25 November 2024

Jambi Daily

Media Online Publik Aksara Propinsi Jambi

Ditengah Kegelisahan Biaya dan Covid-19, Istri Terselamatkan dan Relakan Anak Lelaki Ku

7 min read

Pemeriksaan USG

Ditulis Oleh Hendry Nursal (*Sebuah Catatan Pengalaman Pribadi)

JAMBIDAILY JURNAL – Siang itu telepon genggam berdering ditengah aktivitas kerja, dari ibu mertua yang kebetulan bertempat tinggal tidak jauh dari kediaman kami. Tubuh bergetar karena adanya kucuran darah dari istri yang sedang mengandung 22 minggu buah hati ketiga kami.

Wajah pucat dengan perubahan raut yang tidak seperti biasanya selalu penuh keceriaan di kala menyambut suaminya pulang dari bekerja. Dia mengatakan tak ada rasa sakit, hanya saja darah bergumpal keluar dengan jumlah yang lumayan banyak. Rupanya itu sudah terjadi sejak pagi hari, dia belum menceritakan karena tidak ingin mengkhawatirkan saya.

Bergegas ke bidan, disana perawat memeriksa kondisi jantung sang bayi, semua dalam keadaan sehat juga stabil. Dari bukti tersebut lantas diberikan obat-obatan semacam vitamin dan diminta untuk istirahat total.

Sesampainya di rumah, saya dan mertua menganjurkan istri hanya di tempat tidur tanpa aktivitas seperti biasa. Disela itu saya berkomunikasi dengan teman semasa sekolah menengah pertama, dia seorang Bidan puskesmas di kawasan Jambi Timur-Kota Jambi.

Sarannya agar istri istirahat, itu faktor kelelahan atau ada kegiatan yang menguras tenaga. Menurutnya lagi, akan lebih baik diperiksa secara lanjut ke dokter kandungan, sehingga sangat jelas kondisi kesehatan istri dan calon bayi.

Maka saya mengikuti saran teman tadi, kami memutuskan menuju praktek dokter kandungan. Dan benar saja, kata dokter kondisi rahim terbuka, walaupun bayi kondisinya stabil dan sehat “Dia sudah mau dilahirkan, langsung ke rumah sakit (RS) ya,”

Langit seakan runtuh, mendengar agar dibawa ke rumah sakit, karena intinya bayi kami tak bisa diselamatkan. Dokter menyarankan dua rumah sakit, satu swasta dan satu lagi rumah sakit umum daerah (RSUD) Raden Mattaher Jambi. Sepulang dari dokter, istri saya dipenuhi rasa gelisah dan ketidakrelaannya jika bayi kami tak selamat.

Istri ingin mempertahankan, tapi saya tentunya juga memikirkan kesehatan Istri. Secara psikologis, dia benar-benar terguncang. Waktu berjalan darah kembali terlihat, sangat berat untuk ke RS, ketika coba diredakan akhirnya istri setuju ke rumah sakit berbeda, bukan dua rumah sakit yang disarankan dokter.

Sesampainya di RS, di Instalasi Gawat Darurat (IGD) perawat melihat kondisi istri dan bertanya keluhan, termasuk ditanyakan fasilitas kesehatan yang digunakan. Setelah dijelaskan, mereka menyebut istri tidak kondisi darurat, maka harus ke fasilitas sesuai yang tertera dalam kartu BPJS, meminta rujukan dokter. Barulah berobat ke RS tersebut dengan tanggungan BPJS, kalau tidak menjadi pembiayaan mandiri. Katanya kondisi istri saya bukan darurat dan tak masalah, hanya kelelahan disarankan untuk istirahat total.

Kami pulang ke rumah, keesokan harinya darah masih mengalir. Kami memiliki pemikiran yang sama, mengapa tidak menuju RSUD Raden Mattaher karena dua hal, pertama: Begitu banyak cerita miring pelayanan yang buruk, kedua: Kami khawatir disana juga menerima pasien covid-19.

