Sri Mulyani Bawa Kabar Gembira Dari IMF, Indonesia Kebagian?
2 min readJAMBIDAILY JAKARTA – Sejak akhir tahun lalu perekonomian dunia diguncang dengan isu resesi dan ekonomi yang berada di titik terendah. Isu ini beredar kencang dan diungkapkan banyak lembaga.
Namun baru-baru ini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengemukakan bahwa pandangan lembaga keuangan internasional, IMF, terhadap perekonomian mulai melunak. IMF tidak lagi melihat ekonomi dunia akan gelap gulita.
“Kalau saya lihat dari Managing Director IMF, tone-nya sudah gak terlalu sangat buruk. Terlalu sangat buruk, dulu sangat gelap gulita. Sekarang agak tidak terlalu gelap gulita,” katanya dalam BRI Micro Finance Outlook 2023, Kamis (27/1/2023).
Menurut Sri Mulyani, hal ini didasari oleh inflasi yang mulai stabil. Kemudian, Purchasing Managers’ Index (PMI) di Eropa sudah merangkak mendekati 50.
Ini, katanya, merupakan sebuah kejutan di awal 2023.
Jika ekonomi global tidak segelap apa yang diramalkan IMF sebelumnya, maka hal ini menjadi kabar positif bagi Indonesia.
“Jika ada sinar-sinar yang mulai nembus, Indonesia harusnya lebih baik karena pada saat kemarin gelap gulita, Indonesia tetap bagus,” tegasnya. Pasalnya, ketika kondisi global dilanda guncangan seperti tahun lalu, Sri Mulyani melihat Indonesia tetap bagus.
Dalam kesempatan ini, Sri Mulyani mengungkapkan alasan mengapa banyak lembaga internasional menerbitkan proyeksi gelap dan mendung untuk 2023.
Sebelumnya, IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2023 dari menjadi 2,7% dari sebelumnya 2,9%. Sementara itu, Bank Dunia memperkirakan ekonomi global hanya akan tumbuh mencapai 1,7% pada tahun ini.
“Lembaga internasional berlomba-lomba buat makin gloomy ada alasannya memang kalau interest rate naik 400-500 bps (basis points) luar biasa dalam 12 bulan pasti ekonomi terkena,” kata Sri Mulyani.
Sepanjang 2022, banyak negara berlomba menaikkan suku bunga acuan guna meredam laju inflasi yang naik tinggi. Alhasil, dalam situasi suku bunga tinggi, negara berkembang mengalami outflow modal asing. Hal ini menimbulkan tekanan luar biasa, plus dolar menjadi sangat kuat.
“Ini environment yang mengguncang dari global ke sektor keuangan resiko currency, inflasi, suku bunga,” katanya. Hal ini yang menjadi pemicu proyeksi resesi untuk AS dan Eropa. (CNBC Indonesia)