Sensor Khutbah/Ceramah Agama vs Sensor Film Porno: Samakah?
7 min read(Mencerdaskan Kehidupan Bangsa atau “Melebaikan” Anak Bangsa)
Oleh : Adrians Chaththab
I
Salah satu fungsi perundang-undangan adalah pengaturan hidup bermasyarakat dan bernegara: dalam pengertian agar masyarakat teratur dalam menjalani kehidupan sosial, politik dan keagamaan, bukan untuk “terpasung”. Amanah itu termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945, yang dinukilkan secara jenius pada pasal khusus tentang berserikat dan berkumpul serta kebebasan berpendapat. Namun saking geniusnya, turunan undang-undang dasar ini terkesan ada yang mengikat kebebasan alias ‘terpasung’. Di sinilah masalahnya mulai timbul dan bagaimana cara mengompromikannya; dalam arti bebasnya tepenuhi, pasungan terbebaskan. Ikuti uraian berikut ini.
II
Untuk menguji apakah ada kebebasan atau keterpasungan, undang-undang ini kita hadapkan pada sampel kehidupan bangsa yakni berkhutbah/ceramah agama dan pertunjukan film nasional. Antara penyampaian khutbah/ceramah dan film porno kelihatannya sama-sama “seksi”dewasa ini. Keseksiannya secara sederhana bahwa baik ceramah agama maupun film porno menarik penonton untuk berlama-lama di depan layar lebar atau di video; begitu juga ceramah agama, jama’ahnya yang beribu itu tidak beranjak dari tempat duduknya.Keduanya dihidangkan oleh pencetus cerita yang kalau di film disebut sutradara; sementara di ceramah lazim dipanggil da’i. Sknerionya diatur sedemikan rupa sehingga mata dan telinga penonton seolah disilum atau disantetnya. Walaupun ceritanya ada yang kejadian nyata, tak jarang juga disunguhkan hal-hal yang fiktif. Keduanya, baik ceramah maupun film disuguhkan dengan tujuan pendidikan; dalam pengertian bahqa ambillah yang baiknya dan tinggalkanlah yang buruknya. Dalam bahasa agama al-amru bi al-ma’ruf wa nahyu ‘an al-munkar. Namun demikian, tak jarang penonton ada yang tertarik dengan keburukannya. Justeru itu, pemerintah melahirkan undang-undang perfileman nasional, agar masyarakat tidak terjebak pada yang jahat-jahat. Lain halnya ceramah agama – dalam arti yang sesungguhnya – tidak tidak ceramah yang bernuansa menghasut masyarakat berbuat onar, karena rujukannya adalah Al-qur’an, hadits dan perilaku Nabi SAW. Hanya saja, dari segi cara penyampaiannya ada yang terang-terangan, berkias, lemah-lembut dan ada juga yang agak keras. Baik film maupun ceramah ada yang “off side”. Ketika inilah pemerintah memandang hak berekpresi, berpendapat dan hak privasi mulai mengganggu.Maka untuk mengatasi itu dilahirkanlah berbagai peraturan untuk mrmbatasi hak-hak tersebut di atas. Di satu sisi, pemerintah berada di pihak yang benar bahkan dikatakan itulah cara mendidik madyarakat
Apa benar dengan memberdel film atau menangkap para da’i masalah menjadi selesai. Sebab, berekpresi dan menyampaikan adalah bahagian dari demokrasi dan demokrasi dilindungi undang-undang. Akibatnya, lihat saja selama 32 tahun pada masa Orde Baru, demokrasi rakyat terpasung berakibat fatal pada pembangunan intelektual manusia Indonesia; lahir kelas intelektual yang “dungu”.; namun tidak bisa dipungkiri pembangunan fisik berjalan dengan sukses. Akan tetapi, yang dituju bagi Indonesia mardeka adalah pembangunan yang berimbang ( akuilibrium ) antara fisikbdengan non fisik. Makanya, tujuan Indonesia mardeka terciptannya keadilan sosisl bagi seluruh rakyat Indonesia. Istilsh yang populer : “ makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran”. Untuk itu, agar da’i tidak dibui karena cerahnya dan filmporna tidak dibredel, tentu harus ada jalan keluarnya. Pemerintahan berjalan dengan baik; da’i dapat berkiprah mencerdaskan umat dengan sentuhan ceramahnya serta insan perfileman tidak mati suri dalam berkreasi.