Lantas malam harinya, sekira Pukul: 22.00 Wib kembali kami menuju RS yang sama, dengan penjelasan darah tak berhenti dan banyak. Kami perlihatkan bukti foto, tetapi direspon dengan kata “Ini udah dibuang ya, seharusnya jangan dibuang,” kami hanya menjawab ya karena banyak kami buang, hanya di foto saja.

Di IGD, kami berjumpa dengan perawat dan dokter jaga berbeda dari sebelumnya, katanya “Ini tidak boleh pulang ke rumah, harus di rawat di rumah sakit. Namun kami tidak punya NICU, kita berharap bayinya bisa diselamatkan. Maka untuk lebih lengkap saya saran ke RSUD Raden Mattaher” Kata Dokter Jaga.

 

Gelisah Adanya Perlakuan Berbeda sebagai Pengguna JKN-KIS yaitu BPJS

Pukul: 23.30 Wib sampai di depan IGD RSUD Raden Mattaher, seorang perawat pria dengan Alat Pelindung Diri (APD) menyambut kami membawakan ranjang dorong. Perawat perempuan bertanya apa yang terjadi dengan Istri, setelah dijelaskan dia pun merasa bingung karena usia kandungan sangat muda tetapi dokter mengatakan rahimnya terbuka.

Sembari melakukan Rapid Test Covid-19 kepada istri, perawat berkomunikasi langsung dengan dokter, dari situ lantas dia memeriksa kondisi kandungan dan memberikan pertolongan pertama sebagaimana arahan dokter.

Perawat juga menanyakan terkait profesi saya kepada istri, Istri paham betul kesempatan mencari bukti dan kami tentunya satu jawaban dengan menyebut Karyawan Swasta. Tetapi ketika diminta secara spesifik saya menjawab perancang iklan serta hanya pekerja lepas. Kami berdua memiliki tujuan yang sama akan menyembunyikan kewartawanan saya, untuk buktikan apa yang beredar di luar sana, intinya jangan karena wartawan lantas jadi mendapatkan perlakuan manis.

Misi itu terbantu dengan kewajiban menggunakan masker di masa pandemi, sehingga tak mengenali saya, padahal wajah saya suka terpampang di akun media sosial dan berbagai pemberitaan terutama sikap penanganan covid-19.

Saya diminta untuk mendaftar ke bagian administrasi, dan menanyakan ketersediaan kamar. Prosesnya ternyata tidak sesulit dari cerita selama ini, saya hanya membawa kartu tanda penduduk (KTP) dan JKN-KIS istri. Bahkan saat di kroscek melalui data digital, alamat berbeda dengan yang tertera di KTP, petugas menanyakan alamat sebenarnya. Saya terangkan bahwa alamat sempat berbeda, itu alamat sebelum menikah dan terbaru ada di KTP saat ini.

Hanya sekira 5 menit proses administrasi, setelah hasil Rapid didapati Nonreaktif istri saya langsung dibawa ke ruang kebidanan. Para perawat telah bersiap, bersiaga dengan semua peralatan dan menanti reaksi sang bayi.

Pagi menjelang, kondisi istri stabil darah tetap mengalir. Dokter kandungan yang kami tuju saat pemeriksaan awal, datang dia berkata “Saya juga berpikir ini kita periksa beberapa malam yang lalu, kita usaha dulu untuk mempertahankan, jangan ada campur tangan kita. Tetapi jika memang dia mau lahir, kita tidak bisa menahan, berdoa ya bapak ibu, pasrahkan kepada Allah SWT,” sembari dia meminta pada perawat agar dipindahkan ke ruang pemulihan.

Saya merasa mendapat kekuatan baru ketika Istri dipindahkan ke ruang pemulihan, artinya anak saya bisa diselamatkan. Saya ditanya kami pemegang BPJS Klas II, dikasih pilihan tetap di Klas yang sama atau mau diatasnya. Kami kompak menjawab Klas III saja, lagi-lagi ingin membuktikan seperti apa perlakuan saat menempati ruangan (maaf-red) Klas terendah di rumah sakit.

