23 November 2024

Jambi Daily

Media Online Publik Aksara Propinsi Jambi

Sagu: Tanaman Endemik Gambut yang Olahannya Lekat di Lidah Orang Indonesia

4 min read

JAMBIDAILY EKONOMI – Selama ini kita percaya bahwa beras merupakan makanan asli Indonesia, namun menurut temuan para peneliti, sagu ternyata juga dikonsumsi luas sejak dahulu di bumi Nusantara. Dalam diskusi daring yang dilaksanakan oleh Badan Restorasi Gambut bertajuk Tanaman Sagu di Lahan Gambut: Potensi dan Tantangan Pengembangan pada Selasa (07/07), Prof. Dr. Ir. HMH Bintoro, M. Agr dari IPB University membawa peserta diskusi online menelurusi cerita tentang sagu dimulai sejak abad ke-9 masehi di tanah Jawa.

Pada relief atau pahatan di Candi Borobudur, yang dibangun pada Abad ke-9 pada masa pemerintahan Dinasti Syailendra, ditemukan cerita tentang palma atau palem (tanaman) seperti nyiur (kelapa), lontar, aren dan sagu. Menandakan pada zaman tersebut, masyarakat telah terbiasa mengolah sagu sebagai salah satu sumber pangan. Prof. Bintoro juga menyajikan fakta menarik bahwa secara antropologi, masyarakat Jawa menyebut beras dengan istilah sego, sedangkan masyarakat Sunda menyebut beras dengan istilah sangu. Sego dan sangu berasal dari kata sagu.

Menjelajahi bermacam makanan khas pokok tradisional, sagu ditemukan di berbagai daerah. Di Papua, Maluku dan Sulawesi, bubur sagu menjadi makanan pokok penduduk asli dengan nama atau penyebutan yang berbeda, Kapurung di Sulawesi atau Papeda di Maluku/Papua. Di Kabupaten Meranti, Provinsi Riau, dimana sagu tumbuh bebas di ekosistem gambut yang basah, masyarakat terbiasa mengolah sagu menjadi berbagai jenis produk pangan olahan, seperti: mie sagu; lempeng sagu; sagu rendang; dan, sempolat atau bubur sagu dengan tambahan udang, ikan, cumi atau kerang serta sayur pakis.

Pengolahan sagu saat ini juga semakin modern. Pada industri pangan, tepung sagu mulai diteliti dan dikembangkan menjadi biskuit pendamping air susu ibu atau weaning food¸ sohun instan, dan kue kering. Sagu juga sudah diproduksi dan dipasarkan pada skala UMKM (Usaha Menengah, Kecil dan Mikro).

Prof. Bintoro mengatakan bahwa sagu memiliki nutrisi yang relatif lengkap dan baik bagi tubuh. Di dalam sagu, terdapat karbohidrat dalam jumlah yang cukup banyak serta protein, vitamin, dan mineral. “Sagu adalah salah satu bahan pangan lokal Indonesia berpotensi, yang perlu lebih dieksplorasi pengembangan dan kegunaannya karena memiliki kadar karbohidrat dan serat yang tinggi. Dengan kandungannya, sagu menjadi solusi pangan pengganti nasi, dan bermanfaat bagi mereka yang mengidap penyakit celiac atau penyakit autoimun yang terjadi akibat mengonsumsi gluten,” tambah Prof. Bintoro.

 

Potensi Sagu

Prof. Bintoro memaparkan bahwa potensi produksi sagu bisa sangat tinggi apabila dibudidayakan dengan baik. Sagu dapat menjadi alternatif makanan pokok yang dapat dimanfaatkan menjadi berbagai macam olahan untuk diversifikasi pangan. Sagu menjadi salah satu tanaman yang dapat memperkuat ketahanan pangan Indonesia di masa yang akan datang.

Namun, tantangan yang dihadapi saat ini adalah peningkatan produksi sagu. Di Indonesia, budidaya sagu dikembangkan di areal seluas total 5.539.637 hektare, tersebar di Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Kepulauan Riau, Kepulauan Mentawai, Papua, dan Papua Barat. Kapasitas produksi sagu saat ini hanya sebanyak 250.400 ton per tahun. Terdiri dari sagu rakyat sebanyak 241.000 ton per tahun, sagu perkebunan 6.000 ton per tahun, sagu rakyat Papua 400 ton per tahun, dan sagu perkebunan di Papua Barat sebanyak 3.000 ton per tahun.

Prof. Bintoro menambahkan bahwa sagu adalah vegetasi yang cocok tumbuh di lahan gambut. Lahan gambut memiliki pH yang asam dan biasanya dicirikan sebagai lahan yang miskin hara. Namun sagu dapat tumbuh di lahan dengan kondisi tanah seperti itu karena kemampuan tanaman sagu untuk bersimbiosis dengan berbagai mikroorganisme untuk memenuhi kebutuhan unsur haranya.

Badan Restorasi Gambut (BRG) yang bertugas untuk merestorasi ekosistem gambut Indonesia memanfaatkan potensi sagu. BRG saat ini secara intensif melakukan pendampingan pada masyarakat di kawasan gambut untuk membudidayakan sagu dan memproduki pangan olahan berbahan sagu. BRG mendorong pembudidayaan tanaman sagu di lahan gambut yang rusak, sebab secara ekologis pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya sagu memiliki dampak positif jangka pendek maupun jangka panjang.

Selain bermanfaat untuk ekonomi, budidaya sagu diharapkan dapat membantu pencegahan kebakaran gambut. “secara ekologis, pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya sagu sangatlah tepat karena sagu tumbuh pada lahan gambut yang lembab, basah, hingga tergenang menjadikannya sesuai dengan tujuan restorasi gambut, yaitu mengembalikan fungsi hidrologi ekosistem gambut,” kata Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead. “Sedangkan pada jangka panjang sagu dapat memberi keuntungan ekonomi karena dapat memperkuat ketahanan pangan nasional dan meningkatkan kualitas hidup dan sosial ekonomi masyarakat, terutama petani dan pengolah sagu.”

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4 + = 14