III
Indonesia mardeka sudah hampir 77 tahun atau ¾ abad. Usia sedemikian agaknya sudah cukup matang untuk melaksankan demokrasi. Negara tetangga yang umur kemerdekaannya jauh di bawah Indonesia, sudah baik pelaksanaan demokrasinya. Ukuran sedethana tanda-tanda demokrasi berjalan dengan baik adalah huru-hara, demontrasi, unjuk rasa, kriminal dalam masyarakat makin lama semakin berkurang; bukan tidak sama sekali. Karena, unjuk rasa itu sendiri adalah bahagian dari demokrasi.
Selama manusia atau masyarakat mengadakan kontrak sosial dalam hidup bernegara dan berbangsa, selama itu pula pelaksanaan demokrasi akan teruji. Krena hidup bersama dengan bermacan dan keinginan yang bila tidak terpenuhi sesuai dengan kontrak sosial yang dilakukan, maka yang terpinggirkan akan merasa dirugikan, lalu mereka menuntuk hak-hak merek. Terpinggirkan dalam ekonomi, pendidikan, politik, hukum, agama dan teknologi. Tuntutan mereka tergantung strata. Bagi yang miskin, ya perbaikan ekonami, bagi yang tertindas dalam kesamaan hak, maka tuntutan meteka adalah keadilan; bagi yang merata kebodohannya adalah pemerataan pendidikan; bagi masyarakat yang tidak terwakili di pemerintahan dan dewan petwakilan rakyat adalah tuntutan politik. Bagi masyarakat terzalimi kemerdekaan beragamanya’ maka tunttutannya di wilayah itu. Begitu juga halnya, bagi masyarakat yang terpasung hak-hak berekpresinya, tututannya agar hak berekdpresinya diberi ruang dan seterusnya.
Setelah pemerintah tahu diagnosanya, maka menyiapkan terapi sesusi hasil diagnosanya atau memberikan obat sesuai dengan penyakitnya. Misalnya yang diminta masyarakat “sesuap nadi” yang dihadapkan “sepucuk senjata”. Ketika sepetti ini misalnya; itu namanya kepala yang sakit, perut yang diobat atau dibiarkan. Pembiaran lebih kurang akibatnya dibandingkan dengan salah obat ( mallpraktik).
V
Ceramah agama adalah amanah UUU 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa melalui sentuhan hati nuraninya dalam meluruskan perjalanan anak bangsa. Da’i sama dengan guru yang berbeda profesi dan objek yang disentuh saja. Kalau guru objeknya adalah murid yang jelas jumlah dan orangnya; sementara da’i objek garapannya afalah madyarakat awam. Mulia tugas guru dan da’i. Akan tetapi, belum pernah atau sangat jarang guru salah ajar yang disebabkab kesalahannya ia dibui. Di pihak lain, da’i salah penyampaian yang bernada keras sesuai dengan yang dalam Alqur’an dan hadits sering ditangkap polisi.Padahal , umpamanya menyebut kata kafir dipandang menista agama lain. Lalu terjemahan kata kafir harusnya dibagaimanakan. Apa ada terjemahan lain yang tidak keluar dari teks dan konteksnya. Seharusnya hal itu, tidak perlu ditafsirkan pada penistaan agama pula, karena bangsa Indonesia telah sepakat dengan tuntutan dan tuntunan ayat Alqur’an dalam Surat al-Kafirun :لكم دينكم ولي دين (bagimu agamamu; bagiku agamaku).