Mulai dari IGD hingga ke ruang pemulihan, kami merasa sejuk atas perlakuan perawat, semua memberikan kekuatan dan rasa optimis agar segera sehat, tidak ada beda perlakuan antara biaya mandiri dan pengguna JKN-KIS.

Sekira pukul: 04.00 wib setelah 4 hari di ruang perawatan, Istri mengeluarkan begitu banyak gumpalan darah, dibersihkan terus mengalir. Mukanya pucat, keringat dingin mengucur walaupun suhu udara begitu dingin karena kondisi hujan deras.

Perawat terus sigap mengawasi kondisi Istri, dalam satu jam bisa dua sampai tiga kali memeriksa perkembangan, hingga dokter datang dan melihat keadaan Istri “Ini sudah tak lagi bisa kita pertahankan, ini akan sangat buruk akibat yang ditimbulkan kepada Ibunya, lihat Ibu demam. Maaf ya bapak ibu, kita harus iklashkan,” kami menjawab Iklash.

Proses persalinan berlangsung, menguras tenaga. Tetapi sungguh kami melihat kesabaran dua orang dokter perempuan dan bidan dengan terus memberikan semangat istri saya, untuk sabar, ikhlash dan berdoa akan kembali diberi rezeky anak.

Kami pun tak mendengar tangisan bayi yang ternyata berjenis kelamin laki-laki, adik dari dua anak perempuan kami. Kami melihat begitu gagah dia terlihat, bertubuh tinggi dan hidungnya yang mancung. Begitu besar kesabaran istri saya, begitu teguh senyum yang digoreskannya saat melihat wajah bayi lelaki kami.

Dua hari kemudian, setelah memperhatikan kondisi kesehatan dan diperiksa Dokter kandungan, istri diizinkan pulang, saya dalam proses kepulangan hanya melapor kepada perawat jaga dan membubuhkan tanda tangan.

Semua proses tersebut saya ceritakan di media sosial, rupanya juga disaksikan oleh pihak RSUD Raden Mattaher. Lalu beberapa waktu berlalu, ketika dapat berjumpa secara tatap muka dengan dr.Fery Kusnadi, SpOG direktur RSUD Raden Mattaher Jambi, saya ceritakan keseluruhan peristiwa, hingga bagaimana pelayanan.

“Saya turut berduka, ketika pertama melihat apa yang disampaikan. Saya sempat ingin mengutus pihak RSUD bersilaturahmi namun saya mempertimbangkan sedang berduka, maka kesempatan kali ini kita bisa bertatap muka. Kami berterima kasih karena mau menyampaikan kepada masyarakat atas apa yang dirasa dan dialami, tidak semata-mata saat ditemukan negatifnya saja,” Ujar Fery Kusnadi.

Saya turut menyampaikan terima kasih, untuk perawat dan semua pihak di RSUD Raden Mattaher tentang pelayan terbaik yang kami terima, meskipun kami hanyalah pengguna BPJS Kesehatan. Kami tak mengenali perawatnya sebab semua menggunakan APD dan Masker sesuai standarisasi pencegahan covid-19.

“Kami akan terus memperbaiki diri, dan terus memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Tidak ada pembeda antara biaya mandiri dan pengguna JKN-KIS atau BPJS,” Kata Fery Kusnadi.

Inilah kisah, tentang apa yang saya alami bersama Istri. Semua terjawab atas kegelisahan biaya dan Covid-19, dampak kehadiran JKN-KIS bagi masyarakat di tengah pandemi Covid-19 begitu nyata.

 

….

*Penulis ialah Pemimpin Redaksi www.jambidaily.com dan Saat ini Ketua PWI Kota Jambi

 

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4 + 6 =