektif, adil dan bertanggung jawab.
Berikut sejumlah catatan perbaikan yang kelak bisa dilakukan demi peningkatan kualitas kekaryaan pada bidang seni pertunjukan.
1. Diperlukan riset/observasi
Tindakan observasi merupakan salah satu langkah awal yang harus dilakukan seorang aktor sebelum pertunjukan. Tujuannya agar memiliki “ingatan emosional” terkait peran tersebut. Seperti bila memerankan tokoh napi, maka harus dilakukan pengamatan detail mulai dari cara bicara, cara ketawa, cara bergerak, kostum, karakter, kebiasaan, gesture dan lain sebagainya.
Observasi dapat dilakukan secara langsung dengan mendatangi lapas. Bisa juga melalui tayangan film/video, buku bahkan wawancara langsung.
Pengamatan yang baik akan melahirkan “ingatan emosional” dan menjadi starting point untuk penghayatan karakter napi dalam pertunjukan.
2. Pemahaman ketubuhan terkait pemeranan
Memahami kesehatan, proporsional penggunaan dan pengolahan gerak alat tubuh adalah modal penting seorang aktor. Dari ujung kepala hingga kaki adalah komponen tubuh yang harus diketahui dan disesuaikan dengan peran yang dibawakan.
Semisal peran orang tua atau kakek renta maka eksplorasi tubuh harus dilakukan. Mulai dari konsisten membungkukkan badan, pola langkah badan yang ringkih hingga gerak bibir yang gemetaran. Begitu pula mimik wajah, gesture tubuh bisa terwujud bila memahami fungsi dan gerak tubuh secara benar dan proporsional.
3. Vokal yang baik, lantang, “tepat guna suasana”
Dalam teater, memiliki suara yang merdu bukanlah keharusan meskipun itu memang menjadi kelebihan. Paling penting, seorang aktor mesti mempunyai vokal dengan artikulasi yang baik sehingga kata maupun kalimat yang disampaikan bisa dipahami dengan jelas. Kalimat “subuh buta” akan terdengar “tubuh buta” dalam naskah Surat Kepada Setan, bila tak disampaikan dengan artikulasi yang baik
Selain itu, vokal seorang aktor harus lantang terdengar. Jika tidak, penonton tak bisa dengan jelas menyimak pun memahami kalimat yang disampaikan. Terlebih seandainya menggunakan bebunyian, musik ataupun backsound selama pementasan, maka kelantangan suara menjadi keharusan.
Seorang aktor juga harus menggunakan dan mengeksplorasi suara/vokalnya dengan “tepat guna dan suasana”. Artinya, vokal dengan cara ucap yang sesuai dengan kebutuhan suasana naskah. Contohnya, ketika menceritakan kisah sedih dalam naskah Pelacur, mungkin diucapkan dengan perlahan, lirih dan agak tersekat. Begitu pula ketika menyampaikan kemarahan, vokal harus terasa emosinya. Jangan sampai seorang aktor di sepanjang pertunjukan berteriak tak karuan, marah tidak jelas. Bahkan perasaan batin dari karakter orang gila pun bisa diresapi penonton bila suara yang keluar “tepat guna dan tepat suasana”.
4. Perlunya kemauan belajar akting dengan serius
Akting dan pemeranan bukan persoalan yang mudah dan tak bisa mengandalkan bakat semata. Semuanya perlu dilatih, digali dan dipelajari. Seseorang yang ingin menjadi aktor harus belajar sungguh-sungguh dan tak cepat berpuas diri.
Seorang aktor mesti belajar mengenai bloking, respons, momentum, improvisasi, eksplorasi properti, gestikulasi kalimat, logika gerak, logika dialog, ruang imajinatif, struktur dramatik, hingga komposisi naskah.
Itu semuanya harus dipelajari bila betul-betul ingin bermain peran dengan baik dan bukan sekedar coba-coba dengan modal nekat semata.
5. Melakukan interpretasi dan kajian naskah
Teks drama monolog dibuat oleh seorang penulis bukan tanpa tujuan, seperti halnya pesan WhatsApp yang kita kirimkan tentu memiliki alasan dan harapan.
Oleh karenanya, sebelum memainkan sebuah lakon, seorang sutradara harus membaca tidak sekali, dua kali atai tiga sebuah naskah drama, harus lebih banyak lagi. Tujuannya agar menemukan pesan yang ingin disampaikan si penulis naskah. Selain itu, proses interpretasi atau penafsiran naskah akan menjadi jalan menemukan makna tersirat maupun tersurat, suasana cerita, latar belakang, waktu, tempat, penanda cerita, penguatan karakter dari sebuah naskah drama.
Sebuah tindakan konyol bila seorang sutradara memilih naskah dengan asal-asalan tanpa melakukan tafsiran dengan sungguh-sungguh.
Contohnya, kata “dus” dalam naskah Pidato Gila. Seorang Putu Wijaya tak mungkin asal tulis tanpa memiliki maksud. Contoh lainnya, kalimat “saya gadis, dikompleks dipanggil virgin….”. Kata “dikompleks” apakah artinya kompleks perumahan atau kompleks pelacuran?
Dalam hal ini, interpretasi naskah Putu Wijaya membuat seorang sutradara menemukan kritik sosial didalamnya. Tentang kemunafikan dalam Pidato Gila, tentang hak dan kewajiban dalam Bandot, tentang ketidakadilan dalam Pelacur. Semua itu adalah “teror mental” yang dilakukan Putu Wijaya untuk menggugah, membangunkan, mengingatkan, mata batin setiap orang yang menyaksikannya.
Interpretasi naskah juga akan membantu sutradara dan aktor menemukan atau mengira-ngira latar suasana sehingga memudahkan menempatkan properti diatas panggung, busana/kostum yang akan digunakan hingga jenis musik, ambience, bunyi, nada sebagai pendukung suasana pertunjukan.
6. Seorang sutradara juga seorang aktor
Menjadi sutradara dalam pertunjukan monolog tidak mudah sekaligus penuh tantangan. Sutradara adalah dirigen/penanggung jawab dari sebuah pertunjukan. Baik buruknya sebuah pertunjukan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman serta pemahaman dari sutradara.
Idealnya, untuk menjadi sutradara monolog maka si sutradara sebelumnya pernah menjadi aktor atau pernah bermain peran di sejumlah karya. Ini penting kalau tidak mau disebut harus, sebab bagaimana sutradara bisa men-direct seorang aktor bila ia tak pernah menjadi aktor.
Bagaimana bisa naik mobil bila dilatih oleh orang yang tak bisa membawa mobil? Kurang lebih seperti itulah analoginya.
**
Terlepas dari itu semua, peningkatan jumlah peserta monolog dan keberanian mereka mentas layak diapresiasi dengan sangat tinggi. Ini menjadi pertanda bahwa dunia keaktoran, seni pertunjukan dan kesenian menjadi dunia pelarian sekaligus pembelajaran yang membahagiakan untuk anak muda Jambi daripada keluyuran dalam kegelapan narkoba, hedonisme serta kekerasan jalanan.
Terima kasih kepada Taman Budaya Jambi yang selalu sudi untuk bersinergi mewujudkan mimpi dan mendorong kreativitas para jonglingen muda.
/Salam Ngopi//
Dewan Juri III
Putra Agung