Jadi, sepatutnya menjatuhkan sanksi itu berkeadilan, karena dalam undang-undangnya tidak boleh mengislamkan orang yang sudah beragama; begitu juga tidak boleh mengkristenkan orang sudah memeluk agama tertentu. Lain halnya yang bersanngkutan minta diislamkan atau dikristenkan. Dalam Islam, orang tersebut dikatakan mendapat hidayah dari Allah. Tentilah hal semacam itu hak privatnya yang sangat individual sifatnya. Privasi seseorang juga dijamin undang – undang. Lalu, kenapa penda’i selalu diintip ceramahnya, malah tidak sampai disitu saja, baik konsep ceramah dan khutbah akan diadakan sensornya sebelum disampaikan. Bagaimana di negara demokrasi, ceramah disensor; sementara ceramah itu biasanya direct tanpa konsep. Artinya diucapkan spontan dan live/ مباشرة
Kalau khutbah disensor, bayangkan khutbah yang spintanitas tanpa konsep. Bila khutbah itu ada konsepnya, berapa lama berada di tim sensor yang kalau lolos sensor tentu pada Jum’at tidak ada khutbah. Yntuk diketahui khutbah bernilai separoh dari shalat Juma’at. Tanpa khutbah, bagaimana shalat Jum’atnya. Apa tidak mengamuk jama’ah. Inilah persoalan remeh-temeh dibesar-besarkan. Makanya, soal yang privat biarlah umat mengurusnya sendiri. Bila keterpasungan ini menjadi-jadi nanti, dikhwatirkan jumlah raka’at shalat juga ditentukan oleh penguasa; ketika ini umat beragama sama dengan tidak beragama lagi. Semua umat beragama seharusnya tahu bahwa agama berdasarkan wahyu Allah yang qoth’i/absolut sifat; di lain pihak peraturan pemerintah adalah berdasarkan kesepakatan manusia yang terikat dengan kontrak sosialnya dan nisbi sifatnya. Bagaimana mungkin yang nisbi mengalahkan yang qath’i, kecuali dipaksakan yanf pemaksaan itu sendiri bertentangan hak-hak demokrasi rakyat.
Di pihak lain, film porno banyak juga yang bebas sensor. Padahal kepornoannya tidak mendidik masyarakat, terutama anak di bawah umur. Boleh dikatakan pelanggaran yang dilakukan insan perfileman tidak ada yang berurusan dengan polisi dan dibui. Kalau dilihat – katakanlah sama-sama melanggar – kenapa tidak ada yang berurusan dengan kepolisian dan pengadilan ?. Inikah yang dimaksud demgan keadilan di ranah hukum? Mari kita renungkan – agar kuantitatif hasilnya – coba teliti pengaruh film porno terhadap prilaku anak muda dan bandingkan dengan penelitian: pengaruh ceramah para da’i terhadap prilaku masyarakat/anak muda. Mana yang positif pengaruhnya dan mana yang negatif; selanjutnya berapa % masing-masing. Agaknya, sebelum hasil penelitian lahir, mungkin kita sudah betani berkesimpulan bahwa pengaruh dakwah jauh lebih positif; sebaliknya pengaruh film porno jauh lebih negatif terhadap pembangunan akhlak masyarakat.
VI
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa terjadinya “hura-hara” yang bekepanjangan di negeri kita tercinta ini bukanlah sebab tunggal, akan tetapi yang satu menyebabkan yang lain. Ketidakadilan dan kemiskinan adalah penyebab mayor. Penyebab minor adalah pandang bulunya terhadap penegakan hukum yang seharus sama hukumnya terhadap ceramah yang “ off side” dengan penayangan film porno yang “off side”. Bila there is no tolerance of off side man, maka signal malapetaka mulai tampak, karena rakyat dengan pemimpin tidak bersinergi sebagai syarat berdirinya negara.
Allahu a’lam.