17 November 2024

Jambi Daily

Media Online Publik Aksara Propinsi Jambi

Rasionalitas dalam Karya Seni: Kebenaran Fiksional atau Kebenaran Faktual?

7 min read

Kerajaan Kurcaci di China, di baliknya merupakan istana raja. Tinggi Istananya tidak lebih dari 3 meter.

JAMBIDAILY JURNAL – Menarik melihat “perdebatan” di dinding status rekan-rekan saya di media sosial. Perdebatan ini dimulai dari adanya kontradiksi perspektif terhadap sebuah karya seni. Satu pihak menilai karya seni harus masuk akal. Dan satu pihak lain menilai karya seni tidak mesti masuk akal (rasional), contohnya pada karya-karya yang bersifat abstrak, surealis, dan sebagainya.

Mereka punya alasan untuk itu. Mari kita ulas satu per satu.

Karya Seni Tidak Rasional

Beberapa pihak (termasuk seniman) menilai bahwa rasionalitas bukan syarat dari karya seni. Jadi, dalam karya seni, bisa saja ada gajah yang terbang, atau mungkin ikan yang memanjat pohon.

Siapa yang bisa menjelaskan secara rasional lukisan berjudul “Lampu Ajaib” atau “Lampu Milik Filsuf” (La Lampe philosophique/The Philosopher’s Lamp) karya Rene Magritte yang dilukis pada tahun 1936 ini?

Lukisan The Philosophers Lamp karya Rene Magritte
Lukisan The Philosophers Lamp karya Rene Magritte

Karya Seni Mesti Rasional

Sedangkan beberapa pihak lain (termasuk seniman juga di dalamnya) menganggap bahwa rasionalitas merupakan syarat utama dari karya seni. Ada sebuah argumen yang kuat untuk menjelaskan ke-tidak masuk akal-an dari sebuah karya seni.

Misalnya pada lukisan berjudul La Lampe Philosophique di atas, Magrite melukis wajahnya sendiri namun memiliki hidung yang sangat panjang (seperti belalai gajah). Hal itu langsung tersambung dengan pipa rokok yang sedang dihisapnya di mulut. Sedangkan lilin (atau “lampu”) justru berbentuk seperti ular yang sedang melilit di meja kecil.

Hal tersebut memberi sebuah kesan tentang pengetahuan (cahaya) justru hanya membelenggu diri sendiri, tanpa bisa dipindahkan atau dibagikan ke orang lain. Sedangkan sang filsuf yang sedang berpikir justru hanya fokus pada dirinya sendiri. Ia hanya menghisap nafasnya sendiri, dan kecanduan dengan itu.

Lukisan potret diri yang benar-benar menyeramkan sekaligus suram. Di balik gagahnya setelan jas, pipa rokok, dan cahaya dari lilin “ular”, yang terpampang jelas adalah betapa tidak kompetennya, tertekannya, dan tak bergunanya semua yang coba ia pikirkan, dan hasilkan.

Hal itu menunjukkan bahwa seliar-liarnya sebuah karya seni, namun karya seni tersebut mesti tetap “rasional” dengan kata lain bisa dijelaskan dengan masuk akal. Termasuk untuk menjelaskan ke-tidak masuk akal-an dari karya tersebut.

Rasionalitas tersebut membuat karya seni yang tampak tak masuk akal sekalipun, bisa dibedakan dengan tumpahan cat, coretan huruf-huruf di dinding, bebunyian, dan lain-lain yang “tidak rasional”.

Sebenarnya, hal itu bukan berarti pelukis, pematung, pemusik, penari, aktor teater, dan seniman lainnya mesti dengan verbal menjelaskan apa yang sedang ia buat. Ia bisa melakukannya di dalam alam bawah sadarnya, menjadi pondasi dari pembangunan karyanya.

Untuk menyampaikan gagasannya, meski dalam bentuk yang se-aneh apapun, seorang seniman membutuhkan keterampilan, kemampuan, pengetahuan, pengalaman, dan juga tujuan. Bahkan untuk sebuah pertunjukan yang spontan dan bersifat improvisatif semacam performance art misalnya, rasionalitas juga mesti menjadi dasarnya.

