16 November 2024

Jambi Daily

Media Online Publik Aksara Propinsi Jambi

MJTI Tolak eToll Ditarif 0,5 Persen

2 min read

JAMBIDAILY JAKARTA – Masyarakat Jalan Tol Indonesia (MJTI) mengkritik kebijakan Bank Indonesia yang mengenakan biaya merchant discount rate (MDR) dalam pemrosesan transaksi uange lektronik sebesar 0,5 persen di jalan tol.

“Ini kebijakan yang tidak berdasar,mengada-ada dan kontraproduktif dengan pembangunan. Harus segera dievaluasi,” kata Untung Kurniadi, ketua MJTI dalam webinar Membangun Konektivitas Transportasi Indonesia di Jakarta, Selasa (30/03/2021).

Menurut Untung, membangun jalan tol bukanlah perkara yang mudah, Selain badan usaha jalan tol (BUJT) harus didukung oleh modal yang besar juga pengembalian investasinya pun relatif panjang.

Nah, dengan penerapan tarif MDR tersebut akan berdampak memasukan biaya tersebut ke dalam investasi BUJT yang akhirnya dibebankan kepada masyarakat.

Untung berharap Keputusan Deputi Gubernur BI Nomor 23/1/KEP.DpG/2021, tentang penetapan skema harga merchant discount rate (MDR) dalam pemrosesan transaksi uang elektronik chip based untuk reguler sebesar 0,5 persen itu dapat direvisi.

“Kebijakan ini tidak pro pembangunan dan tidak mendukung kebijakan Pemerintah dalam menerapkan sistim tol nirsentuh di seluruh Indonesia,” kata Untung yang juga Ketua Keluarga Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (KMMIH￾UGM) Jakarta 2019-2020.

Dalam regulasi yang diteken Deputi Gubernur BI Sugeng tanggal 19 Februari 2021, yang sejatinya sudah mulai diberlakukan pada tanggal 1 Maret 2021, mengatur distribusi skema harga MDR untuk transaksi uang elektronik chip based seluruhnya menjadi pendapatan acquirer, yang dalam hal ini merupakan penerbit uang elektronik chip based.

Secara sederhana, Bank bakal mendapatkan pendapatan dari
transaksi uang elektronik berbasis chip atau Kartu. Saat ini, terdapat empat kartu uang elektronik yang diterbitkan bank yakni e-money Bank Mandiri, Flazz BCA, TapCash BNI dan Brizzi milik Bank BRI.

Bisnis pembayaran jalan tol kini memang hanya melibatkan dua pihak, yaitu penerbit uang elektronik dan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) sebagai merchant. Agar uang elektronik bisa diterima sebagai alat transaksi, penerbit mesti menanggung sebagian biaya infrastruktur yang telah dikeluarkan BUJT, misalnya membangun gardu eletronik, mesin pembaca kartu, dan sebagainya.

Sementara pendapatan penerbit berasal dari dana menganggur (floating money)
saldo uang elektronik, maupun komisi isi ulang saldo. Sebagai informasi, penerbit bisa menempatkan floating money maksimum 70% pada instrumen surat berharga.

Sementara seluruh uang yang ditransaksikan oleh masyarakat pengguna uang elektronik berbasis cip, ini akan diterima oleh merchant sepenuhnya.

Mengacu catatan Bank Indonesia, 90% uang elektornik berbasis cip memang
dikontribusikan dari pengguna tol. Meski demikian pangsa pasar uang elektronik
berbasis cip memang terhitung kecil hanya 9%, sisanya dikuasai uang elektornik berbasis server.

Sementara sampai Oktober 2020 volume transaksi uang elektronik mencapai 3,781 miliar dengan nilai mencapai Rp 163,433 triliun.(*)

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

75 − = 66