Tambang di Sungai Kambang
5 min readOleh: Oky Akbar
JAMBIDAILY JURNAL – Menonton pertunjukan teater berbeda dengan mengunjungi rumah makan. Menonton teater, tiketnya dibayar terlebih dahulu sebelum menikmati apa pun yang tersaji di atas panggung. Di rumah makan, seseorang masuk, duduk, memesan, menyantap, lalu mengakhiri dengan membayar pesanan. Jadi, perbedaannya terletak pada urutan; bayar-menikmati, menikmati-bayar.
Karena pembayaran dilakukan sebelum menikmati, menonton teater seperti menerima kado (lebih halus daripada undian atau judi). Ada unsur kejut. Penonton boleh saja menduga-duga. Apakah kejutannya akan mendapat efek kebahagiaan atau kekecewaan. Apabila mendapat kebahagiaan setelah menonton teater, penonton boleh bersyukur, tetapi sebaliknya, jika penonton mendapat kekecewaan, tidak perlu juga merasa kecewa yang berlebih. Anggap saja itu bagian dari apresiasi terhadap pertunjukan teater, apresiasi terhadap usaha pelaku seni (sutradara, aktor, dan tim manajeman). Terlepas ada kejutan yang tidak diharapkan atau kejutan harapan yang tidak terkabul, yakinlah usaha untuk mengabulkan harapan-harapan penonton adalah tujuan pertunjukan itu sendiri. Terkecuali, penonton tersebut tidak mengakui bahwa sebagian harapannya sudah terkabul.
Sabtu, 15 Mei 2022, di Teater Arena Taman Budaya Jambi, Sanggar Seni Kampus Biru (SSKB) “MENTAS LAGI”. Ini kali ke enam SSKB pentas. Belum bisa dikatakan prestasi sebab jumlah enam kali pentas masih tergolong sedikit bagi sebuah komunitas teater. Namun demikian, dibandingkan dengan interval berdirinya SSKB, enam kali pentas adalah jumlah yang cukup membanggakan.
Dugaan awal, SSKB berasal dari Universitas Negeri Islam Sultan Thaha Saifudin (UIN STS) karena almamater kampusnya berwarna biru. Ternyata, penamaan “Biru” pada SSK’B’ diadopsi dari warna cat gedung Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan, Universitas Jambi. Pengadopsian warna almamater pernah juga dilakukan untuk penamaan Teater Orange, salah satu kelompok teater dari Universitas Jambi. Warna almamater dipilih sebagai nama sanggar atau organisasi dari suatu lembaga pendidikan karena warna almamater sulit ber-ubah. Selain itu, warna almamater biasanya sudah menjadi ingatan kolektif masyarakat. Jadi, itu alasannya. Semoga warna cat gedung FKIP Unja tidak ber-ubah.
SSKB beranggotakan mahasiswa yang berasal dari sejuhlah program studi di FKIP (begitu informasi yang saya dapat). SSKB berada di bawah legalitas pembinaan FKIP. Selain SSKB, ada juga Teater Kuju, yang dulunya berada di bawah legalitas Fakultas Ilmu Budaya, sekarang digabung ke FKIP. Artinya, ada dua sanggar teater di FKIP; Kuju dan SSKB. Bolehlah ini disebut prestasi.
Pentas ke enam kali ini, SSKB memainkan naskah Tambang. Tambang ditulis oleh Boy (sapaan akrabnya). Bercerita tentang peseteruan suami-istri yang memiliki sudut pandang berbeda. Suami merupakan pebisnis tambang sukses. Tujuannya adalah kekayaan. Istri merasa risih dengan cara suaminya meraih kekayaan. Demi memperlancar bisnis tambangnya, suami tega melakukan kejahatan-kejahatan kemanusiaan. Ia membeli tanah rakyat secara paksa. Membunuh mereka yang menolak. Kejahatan-kejahatan itu yang kemudian menggugah naluriah istri. Istri menentang tindakan suaminya, tetapi ikut menikmati hasilnya. Istri dan anak perempuannya hidup bergelimang harta. Paradoksikal itulah yang menjadi bibit-bibit perseteruan. Hidup bergelimang harta tidak menjanjikan kebahagiaan. Anak menjadi korban. Hidup tertekan dalam kekacauan pikiran. Anaknya mati menggantung diri (dengan tali tambang).