Kenapa seperti itu, karena pemirsanya akan mencoba meraba dan merasakan apa yang ingin disampaikan oleh seniman lewat karyanya. Pemirsa mungkin bisa menangkap apa saja, dan mungkin berbeda dengan apa yang disampaikan seniman. Tapi, seniman memiliki makna yang disengaja, direncanakan, dan disusun secara terstruktur lewat karyanya, dengan harapan mampu diraba oleh pemirsanya.

Karena itu keterampilan teknis mesti dilatih oleh seorang calon seniman, sebelum pada akhirnya ia membuat karya. Tidak bisa ujug-ujug, dan tiba-tiba.

Apa yang membedakan anak kita dan anak tetangga bermain bola, dengan Lionel Messi atau Christiano Ronaldo bermain bola? Yah, keterampilan teknis.

Dalam karya seni, hal itu terlihat dari ketepatan komposisi, rasionalitas, dan (tentunya) keindahannya.

Namun perdebatan antara kedua kubu masih tetap ditemukan di dunia seni. Seniman yang keukeuh dengan karya seni tidak perlu rasional, dengan seniman yang bersikeras bahwa karya seni mesti rasional akan terus berseteru.

Ah, ini konflik. Apa bumbu penyedap dalam drama? Konflik. Tanpa konflik, dunia akan terasa benar-benar hambar.

Jalan Tengah: Distingsi Kebenaran Faktual dan Fiksional

Kebenaran fiksional adalah

Sebelum membicarakan jalan tengah dari perdebatan ini, coba kita sedikit ulangi dari awal. Sebenarnya, bagaimana konsep rasionalitas yang dimaksud dalam kasus ini?

Apakah mengikuti konsepsi rasionalitasnya Plato dan Aristoteles yang berupa mimesis? Atau rasionalitas yang dimaksud adalah mesti bisa dibuktikan dengan fakta-fakta empiris?

Kaburnya batasan antara dua hal tersebut menjadikan perdebatan ini bisa terjadi. Pengujian ke-rasionalan dari karya seni tentunya tidak bisa divalidasi dengan fakta-fakta empirik.

Misalnya begini, apakah benar ada seorang perempuan bernama Nyai Ontosoroh yang bernama asli Sanikem dan memiliki lahan pertanian tebu bernama Buitenzorg di Wonokromo, Surabaya pada tahun 1898? Sebagai tambahan data, Sanikem ini adalah seorang gundik dari orang Belanda bernama Herman Mellema, sehingga ia diberi julukan “nyai”.

Bila Anda mencoba menggali data sejarah di tahun 1898 wilayah Surabaya, lalu mencari data-data historis tentang keberadaan Sanikem atau Nyai Ontosoroh ini, maka Anda tentu saja akan berkesimpulan bahwa data ini palsu atau hoaks.

Tapi, apakah itu berarti karya Pramoedya Ananta Toer adalah karya yang “tidak rasional”?

Nyai Ontosoroh asli
Gambar di atas pernah diklaim sebagai foto asli Nyai Ontosoroh. Faktanya, foto tersebut merupakan foto seorang “nyai” bernama asli Gow Pe Nio yang menjadi istri (mungkin gundik) dari seorang Belanda bernama Jurjen.

Itu sebuah kesalahan validasi. Sangat keliru apabila sebuah “kebenaran” atau “rasionalitas” dalam sebuah karya seni dikonfirmasi lewat data-data faktual.

Tapi, ada banyak data berlimpah alias “kebenaran” didapatkan lewat pencarian “Nyai Ontosoroh” di atas. Yah, kita mengetahui ada perempuan yang dijual oleh keluarga dekatnya sendiri pada Belanda untuk dijadikan gundik. Lalu, ada juga perkebunan tebu dan pabrik gula di wilayah Jawa Timur pada tahun tersebut.

Pabrik tebu di sekitaran tahun 1870 hingga 1900 di sekitaran Malang, Jawa Timur
Perkebunan dan pabrik tebu di sekitaran tahun 1870 hingga 1900 di sekitaran Malang, Jawa Timur. Perkebunan dan pabrik dimiliki oleh orang Belanda (berbaju serba putih), dan para pekerjanya merupakan pribumi.

Dari sini, kita mulai membedakan ada “kebenaran faktual” dan “kebenaran fiksional”. Mari kita urai satu per satu.

Kebenaran Fiksional dan Kebenaran Faktual

Kebenaran faktual secara simpel kita bisa artikan sebagai kebenaran yang didapatkan berdasarkan kenyataan. Kenyataan yang dimaksud adalah apa yang ditangkap oleh panca indra, maupun pemikiran.

Kita bisa bilang bahwa “Hari ini Kota Bandung hujan deras dari pagi” dan hal tersebut mesti terkonfirmasi dengan kenyataan yang terjadi. Bila ternyata Bandung tidak hujan, itu berarti pernyataan tersebut adalah palsu.

Sedangkan kebenaran fiksional adalah kebenaran yang disusun secara terstruktur untuk mendukung situasi rekaan atau fiksi. Dalam mitologi Nordik misalnya, kita mengenal makhluk cebol yang disebut dwarf alias kurcaci.

Kurcaci dunia nyata
Penduduk di Desa Yangsi, Sichuan, China yang disebut sebagai “perkampungan para kurcaci di dunia nyata”. Faktanya, ini adalah orang-orang biasa yang “menderita” dwarfisme dikarenakan berbagai pengaruh lingkungan, juga genetik.

Kemudian, muncul sejumlah kisah yang menghadirkan pertemuan manusia biasa dengan para kurcaci tersebut. Misalnya seperti kisah Putri Salju (Snow White).

Untuk menceritakan kisah kurcaci tersebut, penulisnya membuat sejumlah “fakta fiksional” seperti rumah kurcaci tentunya berbeda dengan rumah manusia biasa, begitu juga perlengkapan, pakaian, dan cara hidup mereka. Semuanya mesti rasional, karena dengan tubuh yang rata-rata hanya setinggi satu meter, tentunya ada banyak keterbatasan yang dimiliki kurcaci.

Bisa saja penulis membuat kisah para kurcaci bisa saja membangun kota besar dengan banyak gedung tinggi dan teknologi tertentu. Namun, “gedung tinggi” dalam perspektif kurcaci tentunya akan rasional bila tidak sama dengan “gedung tinggi” dalam perspektif manusia. Mungkin saja, gedung tinggi yang dibuat dalam lanskap hidup para kurcaci hanya setinggi dan sebesar rumah di perumahan biasa.

Kebenaran fiksional bisa disebut dengan kebenaran dalam dunia fantasi atau rekaan. Bisa saja bercampur baur dengan kebenaran faktual, atau bisa saja berdiri sendiri seperti sebuah lanskap yang independen. Lukisan The Philosophers’s Lamp di atas misalnya, menunjukkan sebuah “kebenaran fiksional” yang independen. Sedangkan kisah Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia menunjukkan sebuah kebenaran fiksional yang dengan sengaja dicampurkan bersama kebenaran faktual.

Kesimpulan

Bisa dikatakan bahwa hal-hal yang termasuk dalam kebenaran faktual, tidak bisa divalidasi dengan kebenaran fiksional. Seorang anak yang durhaka di dunia nyata, tidak bisa kita pastikan menjadi batu, lalu menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pariwisata.

Batu Malin Kundang
Batu Malin Kundang

Sebaliknya, kebenaran fiksional juga tidak bisa divalidasi dengan kebenaran faktual. Misalnya, menguji kebenaran tentang nenek sihir yang terbang di atas sapu ajaibnya dengan melihat sapu-sapu yang ada di dunia.

Apakah karya seni mesti rasional? Jawabannya, iya. Hal itu ditujukan untuk mendukung keberhasilan seniman menyampaikan makna “yang disengaja”, sekaligus memberi persepsi estetis yang mengagumkan pada pemirsanya.

Tapi, apakah rasionalitas yang dimaksud berarti harus divalidasi dengan fakta-fakta empirik? Tentu jawabannya, tidak. Karena semesta yang ada dalam karya seni memang sebuah rekaan. Rekaan yang rasional, dan perlu banyak riset, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman untuk membuatnya.

Karena itulah (salah satu indikator) yang membedakan seni dan bukan seni.

(PojokSeni.com)

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 48 = 52