Tema tradisional ‘harta-kesengsaraan’ dalam Tambang dipentaskan oleh Rika Yani, seorang mahasiswa prodi Pendidikan Bimbingan Konseling. Panggung diisi dengan setting minimalis. Tiga kursi sofa berwarna biru, dihias karpet merah, kursi yang ber-roda serta meja kerja dan beberapa tumpukan properti kertas di atasnya. Di antara meja dengan sofa terdapat rak buku. Tiga foto berbingkai kecil menggantung di tembok belakang sofa. Komposisi setting memunculkan multitafsir berupa latar ruang tamu atau ruang kerja. Ketidakjelasan semakin jelas manakala kursi sofa biru yang digunakan adalah kursi yang sering saya temukan di Taman Budaya Jambi. Imajinasi saya semakin terganggu. Bagi saya ini fatal. Artinya, tidak ada kesungguhan mempersiapkan pementasan ini. Sekalipun hanya digunakan untuk satu atau dua kali pentas, setting yang dihadirkan seyogyanya merupakan setting yang khusus diperuntukkan demi kepentingan pentas. Dengan begitu, panggung sebagai dunia imajinasi sutradara bisa tersampaikan kepada penonton.
Dansa mengawali adegan pertunjukan. Adegan dansa disimbolisasikan sebagai wujud kasta atau derajat keluarga. Dahulu, dansa biasa dilakukan oleh bangsawan Eropa. Unsur-unsur kebangsawanan lainnya dihadirkan lewat pemilihan kostum. Penggunaan rompi dan balutan jas suami serta baju model balon dan unsur polkadot bagian rok yang digunakan istri. Pemilihan kostum memberi deskripsi latar cerita yang berada pada tahun 80 atau 90-an. Sayang, pemilihan kostum, komposisi setting, dan ilustrasi musik tidak memiliki korelasi yang padu. Ilustrasi musik hanya mengalun pada awal dan akhir babak sehingga tidak mampu membawa penonton pada dimensi waktu tertentu dan beberapa kosa-kata kekinian justru hadir dalam dialog.
Pertunjukan Tambang bisa dikatakan mengusung konsep realis-minimalis. Kekuatan realis tidak cukup hanya memanfaatkan latar dan kostum yang memimesis. Lebih dari itu, realisme lebih menekankan pada kekuatan karakter tokoh (biasanya disebut penjiwaan). Aktor mesti mengumpulkan lebih banyak informasi terkait masa lalu, pengalaman, dan psikis tokoh yang dimainkan. Lalu, memadukannya dengan dialog, ucapan tokoh lain, dan reaksi yang ditimbulkan. Perpaduan itu juga mesti diperkuat dengan pemahaman hukum panggung, gerak yang bermakna, dan motivasi-motivasi yang mendasarinya. Sutradara sebagai cermin pemantul penonton bertanggung jawab penuh setiap lakuan aktivitas aktor di atas panggung. Dengan pembekalan pengetahuan yang mendasar, mungkin saja akan mengurangi letupan-letupan dialog kosong, akting klise dan berulang serta perpindahan-perpindahan tanpa motivasi yang jelas di samping volume dialog yang terdengar samar.
Akhir kata, kembali ke pernyataan di muka. Setelah menonton pertunjukan Tambang, isi kado seperti apa yang saya dapati? Kebahagiaan! Keberanian dari kawan-kawan SSKB memformulasikannya menjadi pertunjukan realis adalah kebahagiaan bagi saya. Pertunjukan realis adalah tantangan yang tidak mudah bagi pelaku teater, pun bagi pelaku-pelaku teater dengan pengalaman berlimpah. Tak sabar saya menonton pertunjukan-pertunjukan berikutnya. Mari me-realis-asi pertunjukan-pertunjukan teater di Jambi. Salam sayang untuk semua!